REVIEW

Shadikin Pard, Pelukis Tanpa Lengan yang Mengharumkan Bangsa dengan Kedua Kakinya

Terlahir sebagai tunadaksa atau tanpa tangan, tidak membuat Shadikin Pard pesimis menjalan hidup. Lebih dari itu, ia berhasil membuktikan bahwa kekurangan bukanlah aral melintang yang mengganjal langkah menuju kesuksesan.

Hujan sudah reda ketika kaki saya memasuki gerbang Taman Balekambang, Surakarta. Di dalam, di atas tanah yang masih basah, ratusan pelukis dari penjuru negeri sedang sibuk mengaktualisasikan kegelisahan hatinya ke sebuah kanvas. Mereka sedang mengikuti Indonesia Painting Contest 2019 yang diselenggarakan oleh NU Gallery.

Saya terus melangkah menyusuri tanah basah yang di samping kanan dan kirinya para pelukis sedang khidmat menggoreskan kuas. Hingga kaki saya terhenti di hadapan pelukis yang berkonsentrasi melukis menggunakan kedua kakinya.

Sebatang kuas dijepitkan di antara jemari kaki. Sesekali ia menyelupkan kuas itu ke dalam cat dan kemudian menggoreskannya ke dalam kanvas hingga membentuk sebuah lukisan realis Reog Ponorogo yang indah.

Baca: Industri Rokok Kretek Nasional, Bertahan dalam Rentetan Panjang Krisis Ekonomi

Di sampingnya, seorang pemuda yang ternyata anaknya dengan sigap menjalankan instruksi ayahnya, mulai dari mengganti ukuran kuas yang terjepit di antara jemarinya, membuka botol cat dan lain sebagainya. Sesekali anaknya menyalakan rokok dan menyodorkan ke hadapan mulut ayahnya.

Ia melukis Reog Ponorogo bukan tanpa alasan. Ia ingin memberikan kritik kepada seluruh masyarakat dan Pemerintah, bahwa mencintai kekayaan budaya bangsa sendiri adalah kewajiban yang harus selalu digelorakan. Jangan sampai, ketika kebudayaan tersebut direbut negara lain, bangsa ini baru panik dan serius mengakui serta membanggakan kekayaan kebudayaan sendiri.

Ialah Shadikin Pard, seorang pelukis masyhur yang terlahir tunadaksa atau tanpa kedua tangan. Kami berbincang di bawah pohon beringin rindang. Di antara para pelukis lainnya yang sedang beristirahat menunggu waktu pengumuman pemenang dibacakan.

Pria kelahiran 29 Oktober 1996 ini mulai melukis sejak masih di taman kanak-kanak. Saat itu, melukis hanya sebagai hobi semata. Sadikin juga pernah les privat melukis di rumahnya. Hingga mengenyam pendidikan sekolah menengah atas di SMA Santa Maria Kota Malang, Sadikin masih menempatkan melukis sebagai hobi.

Di tengah keterbatasannya, Sadikin lalu melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kala itu, Sadikin mengambil jurusan psikologi pascagagal mengambil jurusan arsitektur yang ia dambakan dan cita-citakan.

Baca: 10 Manfaat Rokok bagi Kesehatan Anda

Bagi Sadikin, kekurangan yang diberikan Tuhan adalah sebuah kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain. Kegigihannya dalam belajar melukis menghantarkannya ke Associaton of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA). Sebuah organisasi yang bermarkas di Swiss dan menghimpun karya pelukis yang melukis menggunakan kaki dan mulut.

“Setelah masuk AMFPA, saya menjadikan melukis sebagai profesi. Tahun 1989 saya menerima 300 swiss franc, setara Rp 300 ribu waktu itu. Kini, saya menerima sekitar 40 jt setiap bulan,” ungkap Sadikin.

Sadikin terus melukis. Kemampuannya terus berkembang, bahkan melebihi tuntutan dari organisasi yang ia ikuti. Nama Sadikin juga mulai dikenal, bukan sebab keterbatasannya, melainkan sebab karyanya yang memang bernilai tinggi.

Setiap kali ada pameran lukisan dan kontes-kontes melukis, Sadikin tidak pernah alfa untuk mengikutinya. Karyanya menjadi sorotan publik dan banyak laku dengan harga yang tidak murah. Bahkan menurutnya, ada salah satu lukisannya yang laku hingga Rp 250 juta.

Menolak Pasrah dan Bergantung kepada Pemerintah karena Disabilitas

Sadikin tidak mau dikasihani orang lain. Meski ia tunadaksa, ia adalah manusia yang sama, yang memilki kesempatan besar untuk menjalani rutinitas sebagaimana manusia lainnya. “Kuncinya adalah terus mencoba, mencoba dan mencoba. Saya tidak apa-apa dicemooh lukisan saya jelek. Bagi saya cemoohan seperti itu adalah cambuk untuk terus berlatih,” tegas Sadikin.

Menurut Sadikin, masyarakat harus adil memerlakukan para difabel. Difabel harus diperlakukan sebagaimana orang biasa. Semakin banyak orang yang mengasihani difabel, maka tidak malah membuat difabel itu kuat, sebaliknya berdampak melemahkan.

“Difabel harus diperlakukan seperti manusia biasa, bahkan ia harus diberi tantangan dan ditempa untuk menemukan kelebihan dalam dirinya,” kata Sadikin.

Bagi Sadikin, para difabel harus mulai mengubah sudut pandang. Bahwa segala kekurangan tidak kemudian menjadikan para difabel pasrah menerima nasib dan mengharapkan santunan dari orang lain dan pemerintah untuk menjalani hidup. Difabel adalah orang istimewa yang dapat berkarya melebihi orang-orang biasa. Kekurangan ini adalah kelebihan yang akan ditemukan dengan kerja keras dan melatih diri menjadi apa yang diinginkan.

Sadikin bisa berangkat ke Swiss dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia, tidak terlebih dulu mendapat perhatian dari pemerintah. Ia mengaku berangkat dengan uang sendiri. Bahkan, lanjut Sadikin, hingga kini pun tidak ada pemerintah yang mengapresiasi karya-karyanya.

“Saya tidak menginginkan belas kasihan dari pemerintah. Karena yang sejatinya benar adalah, kita dapat memberikan apa kepada negara ini, bukan negara dapat memberikan apa kepada kita. Namun yang saya sayangkan, pemerintah sepertinya tidak peduli memperhatikan para seniman dan menghargai karya seni dari para seniman negeri sendiri. Seharusnya para seniman ini diberikan wadah, diperhatikan, kan juga kalau manajemennya bagus bisa menjadi pemasukan untuk negara,” tegas Sadikin.

Sadikin mengirim pesan kepada seluruh seniman di Tanah Air untuk terus berkaraya, tanpa peduli akan bernilai apa sebuah karya tersebut. “Yang terpenting kita dapat mengaktulisasikan diri dan terus melukis dengan niat mengharumkan nama negeri. Teruslah berkarya, karena sejatinya karya adalah yang dibuat dengan kesungguhan dan keikhlasan hati,” pungkas pelukis beranak dua tersebut.