REVIEW

Menyepi di Desa Munduk

Selepas Danau Beratan, menyimpang ke arah kiri meninggalkan jalan raya Denpasar-Singaraja, menoleh ke kiri jalan, pandangan mata saya tertuju ke Danau Tamblingan. Tak lama kemudian, melalui jalan menurun dan berliku, di kiri-kanan jalan rerimbunan pohon cengkeh tumbuh subur. Sebelum saya dan rekan-rekan tiba di Penginapan dan Restoran Don Biyu yang di kelola Bli Putu Ardana, senior saya di kampus yang juga warga asli Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali, di kanan jalan, kami melintasi Pura Kopi.

Empat kali dalam waktu yang berbeda saya pernah berkunjung ke Desa Munduk. Dua di antaranya saya tinggal cukup lama di sana. Belajar dari dua orang kakak beradik Putu Ardana dan Komang Armada serta beberapa warga Desa Munduk lainnya tentang banyak hal, terutama pertanian cengkeh yang begitu masyhur di sana.

Bertahun-tahun sebelum tiba di Desa Munduk, Denpasar membikin saya enggan berlama-lama di Pulau Bali. Denpasar terlalu ramai dan pikuk. Tentu saja ini penilaian subjektif saya semata. Namun Desa Munduk mengubah itu semua. Saya jadi betah berlama-lama di Pulau Bali. Lebih lagi bapak dari istri saya berasal dari Seririt, 45 menit ke arah utara dari Munduk.

Di Desa Munduk, dari Bli Putu Ardana saya belajar banyak tentang adat dan keyakinan spiritual warga Desa Munduk. Dari Bli Komang Armada, saya mendapat pengetahuan berharga perihal pertanian cengkeh yang menyejahterakan banyak warga Desa Munduk dan banyak warga desa lain di luar Munduk.

Bli Putu sempat menjabat sebagai Bendesa, Kepala Desa Adat Munduk. Bli Komang beberapa waktu lalu terpilih sebagai petani teladan karena peran besarnya dalam pertanian cengkeh di Munduk.

Baca: Mendengar Kembali Kesaksian WS Rendra

Meskipun menyejahterakan banyak orang, pertanian cengkeh di Munduk bukan tanpa masalah. Beberapa waktu lalu, pernah ada masanya pabrik-pabrik penyulingan minyak cengkeh banyak berdiri di Munduk dan desa-desa lain di sekitarnya. Bahan baku utama minyak cengkeh bisa didapat dari bunga cengkeh, tangkai bunga cengkeh, dan daun cengkeh. Yang terbaik tentu dari bunga cengkeh. Sayangnya faktor biaya membikin produsen minyak cengkeh memilih daun cengkeh sebagai bahan baku.

Pengambilan daun cengkeh yang sudah gugur dari ranting-ranting pohon secara besar-besaran, ternyata membikin akar dan batang pohon cengkeh mudah terserang penyakit. Atas temuan ini, Bli Putu dan Bli Komang mengadvokasi sebuah peraturan yang melarang pengambilan daun cengkeh hingga tingkat bupati. Berhasil. Bupati mengeluarkan peraturan bupati yang melarang pengambilan daun cengkeh berlebihan.

“Manusia terikat pada tiga interaksi. Interaksi dengan Tuhan, interaksi dengan sesama manusia, dan interaksi dengan alam, yang terakhir itu kerap dilupakan,” Ujar Bli Komang sekali waktu di tengah kebun cengkeh miliknya, ia melanjutkan, “Manusia terlalu banyak mengambil dari alam. Terlalu banyak. Sementara kita seperti enggan mengembalikan sesuatu ke alam, memenuhi hak alam. Semestinya, seberapa besar yang kita ambil dari alam, sebanyak itu juga yang harus kita kembalikan ke alam. Seimbang. Hidup harus seimbang.”

Itulah yang mendorong Bli Komang dan Bli Putu menjalani lelaku bertani ramah alam. Dan keyakinan spiritualitas serta tradisi leluhur di Munduk mendukung dan menyarankan laku tani semacam ini. Pura Kopi, pura yang sedikit saya singgung pada pembuka tulisan ini, adalah pura yang khusus diperuntukkan sebagai tempat ritual-ritual religi terkait pertanian. Dinamakan Pura Kopi karena sejarah perkebunan kopi di Munduk lebih dahulu dibanding cengkeh.

Kemarin, kamis, 7 Maret 2019, Umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi. Perayaan menyambut tahun baru saka. Salah satu rangkaian perayaan Nyepi adalah Tawur Kesanga. Apa-apa yang disampaikan Bli Komang tentang keseimbangan manusia dan alam persis dengan makna yang terkandung dalam ritus Tawur Kesanga. Itu sependek yang saya ketahui.

Baca: Filosofi dan Nilai Budaya Di Balik Budidaya Tembakau

Pada bagian belakang Penginapan dan Restoran Don Biyu milik Bli Putu, pemandangan lembah hingga ke puncak gunung tersaji. Hamparan pohon cengkeh memenuhi sebagian besar wilayah itu. Saat senja, kabut kerap memenuhi kawasan itu, angin berhembus bawa kesejukan. Kadang hingga begitu dingin. Sunyi. Sepi.

Pada suasana seperti itu, saya kerap merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Merenung dan merenung. Memikirkan banyak hal yang melintas dalam kepala. Tentang cerita-cerita adat di Munduk dari Bli Putu, tentang pelajaran di kebun cengkeh dari Bli Komang, tentang Tuhan, manusia dan alam.

Saya muslim. Sependek pengetahuan saya, lelaku semacam nyepi yang dilakukan umat Hindu, ada kemiripan dengan lelaku yang juga dipraktikkan oleh umat Islam. Ada beberapa perbedaan tentu. Tetapi ada pula persamaannya. Dalam Islam, lelaku itu lazim disebut uzlah. Nabi Muhammad mencontohkan itu dalam uzlahnya ke Gua Hira misal.

Di Desa Munduk, saya merenungi kesamaan-kesamaan itu, mendengar cerita tentang ritual utama perayaan Nyepi Umat Hindu dari Bli Putu, dan mempraktikkan semampu saya apa yang kami orang muslim kerap sebut Uzlah.

Ritual utama perayaan Nyepi, atau disebut Catur Barata Penyepian, mensyaratkan empat lelaku utama: Amati Geni; Amati Karya; Amati Lelungaan; Amati Lelanguan. Tidak menyalakan api termasuk penerangan dan tungku masak yang artinya mesti berpuasa, tidak bekerja, tidak bepergian, dan tidak mencari hiburan.

Lelaku itu menjadikan banyak unsur dalam diri diistirahatkan dan mereka yang menjalani lelaku itu memfokuskan diri berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Saya pikir, dalam kondisi sosial kemasyarakatan seperti sekarang ini di muka bumi, lelaku ini diperlukan oleh manusia seluruhnya, tak hanya Umat Hindu. Dan saya yakin, seperti juga uzlah dalam ajaran Islam, dalam banyak keyakinan lain di muka bumi ini, ada juga sebuah anjuran semisal Nyepi, Uzlah, dengan ragam penamaan lain.

Selamat Hari Raya Nyepi.