OPINI

Larangan Total Iklan Rokok dalam Revisi PP 109, Lonceng Kematian Industri Media

Industri hasil tembakau (IHT) dari hulu sampai hilir adalah satu-satunya model industri nasional yang masih tersisa di Republik ini. Industri ini mampu menyerap 6,1 juta tenaga kerja serta menghidupi 30,5 juta orang yang terlibat di dalamnya. Sektor IHT memberikan pemasukan terbesar kepada negara dari sektor cukai sebesar Rp. 170 triliun pada 2020. 

Meskipun ditekan oleh berbagai regulasi yang eksesif, bahkan ditambah dengan kondisi resesi ekonomi akibat covid-19, sektor IHT masih tetap liquid bagi pendapatan negara dibandingkan sektor lain. Hal ini dikarenakan penguasaan pangsa pasar kretek oleh produsen di dalam negeri sebesar 93% dan tidak pernah tertandingi oleh produk hasil tembakau lainnya. 

Sayangnya dibalik keunggulan dan kontribusi yang besar di dalam negeri, sektor IHT dihadapkan kepada tekanan regulasi yang cukup berat, salah satu regulasi yang menjadi beban terberat adalah Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. 

PP 109 merupakan regulasi pengendalian tembakau di Indonesia yang diadopsi dari traktat perjanjian internasional tentang pengendalian tembakau atau yang disebut FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Jika kita melihat pasal-pasal yang terkandung di dalam PP 109, maka terdapat klausul yang sama persis dengan pasal-pasal yang ada pada FCTC. Padahal Indonesia belum mengaksesi FCTC sampai dengan detik ini.

Peraturan ini bak sapu jagat yang menyapu dari hulu hingga hilir sektor IHT. Dari kadar nikotin dan tar yang ada pada tembakau, penempatan gambar peringatan kesehatan, larangan iklan dan sponsorship hingga persoalan cukai.

kretek

Betapa eksesifnya PP 109 yang sudah ada, kini hendak direvisi dalam waktu dekat. Salah satu pasal yang ditarget adalah pasal 26 sampai 34. Pasal tersebut mengatur mengenai iklan rokok di media yang nantinya akan diubah menjadi larangan total iklan rokok di seluruh media.

Sejatinya, pemblokiran iklan rokok secara total melanggar UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal 46 Ayat (3) butir c dan melanggar PP 109/2012 Pasal 27 Ayat (c) dan (d), bahwa iklan rokok selama ini tidak memperagakan wujud rokok dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama.

Pelarangan total iklan rokok pada dasarnya bertujuan menutup ruang gerak marketing perusahaan rokok atas produk rokok mereka. Sehingga pabrikan tidak mampu menyampaikan komunikasi produknya ke konsumen, begitupun dengan konsumen yang akan kesulitan mendapatkan informasi produk dari pabrikan.

Selain itu, pelarangan iklan rokok juga merampas hak kekayaan intelektual. Produk hasil tembakau di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Kita memiliki jenis produk hasil tembakau yang beragam jenis, utamanya pada produk kretek. Melalui entitas karya seni grafis pada bungkus kretek inilah yang menjadikan produk hasil tembakau di Indonesia menjadi khas.

Dalam Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya (Rudy Badil, 2011) kekhasan merek kretek sebagai alat komunikasi antara produsen dengan konsumen diangkat dalam satu bab tersendiri. Hal ini menunjukkan keunikan merk kretek  yang tercantum di bungkus rokok sebagai alat komunikasi visual dengan audiens yaitu konsumen.

Konteks legal mengenai pemblokiran iklan rokok secara total sejatinya juga melanggar UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal 46 Ayat (3) butir c dan melanggar PP 109/2012 Pasal 27 Ayat (c) dan (d), bahwa iklan rokok selama ini tidak memperagakan wujud rokok dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama. 

Artinya selama mengikuti aturan di atas, kenapa masih ngotot untuk dilarang secara total? Padahal, iklan rokok sudah diatur sedemikian ketat di dalam PP 109, baik dari segi jam tayang hingga konten. Jadi jika sudah ketat dan tertib untuk apa direvisi lagi?

Perlu kita ketahui bahwa iklan rokok merupakan salah satu pengiklan terbesar di Indonesia. Menurut data Nielsen, rokok kretek dengan belanja iklan mencapai Rp7,2 Triliun dengan pertumbuhan 24 persen. 

Lalu jika revisi PP 109 benar-benar terjadi, maka industri media akan kehilangan perputaran ekonomi dalam bisnis periklanan. Kemudian akan banyak berdampak pada sektor ekonomi kreatif yang memiliki jumlah tenaga kerja yang tidak sedikit. Sudahkah negara ini siap dengan kondisi bertambahnya pengangguran di tengah-tengah usaha pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah.