cengkeh indonesia
Uncategorized

Deposito dalam Bentuk Cengkeh Kering di Indonesia

Empat negara mencari dan mencoba cengkeh yang berada di Indonesia untuk kebutuhan mereka. Cengkeh, menjadi komoditi utama dan nilainya seperti emas.

Hari-hari belakangan ini saya kembali teringat Mustafa. Salah seorang penduduk di Pulau Simeulue yang menyisihkan beberapa karung cengkeh tiap musim panen sebagai tabungan pendidikan untuk tiga orang anaknya yang tiga tahun lalu. Ketika saya berjumpa dengan mereka, usianya 13 dan 9 dan 4 tahun. Untuk hidup sehari-hari, selain mengandalkan hasil dari kebun cengkeh, Mustafa pergi melaut menggunakan perahu miliknya sendiri.

Mustafa berharap anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya sesuai kemampuan dan terutama keinginan ketiga orang anaknya. Dengan tabungan cengkeh, ia yakin akan mampu membiayai sekolah ketiga anaknya hingga jenjang doktoral sekali pun. Usai mengetahui fakta itu, saya lantas bertanya kepada Mustafa, “Harapan Bang Mustafa itu bukan karena Abang menganggap pekerjaan sebagai petani cengkeh dan nelayan itu pekerjaan yang tidak menjanjikan kan, Bang, atau pekerjaan yang nggak bergengsi?”

“Ini bukan perkara uang atau pekerjaan. Sama sekali bukan. Kalau pertimbangan itu saja, anak saya sekarang pun sudah tahu ke depan akan bekerja di mana, ya di kebun cengkeh, dan di laut. Saya mimpi, ketiga anak saya jadi petani dan nelayan yang punya kepintaran tambahan, bukan cuma pintar di kebun dan di laut, tapi pintar sekolah juga, sampai S3 kalau bisa. Itu saja.” Ujar Mustafa menjelaskan.

Singgah dan Bersua dengan Anak Mustafa

Perjumpaan pertama saya dengan Mustafa, hasil diplomasi warung kopi. Ketika saya berkunjung ke desa tempat Mustafa tinggal, tak ada seorang pun yang saya kenal di desa itu. Saya juga tidak membawa pemandu lokal. Seorang diri saya datang menumpang angkutan umum. Cara paling tepat dan cepat untuk bisa berkenalan dengan warga desa, saya kira di warung kopi. Maka saya berkunjung ke warung kopi di pusat desa. Betul saja, warung kopi ramai pengunjung. Kurang dari 30 menit saya sudah mengenal lebih separuh pengunjung warung kopi, dan sejam berikutnya saya sudah bertanding catur melawan Mustafa di warung kopi.

Ketika akhirnya Mustafa mengundang saya berkunjung ke rumahnya, dan tinggal menginap di rumahnya selama saya melakukan riset perihal cengkeh di desanya, respon dari anak Mustafa yang paling kecil membikin saya terkejut. Ia menangis usai mendengar cerita Mustafa perihal kedatangan saya ke rumah mereka. Sembari menangis anak itu berujar, “kebun cengkehnya nggak dijual, jangan dijual. Nggak boleh!”

Mustafa tertawa, pun begitu dengan saya. Ia berpikir penelitian saya tentang kebun cengkeh sama saja dengan membeli kebun cengkeh milik Bapaknya. Tenang saja, nak, saya tidak sekaya itu sampai mampu beli kebun cengkeh berhektare-hektare, begitu saya membatin. Saya juga takjub, sudah sedari dini Mustafa menanamkan kecintaan terhadap cengkeh dalam diri anak-anaknya.

Cengkeh, memang komoditas yang begitu menjanjikan di Indonesia. Sudah sejak lama seperti itu. Kali pertama cengkeh menjadi primadona di pasar dunia, membikin empat negara sekaligus hendak menjajah Nusantara. Belanda menjadi pemenangnya. Pamor cengkeh lantas turun setelah ditemukannya mesin pendingin.

