maestro rokok
REVIEW

Mengenal Lebih Dekat Tempat Asal Sang Maestro Kretek

Kudus Kota Kretek sebagaimana yang tertulis di setiap armada PT Djarum tidak salah. Tulisan tersebut mengingatkan kita kalau kota di pesisir selatan Jawa itu merupakan kota penghasil kretek sampai sekarang. Walaupun di kota-kota lain seperti Kediri, Malang, Pasuruan juga ada industri rokok kretek. 

Lebih dari itu, tulisan Kudus kota kretek tidak sekadar promosi jika kota ini hanya produsen kretek semata, namun ada makna yang tersirat bahwa Kudus adalah satu-satunya kota yang kali pertama munculnya rokok kretek. Ada cerita, kemunculan rokok kretek untuk kalangan kelas bawah. Seperti para kusir, pegawai kasar di pasar –pesuruh/manol–, rakyat jelata dan kaum pinggiran. Bahkan di awal-awal kemunculannya sempat menjadi ejekan kaum elit. Siapa yang merokok kretek pertanda orang kaum lemah. Karena saat itu para elit dan penjajah merokok memakai cangklong dengan harga yang mahal.

Pertama, kemunculan rokok kretek hanya memakai daun jagung sekarang terkenal dengan sebutan rokok klobot. Memang tidak jarang saat itu dalam kondisi darurat memakai kertas seadanya, karena yang terpenting dapat merokok ramuan tembakau dan cengkeh.   

 Lain itu, banyak cerita kalau rokok kretek diciptakan untuk pengobatan alternatif mengatasi sakit asma/bengek. Mulanya H. Djamhari untuk mengatasi sakit asmanya yang sudah sekian tahun tidak reda mengoleskan minyak cengkeh ke dada. Dirasa lebih enak dan sakit asmanya berkurang. Sebagai orang yang cerdas dan perokok, kemudian H. Djamhari mencampurkan minyak cengkeh ke tembakau. Ternyata juga punya dampak walaupun kecil mengurangi rasa sakit asmanya.  Selain itu, ia merasakan rokoknya makin nikmat. 

Tidak berhenti disitu, H. Djamhari selalu melakukan eksperimen dengan berinovasi kadar minyak cengkeh ditambah, hingga sampai pada puncaknya ia menambahkan bunga cengkehnya pada tembakau. Lambat laun derita sakit asmanya hilang.  

Dari pengalaman pribadinya, selanjutnya H. Djamhari menularkan ke orang lain, dan banyak yang cocok, hingga mereka pada pesen untuk dibuatkan rokok kretek. Hari demi hari pesanan rokok kretek selalu bertambah, hingga nama H. Djamhari terkenal dikalangan kaum bawah maupun pemerintah saat itu. 

H. Djamhari tidak kesulitan menemukan kelompok masyarakat bawah, karena tidak jauh sekitar kurang lebih 900 m dari rumahnya adalah tempat peristirahatan para kusir kuda yang sedang menunggu penumpang keluar dari pasar tradisional yang berada di depan masjid al-Aqsa Menara Kudus, dan juga tempat nongkrongnya. Pasar tersebut memang ramai di waktu tertentu. Artinya tidak setiap hari pasar tersebut ramai para pedagang dan pembeli yang datang dari dalam dan luar kota.

Hanya 1 kali dalam satu bulan –hari dan dan waktunya belum diketahui pastinya–. Walaupun 1 kali, pasar tersebut dahulu sangat terkenal dimana-mana. Bahkan para tengkulak  dari luar kota sudi datang sebelum waktunya tiba. Mereka biasanya bersinggah  dan bermalam sementara di sekitar daerah pasar tersebut, seperti di desa Sunggingan, desa Demaan, dan desa lainnya. Tiap waktunya tiba, para pedagang pada datang dari berbagai macam dagangan, termasuk tembakau.

Bahkan KH. Sya’roni Ahmadi –sesepuh Kiai saat ini—mengatakan, disaat kecilnya hingga dewasa ia membantu orang tuanya berjualan tembakau di kios pinggir jalan yang disewa bapaknya. Kios tembakau tidak hanya miliknya, banyak sekali kios berjualan tembakau lainnya.  

Pasar tersebut kekinian terkenal dengan sebutan pasar bubar, dan sekarang telah dijadikan taman oleh pemerintah Kudus, ikut wilayah Desa Kauman. Sedang tempat tinggal H. Djamhari banyak cerita di desa Langgardalem –tetangga desa Kauman–. Konon di desa Langgardalem ini dahulu tempat tinggal Kanjeng Sunan Ja’far Shodiq –Sunan Kudus–, yang dulu pernah menitipkan tanaman tembakau kepada Sunan Kedu untuk di tanam di wilayah Kedu –Temanggung dan sekitarnya–.

Masyarakat Langgardalem sangat agamis, selain itu pandai berdagang.  Bisa dilihat di sana masih banyak bangunan bangunan kuno yang tetap berdiri tegak dan dihuni dan megah di jamannya dulu. Pekerjaan masyarakat Langgardalem selain mengajar baik formal maupun non formal adalah sebagai pedagang macam-macam. Dilihat dari beberapa rumah yang ada, di Langgar Dalem pernah sebagai sentra industri rokok kretek.  

Sepeninggalan H. Djamhari rokok kretek diproduksi masal, di masa itulah banyak industri rokok rumahan di desa Langgardalem. Bahkan konon raja kretek “Nitisemito” lahir dan tumbuh dewasa di desa Langgardalem juga. 

Walaupun H. Djamhari belum bisa menikmati masa kejayaan rokok kretek akan tetapi ia merupakan generasi pertama yang memunculkan rokok kretek. Bahkan banyak peneliti menyimpulkan ia adalah sang pencipta rokok kretek yang sampai sekarang masih eksis dan disukai banyak orang. 

 Jika dicermati, rokok kretek adalah produk alternatif untuk pengobatan. Kalau bahasa populer saat ini masuk dalam kategori obat herbal. Jika ada orang yang mengklaim, produknya adalah rokok herbal terbuat dari campuran rempah, sebetulnya kali pertama kemunculan kretek sudah herbal dan memang rokok kretek apapun bentuknya, selama olahan tembakau dan cengkeh masuk dalam kategori obat alternatif herbal.  

H. Djamhari selain agamis, pandai berdagang dan pencipta rokok kretek, ia juga seorang organisatoris sarekat Islam. Keberadaannya sangat diperhitungkan penjajah, hingga ia harus rela berpindah-pindah tempat untuk menghindar dari penangkapan penjajah. Dan akhirnya kematian dan makam H. Djamhari tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana. Yang hanya bisa dilacak asal kelahirannya di desa Langgardalem Kabupaten Kudus Jawa Tengah. 

Apakah ada hubungan darah atau tidak antara Kangjeng Sunan Kudus dan H. Djamhari, tetapi yang jelas di daerah Desa Kauman Menara dan Desa Langgardalem mayoritas masyarakatnya masih banyak yang ada garis kerabat satu sama lainnya. Kalaupun tidak ada, hubungan yang mengikat adalah garis sanad hubungan santri dan Kiainya. Hal ini bisa dari sosok H. Djamhari seorang yang taat agama, bisa mengaji, kreatif –pandai dagang—salah satu warisan keilmuan Kanjeng Sunan Kudus, yang saat ini terkenal dengan istilah GUSJIGANG –bagus kaji/pandai ngaji dan pandai berdagang–. 

.