Ketenangan dalam bekerja sambil menggunakan notebook, handphone atau gadget praktis yang mudah dibawa kemanapun dan bisa bekerja kapanpun adalah idaman bagi semua pekerja digital.
Tentu dukungan lain seperti tempat, cuaca sekitar dan pelengkap lain seperti minuman, cemilan dan rokok wajib menjadi pertimbangan untuk bekerja. Misalkan saat saya membuat tulisan ini, ide yang muncul di kepala saya adalah sebuah tulisan ringan yang cukup enak dibaca dan tidak melulu bermuatan hal yang berat.
“Kelengkapan” menulis saya tidak selalu sama dan cenderung sederhana. Misalnya kali ini; berada di ruangan yang tidak berisi orang lain selain saya, cukup kipas angin dan tidak ber-AC, minuman bersoda dingin, bukan kopi dan non alkohol, sebuah tab dari pabrikan Samsung, meja bersih dan tentu saja rokok kretek. Kali ini saya mau agak boros, dengan menyediakan MLD putih isi 20 sekaligus Djarum Super isi 12. Tidak lupa korek api gas dan asbak yang saya letakkan di sisi kiri supaya lebih mudah kalau harus membuang abu dan puntung rokok.
Di tengah alunan musik “Fall Together” milik Temper Trap yang sudah belasan atau puluhan kali saya putar setiap kali menulis atau menggambar. Sebagian orang mungkin sulit mendengarkan musik sembari menulis, tapi entah kenapa saya selalu punya soundtrack setiap kali menulis. Misal saat saya menulis Surat Cinta Untuk Ibu Sri Mulyani yang pertama dan kedua, saya mendengarkan “Crossfire” milik Brandon Flowers dan “Caution” dari The Killers. Hasilnya, 2 tulisan saya mencurahkan isi hati seorang perokok dengan cukup emosional kepada Ibu Sri Mulyani. Tentu alasan lainnya karena saya pernah mengidolakan beliau.
Saat itu saya menulis surat cinta yang pertama di depan komputer lama yang power supplynya bermasalah tiap kali akan dihidupkan. Ditemani kopi, rokok kretek non filter; Rider dan tentu lagu “Crossfire” yang saya putar berulang kali hingga tulisan saya rampung dan dikirimkan kepada redaktur Boleh Merokok. Di tulisan kedua, Surat Cinta Kedua Kepada Ibu Sri Mulyani, saya buat di tengah ramainya warung kopi di daerah Jogja bagian utara. Tiba-tiba saja, es kopi susu dan Sukun Executive di depan saya memancing kekesalan saya kepada Ibu Sri Mulyani karena di tahun itu isu kenaikan cukai sangat kencang akan segera diketok palu oleh Ibu Kemenkeu kesayangan saya itu.
Di tulisan saya yang kedua, seringkali saya menulis sambil membiarkan rokok yang menyala menempel di bibir saya dengan asap yang sesekali masuk ke mata. Saya tidak peduli, rasa kesal sekaligus semangat menulis tiba-tiba muncul dan dengan “terpaksa” harus saya lakukan saat itu juga. Tidak terasa tulisan yang saya buat itu sudah menghabiskan 5-6 batang rokok dan lagu yang sama sudah diputar belasan kali hingga saat menulis saya kadang mengetik 1-2 lirik dari lagu “Caution” tadi. Wajar, saya tidak seperti orang-orang kebanyakan yang pikirannya bisa bercabang atau multitasking. Bukan karena saya kebanyakan menghisap rokok saat itu, tapi karena menulis sambil bernyanyi dalam hati mengikuti vokal dari Brandon Flowers.
Rokok kedua malam ini saya bakar, setelah selesai dengan Djarsup sebagai pembuka, lanjut dengan MLD putih. Sementara beberapa kawan saya sedang asyik di ruang tengah menonton film Suzanna di Netflix dan entah sudah berapa kali “Fall Together” diulang di aplikasi Youtube Music saya. Beberapa waktu lalu, saya pernah bercerita mengenai profesi yang menikmati rokok sambil bekerja. Bukannya mengganggu konsentrasi dan teledor melakukan pekerjaan, mereka malah lebih rileks dalam bekerja, tahap demi tahap benar-benar dikerjakan dengan baik.
Tapi sayangnya sampai hari ini masih banyak narasi buruk dari antirokok tentang merokok sambil bekerja. Ya, tentu saja buruk, kalau kalian bekerja sebagai karyawan SPBU lalu melayani pelanggan sambil merokok. Atau kalian bekerja di tempat pemotongan kayu, di bagian pengepul serbuk kayu lalu merokok sambil mengisi karung dengan serbuk kayu. Atau, kalian karyawan pabrik kertas, lalu merokok sambil mengoperasikan mesin potong. Tukang jok pun akan menghindari merokok sambil membuat busa dan menempel kulit jok, ga lucu kalau jok bolong karena kena bara dari rokok.
Saya, kalian, atau seluruh perokok di negara ini pasti paham bagaimana mengatur dan menempatkan diri kalau mau menikmati rokok. Contoh panjang sudah saya ceritakan di atas, ada kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari untuk menemani aktivitas semata-mata karena satu hal; kebiasaan. Yang disalah artikan oleh banyak orang sebagai efek dari kecanduan. Ada situasi yang membuat kita juga bisa semakin rileks dalam mengerjakan sesuatu ditemani banyak hal; sambil menikmati kopi, nyemil, mendengarkan lagu atau sambil merokok. Seandainya saya candu terhadap rokok, maka saya tidak akan menghasilkan beberapa tulisan untuk bolehmerokok.com tanpa merokok.
Seingat saya, saya pernah membuat 3 tulisan untuk bolehmerokok.com. Tulisan pertama saya selesaikan di atas kendaraan saat saya menumpangi Damri bandara dari kota Jogja menuju Bandara Kulonprogo. Tulisan kedua saya selesaikan di ruang tunggu rumah sakit saat menunggu saudara saya memeriksakan ambeiennya, dan tulisan ketiga saya tulis saat sedang menunggu tamu dan saya berada di dalam mobil yang sedang parkir di basement gedung.
Jadi sampai kapanpun, saya akan terus membantah bahwa candu yang dimaksud oleh antirokok itu hanya sebuah kebiasaan dalam melakukan sesuatu. Mungkin banyak dari mereka yang akan mewajibkan ada cemilan tiap kali menonton film, atau wajib mengunyah permen saat rapat, atau harus menyediakan minuman hangat tiap kali menulis sesuatu di gadget mereka, entah itu menulis narasi kampanye di media sosial, atau menulis artikel yang mengatakan bahwa rokok itu adalah candu. Lalu apakah saya bisa menggolongkan mereka sebagai pecandu permen atau keripik singkong?