Nilai cengkeh kembali terdongkrak naik pasca produk rokok kretek ditemukan dan kemudian beredar hingga akhirnya menguasai pasar rokok nasional. Kretek, adalah rokok yang terdiri dari campuran setidaknya dua bahan utama, cengkeh dan tembakau. Tanpa keberadaan cengkeh, rokok itu tidak bisa disebut kretek.

90 Persen Kebutuhan Cengkeh untuk Industri Kretek 

Hingga hari ini, lebih 90 persen hasil produksi cengkeh nasional diserap industri rokok. Sepemantauan saya, harga paling rendah cengkeh kering kualitas baik per kilogramnya Rp50.000. Itu jarang terjadi. Rerata harga cengkeh nasional per kilogram berada di angka Rp100.000.

Kadang bisa mencapai Rp150.000 bahkan bisa lebih hingga pada angka Rp200.000. Petani cengkeh sejahtera. Cengkeh juga yang berada di garda depan pelestarian lingkungan. Kebun cengkeh yang menjelma hutan dipertahankan kuat-kuat oleh pemiliknya dari sebuah usaha merampas lahan guna membuka lahan pertambangan dan atau perkebunan sawit.

“Setiap musim panen, kami memanen emas. Tumbuh setahun sekali emas itu, tinggal dipetik. Tapi emas yang ini beda warnanya, cokelat, ya cengkeh kering itu. Jadi, kalau sudah ada emas di atas, untuk apa gali-gali tanah lagi cari emas di bawah sana.” Ujar salah seorang pemilik kebun cengkeh di Kepulauan Maluku.

Di Aceh Besar, kabupaten lain di luar Simeulue yang juga menjadi sentra penghasil cengkeh di Aceh, tanaman cengkeh digunakan warga sebagai tameng dari upaya perampasan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan bahan baku semen. Sejak 2015 hingga saat ini, grafik luasan perkebunan cengkeh paling meningkat drastis secara nasional terjadi di Kabupaten Aceh Besar.

Masyarakat yang menanami lahan mereka dengan cengkeh berpikir, cara paling mangkus dan sangkil guna melindungi lahan dari serbuan investor yang haus akan lahan adalah dengan cara memproduktifkan lahan mereka, mereka memilih cengkeh sebagai komoditas yang paling menjanjikan untuk memproduktifkan lahan.

Rencana Jahat FCTC terhadap Cengkeh Indonesia

Sayangnya, ada rencana jahat yang hendak menghancurkan perkebunan cengkeh di negeri ini. Rencana jahat itu celakanya diinisasi oleh WHO, lewat sebuah skema bernama FCTC. Jika pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC, cengkeh akan kembali mengalami kejatuhan hingga titik terendah.

Karena, salah satu pasal dalam FCTC menyebutkan bahwa dalam sebatang rokok yang boleh beredar di pasaran, haram hukumnya ada bahan baku lain selain tembakau. Ini berarti, lebih 90 persen hasil cengkeh nasional tak bisa lagi diserap industri rokok. Sebuah bencana besar tentu saja, yang bukan tak mungkin akan menimbulkan huru-hara besar.

Huru-hara yang juga pernah terjadi pada periode 90an. Ketika itu, pemerintah lewat BPPC memonopoli komoditas cengkeh. Harga cengkeh menurun drastis. Petani juga kesulitan menjual hasil cengkehnya. Hasilnya, kebun cengkeh ditebangi, sebagian dibakar warga karena dianggap sudah tidak berharga lagi. Tatanan sosial terganggu karena kondisi ini. Ke depan, jika FCTC diratifikasi, bukan tak mungkin huru-hara yang sama, atau bahkan lebih dahsyat dari yang terjadi pada periode 90an akan terjadi. Dan negara akan kewalahan menghadapinya.