merokok pandawa lima
REVIEW

Gaya Merokok Pandawa Lima

Bagaimana cara merokok pandawa lima?

Semestinya Lebaran kali ini saya tidak mengambil Job luar kota karena beberapa pertimbangan, Pertama; saya sudah diminta oleh keluarga besar untuk setor muka karena setahun terakhir jarang sowan karena beberapa kesibukan. Kedua, rasa-rasanya libur Lebaran kali ini akan sangat ramai dengan kendaraan, pasalnya 2 tahun terakhir, jutaan orang di negara ini memilih untuk tidak mudik karena pandemi, dan tahun ini seperti menjadi tahun “tidak peduli” dengan peraturan pemerintah karena sebelumnya banyak sekali penetapan peraturan yang di menit-menit akhir sering “dimodifikasi” untuk alasan yang bikin netizen mengamuk.

Tidak usah diberi contoh, ya. Banyak sekali berita miring tentang peraturan pemerintah yang berkaitan dengan mudik dan pandemi muncul di media online.

Karena dua alasan yang saya sebutkan tadi, saya memilih santai-santai di rumah sambil menghabiskan waktu di Rumah Kretek Indonesia selama libur Lebaran karena penghuninya pulang kampung semua. Tapi di akhir-akhir liburan saya dapat tawaran untuk menjemput tamu di Semarang. Berangkat dari Jogja, lalu pulang dengan tamu dan keluarganya. Kebetulannya lagi, tugas penjemputan itu dilaksanakan di H Plus 4 Lebaran, hari Sabtu, di mana itu adalah hari-hari rawan kemacetan karena arus balik sudah dimulai.

Saya sebenarnya malas sekali, tapi karena memang sedang tidak ada kegiatan, dan itu tamu langganan saya, pekerjaan itu akhirnya saya ambil.

H+1 Lebaran saya mendapat whatsapp tentang tawaran nyetir itu di tengah-tengah kumpul keluarga yang nyaris lengkap setelah beberapa tahun selalu saja ada anggota keluarga yang tidak lengkap dan hanya berakhir bertemu melalui video call. Hari itu saya bertemu dengan 4 orang kakak angkat saya, yang saya kenal sejak tahun 1997 di Jogjakarta. Kakak angkat saya itu sebenarnya ipar laki-laki dari kakak perempuan saya, Ibu (tepatnya Ibu mertua kakak saya) punya 5 anak laki-laki, sering disebut pandawa 5 karena kalau dilihat dari tokoh pewayangan Pandawa Lima, anak-anak Ibu secara fisik menyerupai 5 tokoh wayang tersebut, anak pertama bertubuh besar dan 4 lainnya punya tinggi dan berat badan yang mirip.

Semasa SMA, saya selalu dibimbing oleh 3 orang kakak saya itu, anak pertama, keempat dan kelima. Sementara anak kedua dan ketiga tidak tinggal di Jogja. Dan kompak semuanya merokok, hanya dengan gayanya masing-masing. Anak pertama dari Ibu pernah saya tulis di sini; https://bolehmerokok.com/2021/04/la-lights-di-antara-kenangan-dan-perpisahan/. Dari kelima anak Ibu, kebiasaan merokok mereka kadang membuat saya geli saat pertama kali kenal mereka. Si anak Pertama, adalah garis keras L.A Lights, gaya merokoknya selalu menggunakan pipa rokok, mau apapun merek rokoknya. Konon itu adalah pipa kayu ginseng yang didapatnya di daerah Jawa Barat. Cara menghisap rokoknya kurang mantap menurut saya, setelah rokok dhisap melalui ujung bibir kiri atau kanannya, asap akan dihembuskan sedikit lalu sisanya akan dihisab lebih dalam, entah apa alasannya tapi itu sudah dilakukannya selama puluhan tahun.

Anak keempat dan kelima juga termasuk perokok berat, si nomor 4 pada saat itu adalah maniak Star Mild dan Gudang Garam Filter. Walaupun sesekali berganti merek rokok, tapi dua brand tadi yang paling sering dibelinya. Kami mulai akrab sejak dia tahu saya merokok dan menghisap Gudang Garam. Anak keempat ini punya gaya merokok yang paling mantap di antara saudara-saudaranya. Jari gempalnya seperti kokoh sekali menjepit batang rokok yang dihisapnya, tarikan pada hisapannya pun terasa nikmat sekali saat terdengar desis suara dari mulutnya tiap kali menghisap rokok, tanpa ragu asap rokok dihisapnya dalam lalu dihembuskan melalui mulut dan hidungnya dengan mantap pula, saya kadang menahan tawa melihatnya karena asap yang dibuang bisa lurus dengan jarak yang cukup jauh, tentu di ruangan yang tidak berangin.

