REVIEW

Rokok dan Vatikan

Sepanjang bertugas di Kabupaten Asmat, Papua sejak pertengahan 2014 hingga pertengahan 2015, saya mengenal dan berinteraksi dengan beberapa orang pastor yang bertugas di Kabupaten Asmat. Mereka datang dari berbagai tempat di negeri ini, satu dua orang berasal dari luar Indonesia. Pulau Kei, Flores, Timor, Jawa, hingga Sumatera ada.

Dari belasan pastor yang pernah saya jumpai, lima di antaranya saya kenal akrab. Empat dari lima orang pastor yang saya kenal itu, aktif merokok. Menariknya lagi, jenis rokok favorit mereka berbeda-beda. Dari sana saya kemudian memetakan karakter empat orang pastor itu.

Yang pertama, seorang pastor asal Jawa Tengah. Kali pertama berjumpa dengannya, penampilannya khas pastor-pastor flamboyan dari Jawa Tengah dan Yogya, berambut gondrok sebahu dengan sebagian besar rambut memutih, berpakaian santai, jika bicara tenang dan elegan. Flamboyan, betul-betul flamboyan.

Baca: Mari Mengenal Jenis-Jenis Kretek

Jenis rokok favoritnya adalah sigaret kretek tangan (SKT) Dji Sam Soe. Selain itu, ia juga kerap membawa tembakau rajangan, cengkeh, dan kertas linting sendiri. Berbincang dengannya, begitu santai dan menenangkan. Betul-betul menerapkan prinsip tuma’ninah, tidak tergesa-gesa, perlahan, dan penuh pengendapan makna sebelum kata-kata dan asap rokok keluar dari mulutnya.

Yang kedua, seorang pastor muda asal Pulau Kei. Gayanya eksentrik, khas anak muda. Tubuhnya atletis, pembawaannya selalu jenaka. Ia mengisap rokok sigaret kretek mesin (SKM) mild, tepatnya Sampoerna Mild. Pilihan rokoknya seakan menyesuaikan dengan karakter pemuda yang masih enerjik.

Yang ketiga, seorang pastor asal Bogor, Jawa Barat. Bertubuh gemuk namun kerap tergesa-gesa. Ia juga begitu mudah bergaul dengan siapa saja dan mudah dekat dengan banyak kalangan. Rokok favoritnya adalah sigaret putih mesin (SPM) Marlboro merah. Pastor ini jugalah yang mengelola asrama dan penginapan milik gereja di Agats.

Baca: Akulturasi dan Toleransi Antar Umat Beragama di Kota Kretek, Kudus

Dan yang terakhir, adalah seorang pastor yang ditempatkan sejauh sekira 200 kilometer dari ibukota kabupaten. Ia bertugas di kampung yang terletak tak jauh dari perbatasan antar-kabupaten di hulu sungai. Gemar menjelajah, dan berjalan-jalan keliling kampung untuk berinteraksi dengan masyarakat. Ia juga inovatif dan sangat merakyat. Rokok favoritnya, juga seperti rokok favorit di tanah Papua, Gudang Garam Surya 16.

Selain empat orang pastor itu, saya juga mendapati banyak pastor dari gereja Katolik yang merokok. Saya lantas menanyakan bagaimana pandangan resmi gereja Katolik terkait konsumsi rokok. Berdasarkan informasi dari mereka (beberapa pastor mengutip ayat Al Kitab dan Katekismus Gereja Katolik, tetapi saya lupa persisnya ayat danbagian yang mana), segala yang merusak tubuh terlarang dikonsumsi dan dianggap perbuatan berdosa. Jika data kesehatan menyebutkan merokok mengganggu kesehatan, maka rokok terlarang.

Itu pulalah yang menyebabkan Paus Fransiskus pada 2018 melarang secara resmi penjualan rokok di wilayah Vatikan. Berdasarkan juru bicara Vatikan, Paus Fransiskus mengacu pada data WHO yang menyebutkan dalam satu tahun lebih tujuh juta orang meninggal karena rokok. Sebuah data yang masih bisa dibantah sesungguhnya, namun saya merasa saya harus menghormati keputusan Paus Fransiskus dan Vatikan, seperti juga saya menghormati fatwa Muhammadiyah, NU, Persis, dan beberapa organisasi lainnya terkait hukum merokok.

Namun ada informasi tambahan yang menarik dari berita pelarangan penjualan rokok di wilayah Vatikan. Vatikan merupakan daerah istimewa yang dikelilingi kota Roma di Italia. Wilayah tersebut adalah wilayah dengan otonomi khusus. Sejak 2003, di Vatikan dibuka toko-toko yang menjual produk-produk bebas cukai dan pajak. Salah satu produknya adalah rokok.

Mereka yang bisa berbelanja di sana hanya penduduk Vatikan dan para pegawai yang bekerja di Vatikan. Murahnya harga rokok di Vatikan dan mahalnya harga rokok di wilayah Italia yang mengepung Vatikan, membikin penjualan rokok di Vatikan begitu tinggi dan memberi keuntungan yang juga tinggi bagi otoritas pemerintahan di Vatikan.

Kerap mereka yang tinggal di Italia dan memiliki saudara yang bekerja di Vatikan menitip dibelikan rokok oleh saudaranya karena harganya yang relatif murah dibanding di luar Vatikan. Dalam sebulan, seorang pegawai yang bekerja di Vatikan diperbolehkan membeli 50 pak rokok, sedangkan para kardinal diperbolehkan membeli rokok mencapai 200 pak tiap bulannya.

Sekira 14 tahun rokok menjadi produk dengan penjualan tertinggi di Vatikan dan mampu memberikan pemasukan yang cukup menjanjikan di sana. Saya kira, fakta ini adalah fakta yang menarik tentu saja.