PERTANIAN

Sudah Menanam, Tidak Dibeli: Petani Tembakau di Rembang Bersusah Hati

Beberapa hari lalu, seorang kawan mengirim video petani tembakau, dengan sangat emosional, mencabuti tanamannya yang sudah siap panen. Tak berselang lama, kawan lain mengirim link berita perihal kasus yang sama, bedanya kali ini para petani membakar tembakau yang sudah siap dijual ke pabrik.

Tak hanya itu sebenarnya, beberapa kawan lain juga mengirimkan video serupa kepada saya. Video yang berisi petani tembakau mengeluhkan harga jual tidak sebanding dengan modal yang petani keluarkan selama masa tanam dan panen.

Sejujurnya, tiap mendapat pesan yang menggambarkan kegetiran petani tembakau pada masa tanam di tengah pandemi ini, saya teringat bapak dan banyak tetangga di Rembang, yang juga merasakan kegetiran sama. Beberapa kali, sepupu saya memberi kabar jika banyak petani yang murung lantaran tembakaunya tak terserap. Sekali lagi, tidak terserap. Bukan cuma harga yang melorot, tapi juga tidak terbeli.

“Dek, ini banyak tembakau yang terpaksa dibawa pulang. PT. Sadhana tidak mau beli,” begitu pesan yang dikirimkan sepupu saya, lengkap dengan foto tembakau yang menumpuk di atas truk.

Saya bertanya balik kepadanya, sebab apa tembakau petani tak dibeli? Bukannya petani-petani di Rembang kebanyakan bermitra dengan PT. Sadhana? Yang kabarnya, jika petani mau bermitra maka “terserapnya hasil panen” adalah jaminan, berapapun harganya?

Sepupu saya tidak menjawab, ia hanya mengirim pesan, “pokoknya panen ini petani menangis. Entah bisa menutup modal atau tidak!”

Karena masih penasaran dengan pertanyaan yang tidak terjawab itu, minggu lalu saya pulang ke rumah bersama beberapa kawan. Bukan hanya untuk menuntaskan pertanyaan yang mengendap dalam hati, tapi juga bagian bakti seorang anak kepada kedua orang tua. Dengan menjenguk dan mencium telapak tangan mereka.

Di rumah, saya bisa leluasa berbincang dengan bapak. Menanyakan apapun yang ingin saya tanyakan perihal penen tahun ini.

Di dalam rumah saya melihat banyak sekali daun tembakau yang baru dipanen. Tembakau-tembakau ini akan dirajang tepat sehabis salat subuh, tentu saja setelah didiamkan di dalam rumah, kira-kira, 3 hari hingga daun menguning.

Di sudut rumah lainnya, saya melihat tembakau yang sudah dibal rapih menumpuk. “Niki mboten dikirim, Pak?” Tanya saya sambil memegang bal tembakau itu.

“Sudah. Tapi kembali lagi. Tidak dibeli,” jawab Bapak singkat.

Bapak mencoba menerangkan, kenapa banyak tembakau yang terpaksa dibawa pulang. “Katanya, banyak daun bawah yang sudah dirajang terlalu banyak debu. Dan kata PPL (pengarah tanam), seharusnya daun bawah tidak dirajang dulu. Tapi kan dulu tidak seperti ini, meski dirajang daun bawah tetap dibeli, ya dengan harganya murah. Ya tapi kan dibeli, jadi kan petani ayem (tenang). Padahal petani tidak melakukan kecurangan. Tidak mencampur gula, madu atau lain-lainnya agar warna dan lengket tembakau makin bagus,” jelas Bapak.

Saya agak tergelitik dengan ucapan bapak, “masalahnya kalau tidak dibeli begini, petani tidak boleh menjual ke pedagang lain. Karena sudah tanda tangan kontrak bermitra.”

Saya menanyakan salinan kontrak yang dimaksud Bapak. Tapi bapak bilang, kalau petani tidak mendapat salinan. Petani hanya menandatangani kontrak semata, sehingga saya pun tak bisa membaca bagaimana bunyi poin per poin kontrak tersebut. Beberapa kali saya juga mencoba mencari akses untuk mendapatkan kontrak tersebut, dan hasilnya selalu nihil.

Dengan membaca kontrak itu, setidaknya permasalahan menjadi gamblang. Pihak mana yang seharusnya bertanggung jawab, jika hasil panen akhirnya hanya menjadi rongsokan atau daun tak bernilai belaka. Namanya bermitra, setahu saya, harus saling paham keuntungan dan risikonya. Sehingga sangat konyol sekali jika kontrak itu hanya dipegang oleh salah satu pihak semata.

Saya bisa merasakan, betapa dag dig dug hati bapak dan ,mungkin, petani lainnya. Kalau-kalau, hasil panennya tidak bisa menutup cost produksi. Saya mencoba membaca psikis bapak, bahwa saat ini yang diharapkan betul bukan seberapa banyak untung dari hasil panen, melainkan tembakau terbeli dan menutup cost produksi yang telah dikeluarkan. Jika pun akhirnya untuk, tentu saja rasa syukur tak terkira.

Di tengah pandemi dan kelakuan pemerintah yang seenak udelnya menaikkan cukai rokok seperti ini, saya mafhum jika pabrikan juga sangat berhati-hati dalam belanja tembakau. Tapi ini kasus yang berbeda, Sadhana telah menjalin kemitraan dengan para petani, konsekuensinya PT. Sadhana seharusnya berlaku bijak untuk menyerap semua hasil panen petani kemitraannya.

Nahasnya lagi, pemerintah tidak pernah hadir dalam persoalan-persoalan yang menyangkut hidup dan mati petani tembakau. Yang ada dalam benak mereka hanyalah, bagaimana mengeruk hasil sebanyak-banyaknya dari industri hasil tembakau. Jangan tanya bagaimana pemerintah akan melindungi mereka, wong uang cukai rokok saja mereka gunakan untuk kampanye menyerang tembakau.

Untuk petani tembakau di seluruh negeri, yang kuat, yang tabah, mari terus berjuang sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.