Kelucuan tadi kadang bisa semakin menjadi kalau saya merokok bersama anak keempat dan kelima, sambil ngopi di teras rumah. Anak kelima adalah orang sangat tertib keuangan dan paling rajin menabung di antara saudara-saudaranya. Dikategorikan social smoker bukan, perokok berat pun bukan. Tapi dia bisa menghemat Djarum Super isi 16 sampai 4-5 hari waktu itu. gaya merokoknya sudah oke, tenang, menikmati dan tidak sebal-sebul dengan durasi pendek. Malah kadang lebih banyak ngobrolnya dibanding menghisap rokok.

Saya sudah menghabiskan 2 batang rokok, dia baru selesai menghabiskan 80% batang rokoknya. Kenapa saya bilang dia yang paling tertib keuangan, dia bisa membeli rokok di warung A yang jaraknya lebih jauh dibanding beli rokok di warung B yang jaraknya lebih dekat hanya karena alasan selisih harga, dulu selisih harga 500 sudah sangat berarti, tapi dia bisa memilih warung yang selisih harganya hanya 200-300 rupiah. Rasa bangga kadang diucapkannya saat mengatakan mendapat rokok merek yang sama yang lebih murah di warung yang entah bagaimana kisahnya dia temui di jalan.

Sang anak keempat kadang mengejek caranya itu dengan menyebut dia pelit atau kurang kerjaan karena harus menguras waktu dan tenaga untuk beli rokok di warung yang lebih jauh. Saya yang berada di tengah-tengah mereka hanya senyum-senyum kalau melihat mereka mulai saling bantah soal harga dan jarak seperti itu. Walaupun tidak berakhir dengan sakit hati, tapi bagi yang baru pertama mengenal mereka, rasanya seperti melihat orang berantem walaupun sebenarnya tidak seperti itu. Belum lagi kalau sudah masuk perdebatan Gudang Garam Internasional lebih enak dan lebih murah dibanding Djarum Super isi 16, perdebatan itu akan berakhir dengan saling mencicipi rokok masing-masing dan saling memberi review, dan kejadian seperti itu sudah berlangsung belasan kali.

rokok pandawa lima

Anak kedua dan ketiga adalah perokok yang saya kategorikan sebagai “social smoker”, perokok senin-rabu-kamis, tidak setiap hari, tapi lumayan suka merokok. Anak kedua ini jarang merokok kecuali sedang dalam tekanan pekerjaan atau lembur di akhir bulan, maklum pegawai perbankan. Belum lagi kalau dia merokok setiap hari bakal kena omel istrinya, kakak kandung saya, yang jelas-jelas mengijinkan saya merokok sejak saya sekolah di Jogja. 

Gaya merokoknya biasa saja, dia hanya menghisap rokok sekedarnya, tidak ditarik dalam seperti si anak keempat. Pun dengan pilihan rokoknya, hany rokok-rokok bergenre Mild dan tidak terlalu mementingkan rasa, dan kegemarannya hanya jenis mentol. Mulai dari brand Sampoerna, L.A, Star Mild sampai Marlboro Black Menthol. Anak kedua ini sering diejek oleh adik-adiknya karena gaya merokok dan omelan kakak saya kalau dia ketahuan merokok. Saya sendiri merasa heran dengan sikap kakak saya kepadanya kenapa tidak menyukai suaminya itu merokok.

Anak ketiga, adalah salah satu yang paling unik di antara 4 saudaranya. Beliau adalah garis keras Surya Pro Merah, sejak tahun 1998, awal saya kenal hingga kini. Dia bahkan tidak akan membeli rokok atau menghisap rokok selain Surya Pro Merah. Kalau dengan sangat terpaksa harus menghisap rokok lain, maka Gudang Garam Internasional atau Garpit jadi pilihannya, itupun hanya dibisap 3-4 batang lalu dibiarkannya begitu saja, berakhir dihisap orang lain  kalau sudah menemukan Surya Pro.

Gayanya menghisap rokok santai sekali, menghisap dengan rileks, tidak terburu-buru, dan biasanya batang rokok hanya akan berakhir di 80% batang terbakar, dalam 1 jam dia paling hanya menghabiskan 1-2 batang rokok dalam suasana apapun. Di tengah-tengah aktivitas sebatsnya, dia orang yang pertama kali di keluarga itu yang mengajarkan untuk mengatur keuangan kalau sebagai perokok kalau belum memiliki penghasilan tetap.

