CUKAI

2018 : Mau Dibawa ke Mana Nasib Industri Hasil Tembakau?

Sepanjang 2017 boleh dibilang nasib Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak bagus-bagus amat. Bahkan, masih bisa bertahan sampai  hari ini saja sudah untung. Loh kok bisa? Ya bisa donk, namanya industri yang baik itu bukan cuma mampu bertahan saja, tapi juga harus tumbuh. Sementara IHT ini tidak demikian, dari tahun ke tahun justru terus mengalami penurunan. Bertahan iya, tapi juga terus mengalami penurunan, kalau sudah begitu tidak salah toh dikatakan nasibnya tidak bagus-bagus amat?

Jadi begini, berdasarkan data yang dihimpun oleh Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Industri Hasil Tembakau terus mengalami penurunan volume produksi dengan rerata penurunan hingga 2%. Penurunan produksi rokok pada 2018 diprediksi sebesar 9,8 miliar batang atau menjadi 321,9 miliar batang.

Penyebab terjadinya penurunan volume produksi ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti kenaikan tarif cukai yang eksesif setiap tahunnya, tekanan regulasi terhadap industri dan produk rokok, hingga banyaknya pabrik rokok yang gulung tikar.

Kenaikan cukai yang tinggi setiap tahunnya menjadi beban berat bagi pabrikan. Bagaimana tidak menjadi beban, wong pemerintah setiap tahunnya terus-menerus menaikan target pendapatan negara, terutama cukai rokok sebagai penopang pendapatan negara dari cukai. Tapi, lucunya pemerintah juga mengetatkan regulasi terkait produksi rokok dan konsumsinya. Salah satunya menurunkan batas jumlah produksi dan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Dan naiknya tarif cukai seringkali terlihat tidak didasarkan atas pertimbangan antara kepentingan pemerintah dan Industri Hasil Tembakau. Dalam hal ini justru yang dilihat hanya dari sisi bagaimana cara cepat menggenjot pendapatan negara.  Tentu saja cukai rokok sangat menggiurkan menggenjot pendapatan negara dengan penerapan sistem ijon.

Apa itu sistem ijon? perusahaan rokok diminta untuk bayar cukai terlebih dahulu, ini biasanya dilakukan akhir-akhir tahun saat pemerintah membutuhkan dana segar yang cukup banyak.

Terbaru, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan akhirnya ktok palu kenaikan tarif cukai HT sebesar 8,9% pada 2018 dengan alasan pemerintah berupaya mengejar penerimaan cukai yang ditargetkan Rp 155,4 triliun di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Artinya tahun ini akan menjadi tahun yang berat bagi Industri Hasil Tembakau. Karena kenaikan cukai di tahun ini akan memukul mata rantai hulu ke hilir IHT.

Di hulu petani tembakau dan cengkih ,meskipun cukai rokok terus dinaikan, persoalan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) masih belum dinikmati dengan baik oleh para petani. Serapan tembakau dan cengkih pun kian berkurang seiring dengan banyaknya pabrikan rokok yang tumbang akibat tidak kuat bayar cukai. Di sektor produksi pun demikian, para buruh pabrik terus-menerus dihantui PHK akibat tumbangnya pabrikan rokok. Di hilir ada konsumen rokok yang terbebani dengan mahalnya harga rokok disertai dengan daya beli masyarakat yang menurun.

Entah di tahun ini akan ada berapa pabrik atau unit usaha IHT yang akan tumbang. Sejak 2006 jumlah unit usaha IHT di Indonesia sebanyak 4.669 hingga delapan tahun kemudian menurun drastis hanya tinggal 754 unit di tahun 2014. Setahun kemudian, jumlahnya berkurang kembali menjadi 600 unit. Industri yang gulung tikar adalah industri kecil menengah (produsen rumahan, pabrikan kecil).

Ancaman-ancaman seperti ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Karena jika eksistensi Industri Hasil Tembakau kian terancam, tentu yang akan rugi bandar adalah pemerintah. Hitungan potensi lost pendapatan negara, tenaga kerja yang besar di Industri Hasil Tembakau akan hilang dan harus dipirkan nasibnya, serta hilangnya kretek sebagai warisan budaya khas Indonesia. Artinya, siapkah pemerintah menanggung beban berat tersebut?

Jika pemerintah sudah siap menanggung beban tersebut, maka tahun ini akan menjadi lonceng kematian bagi eksistensi Industri Hasil Tembakau di Indonesia. Tetapi jika pemerintah masih mau menjaga keberlangsungan eksistensi Industri Hasil Tembakau, maka pemerintah harus bersiap untuk mengawal dan memayungi dengan payung-payung regulasi yang memproteksi Industri Hasil Tembakau dari ancaman-ancaman di atas.

Sudahi kenaikan tarif cukai yang eksesif, sediakan ruang dialog dengan para stakeholder IHT ketika hendak menelurkan regulasi yang berkaitan dengan IHT, keberpihakan kepada IHT harus lebih ditegaskan dengan menolak traktat internasional macam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan kampanye-kampanye antirokok yang hendak mengendalikan tembakau di Indonesia. Kalau saja ini dapat dilakukan, niscaya nasib Industri Hasil Tembakau di tahun ini dan seterusnya akan menjadi lebih baik.

Tinggalkan Balasan