REVIEW

Kudus; Kota Santri dan Kota Kretek

Kudus merupakan wilayah terkecil dibanding kota lain di provinsi Jawa Tengah. Dahulu semboyan kota Kudus adalah “Semarak” (sehat, elok, maju, aman, rapi, asri, konstitusional), semboyan tersebut tidak sepopuler dengan julukan Kudus Kota Santri dan Kota Kretek. Dua julukan tersebut sudah melekat bagi Kota Kudus. Di Kudus terdapat dua Wali yang terkenal dengan sebutan Sunan Kudus (Ja’far Shodiq) dan Sunan Muria (Umar Said). Konon, penamaan Kudus berasal dari kata al-Quds nama lain Baitul Maqdis dan Yarussalem.

Sebagian besar masyarakat Kudus masih membagi wilayah menjadi Kudus Wetan (timur) dan Kudus Kulon (barat). Bagi kebanyakan masyarakat, Kudus Kulon diidentikkan dengan masyarakat agamis. Hal itu sangat wajar, karena selain terdapat bangunan cagar budaya masjid Menara Kudus, Makam Sunan Kudus, juga terdapat perkampungan pesantren dan tokoh Kiai/Ulama’. Sebagai contoh, KH. Saleh Darat (Al Maghfurlah) dahulu pernah menjadi santri di wilayah sekitar masjid Menara yaitu belajar dengan Kiai Ishak Damaran (Al Maghfurlah) dan belajar kepada KH. R. Muhammad Shaleh bin Asnawi (Al Maghfurlah). KH. Saleh Darat (Al Maghfurlah) seorang Ulama’ asli dari Jepara kemudian mukim diperkampungan Darat Semarang, yang banyak mencetak Kiai/Ulama’ nasional seperti KH. Hasyim Asy’ari Al Maghfurlah (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan Al Maghfurlah (pendiri Muhammadiyah), KH. Mahfudz Tremas Al Maghfurlah, KH. R. Dahlan Tremas Al Maghfurlah dan masih banyak lagi Kiai/Ulama’ yang dahulu pernah menjadi santrinya termasuk R.A Kartini. Sedangkan Kudus wetan sebagai kantor pemerintahan, kantor swasta dan industri besar.

Antara Kudus Kulon dan Kudus Wetan di batasi dengan sungai bernama “Gelis” terkenal dengan sebutan “kali gelis”.

Banyak orang tua disekitar masjid menara menceritakan, bahwa pada zaman kewalian, kali gelis digunakan sebagai jalur transportasi perdagangan dari penjuru kota. Salah satu perdagangan yang terkenal saat itu adalah tembakau. Dahulu di sekitar Masjid al-Aqsha Menara Kudusterdapat pasar (sekarang sudah tidak ada), tepatnya di depan Menara agak keselatan, sekarang ini dibuat taman dan kios kios kecil. Pasar tersebut terkenal dengan julukan pasar bubar. Di pasar itulah dahulu tempat berjualan dan tempat berdagang terbesar di Kudus. Di tengah-tengah pasar terdapat masjid kecil, sering disebut masjid wali. Untuk masuk masjid tersebut harus membungkukkan badan sebagai pemberian hormat dan supaya tidak sombong, karena pintunya didesain sangat pendek.

Selain banyak pesantren, di Kudus Kulon terdapat beberapa sektor usaha rumahan, salah satunya konveksi (jahit menjahit pakaian) dan sektor pertembakaun. Baik berdagang tembakau sampai pada perdagangan hasil olahan tembakau (kretek).

Baca: Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama’ Kudus

Bagi masyarakat konveksi, kemahiran di dapat dari kota Malang Jawa Timur. Sampai pernah di salah satu jalan di Kota Malang diberi nama jalan Kudusan, saat ini telah diganti dengan jalan KH. Zainul Arifin.

Dalam catatan sejarah di sekitar Kudus Kulon terdapat perdagangan tembakau dan kretek.  Di dekat kali Gelis masih terdapat bangunan rumah dan sekarang menjadi cagar budaya, konon dahulu sebagai tempat tinggal pengusaha kretek terkenal dengan julukan Raja Kretek yaitu Nitisemito.

Dalam sejarah perjalanan keliling kota, Nitisemito selalu menyempatkan masuk masjid kota yang disinggahi dan memberikan hadiah berupa jam dinding besar.

Walaupun sebagai saudagar besar, Nitisemito tetap tunduk ajaran agama yang di bawa Sunan Kudus, seperti halnya tidak boleh memotong binatang sapi. Hal itu di praktekkan, dalam acara apapun Nitisemito tidak memakai daging sapi melainkan daging kerbau sebagai jamuan para tamu yang hadir. Bahkan, dalam menjamu tamu, daging kerbau diolah sesuai makanan kesukaan Sunan Kudus, yaitu masakan nasi jangkrik.

Baca: Alkisah Sebutan Kudus Kota Kretek

Lain halnya Nitisemito, di sebelah selatan masjid Menara Kudus terdengar cerita nama Subhan ZE pernah menjabat ketua Anshor PBNU, yang sejak kecil sudah bergelut dengan tembakau sampai dewasa, karena keberadaan ayah angkatnya sebagai pedagang tembakau.

Begitu juga cerita KH. Sya’roni Ahmadi, bahwa dulu ayahnya adalah pedagang tembakau menyewa kios di selatan Masjid Menara Kudus. Sejak kecil sering ia sering membantu ayahnya mengolah dan membungkus tembakau.  Jadi tidak heran kalau KH. Sya’roni mulai menghisap kretek pada umur 10 tahun. Diceritakan pula, bahwa ayah mertua KH. Arwani Amin al-Hafiz (Al Maghfurlah) bernama H. Abdul Hamid (Al Maghfurlah) selain berdagang kitab juga mempunyai industri kretek rumahan.

Cerita H. Yusrul Hana Sya’roni (Gus Hana), KH. Arwani Amin (Al Maghfurlah) tidak menghisap kretek, akan tetapi di ruang tamu beliau terdapat tiga kotak, yang isinya kretek, uang receh dan permen. Ketiga barang tersebut selalu di sediakan untuk menjamu tamu. Tamu anak-anak dikasih permen, tamu usia remaja dikasih uang, dan bagi tamu dewasa dan orang tua disuguhkan kretek.

Dari dua perdagangan di atas yang masih banyak ditemukan dan eksis di Kudus Kulon hanya konveksi. Sedangkan perdagangan sektor pertembakauan di Kudus Kulon sekarang ini tinggal beberapa glintir, dan bahkan ada yang sudah tutup, ada juga gudang usaha masih berdiri tegak, namun tidak beroperasional lagi. Selanjutnya, ada pertanyaan, mengapa Kudus Kulon yang dahulu banyak dijumpai santri berkecimpung dalam perdagangan sektor pertembakauan, sekarang ini jarang di jumpai bahkan ada yang tutup?

Jawabannya bukan karena adanya fatwa MUI atau fatwa Muhammadiyah mengharamkan kretek. Akan tetapi, pertama; karena regulasi dan peraturan pemerintah yang selalu menaikkan beban cukai, mengatur tentang ketentuan tempat pengolahan hasil tembakau harus 200m2 dan lain sebagainya. Kedua; terjadi ekpansi besar besaran, ke daerah Kudus Wetan, karena lahan yang ada di Kudus Kulon padat penduduk, dan mobilitas tinggi.

Baca: Akulturasi dan Toleransi Antar Umat Beragama di Kota Kretek, Kudus

Kejayaan kota Kudus, selain sebagai basis santri juga basis usaha kecil, menengah dan besar. Tidak terlepas dari keberadaan Sunan Kudus. Dalam sejarahnya diyakini masyarakat, bahwa  filosofi hidup masyarakat Kudus adalah “GUSJIGANG”: bagus, ngaji lan dagang.  Artinya, berkepribadian bagus (berakhlak mulia), tekun mengaji dan pandai berdagang. Artinya mampu mengenal dan membaca peluang usaha, serta ulet. Salah satu perdagangan yang terkenal dari dulu hingga sekarang adalah perdagangan sektor pertembakauan, mulai perdagangan bahan baku berupa tembakau dan cengkeh, juga perdagangan hasil olahan keduanya, berupa “rokok kretek”.

Jadi keberadaan rokok kretek sudah mendarah daging sebagian besar masyarakat Kudus. Bahkan hingga saat ini, sektor pertembakauan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Kudus. Artinya, lesunya perdagangan di Kudus, sangat dipengaruhi lesunya perdagangan pertembakauan. Pasar –pasar sepi, disaat pasar rokok kretek menurun.