Di tahun-tahun awal saya di Jogja, dia juga yang menanyakan rencana jangka panjang saya setelah sekolah selesai. Tidak harus bekerja kantoran, tidak harus bekerja sebagai tetap tapi bisa menabung dan kreatif dalam pekerjaan. Bertolak belakang dengan dirinya yang kala itu sudah bekerja di Angkasa Pura. Pembicaraan kami saat itu ditemani dengan sebat selama beberapa jam dan mulai hari itu saya menghafal kebiasaan merokok mereka berlima yang kadang terlihat konyol dan rasanya kurang mantap dilihat

Saya meninggalkan mereka semua tanggal 8 Mei kemarin untuk menjemput tamu di Semarang. Percaya diri tidak akan terkena macet tapi tidak melihat berita di media tentang pemberlakuan satu arah dari timur ke barat karena arus balik. Saya berangkat jam 7 pagi dari Jogja setelah berpamitan dengan mereka. Beberapa tahun terakhir mereka memaklumi pekerjaan sampingan saya sebagai supir, terlebih harus bekerja di hari-hari penting seperti saat Lebaran. Apalagi kalau musim liburan menjadi lahan yang layak dipanen oleh para supir.

Perjalanan dari Jogja menuju pintu tol Surakarta berjalan lancar, baru setelah tiba di area pintu tol Boyolali saya menemui kemacetan cukup parah. Saya menghabiskan waktu 3 jam dari daerah Boyolali untuk sampai pintu tol  Banyumanik untuk menuju Museum Mandala. Selama kemacetan itu rasa panik sedikit muncul, saya bukan orang yang bisa berada di ruang sempit, keringat mulai mengucur ketika mobil saya diapit oleh bus di sisi kiri dan mobil box di sisi kanan saat terjebak macet. Entah kenapa rasa panik mulai muncul, kokpit supir mulai terasa sempit dan cuaca terasa mulai panas padahal pendingin udara sudah di temperatur paling rendah, apalagi saya naik mobil sendiri dan tidak ada teman mengobrol.

Tidak ada cara lain, saya harus menghilangkan kepanikan ini dengan nyebat di mobil. Hal yang paling malas saya lakukan saat berkendara tapi dengan sangat terpaksa harus dilakukan karena mulai diserang rasa panik. Jendela saya buka sedikit, asbak darurat dari botol minuman yang masih menyisakan sedikit air di dalamnya, mulai membakar rokok dan perlahan menikmati tarikan Djarsup sebagai pelepas stress di tengah kemacetan panjang.

Saya perhatikan di kiri-kanan banyak supir mulai merokok juga di tengah jalan tol sambil sesekali memperhatikan ke depan menunggu giliran untuk jalan. Rasa panik saya perlahan surut berbarengan dengan rokok yang perlahan habis saya hisap, tapi minuman pemanis sudah habis karena botolnya dipakai untuk asbak. 4 batang rokok sudah saya habiskan saat di kejauhan terlihat pintu tol Banyumanik semakin dekat.

Saya kembali teringat kepada Pandawa Lima, beberapa tahun silam kami pernah liburan sekeluarga besar ke Semarang dan Salatiga. Momen di mana kami bisa berkumpul berenam dan nyebat bareng. Daerah Ungaran saat itu tidak seramai sekarang. Ungaran yang sekarang menjadi sangat ramai dan sering macet, lebih-lebih di arus balik kali ini, saya terpaksa lewat Ungaran saat kembali ke Jogja karena pemberlakuan satu arah di jalan tol. Nyaris 4 jam saya mengantri di jalan Semarang-Ungaran untuk menuju arah Boyolali. Panik kembali menyerang, tapi kali ini saya tidak bisa merokok karena sudah semobil dengan tamu, apalagi ada anak kecil di mobil itu.

Dengan sangat terpaksa saya meminta ijin ke tamu untuk berhenti nyebat sampai 2 kali di sekitar Ungaran, saya jelaskan mengenai panik yang saya rasakan di tengah kemacetan arus balik. Dia memaklumi dan mengijinkan saya menghabiskan waktu cukup lama di SPBU atau Warkop selama perjalanan balik kami. Saya akhirnya berhenti di sebuah SPBU yang di dekatnya ada warung kopi, tempat para pengendara beristirahat sambil nyebat.

Selingan obrolan dengan para pemudik yang istirahat kembali memberikan rasa rileks kepada saya sebelum melanjutkan perjalanan di tengah kemacetan parah. Sementara di group whatsapp keluarga, satu persatu pesan pendek dari keluarga Pandawa Lima muncul, mereka pun pamit untuk kembali ke kota masing-masing sambil mendoakan saya selamat di jalan dan bisa sampai di Jogja dengan selamat, rejekinya selalu dimudahkan, dan segera dipertemukan dengan perempuan yang kelak akan menjadi istri saya. Amin.