cengkeh indonesia
REVIEW

Kretek sebagai Kebudayaan Indonesia*

Kretek merupakan produk pengetahuan yang lahir dari interaksi orang- perorang dalam dunia sosialnya. Pengetahuan ini, meski terus mengalami inovasi hingga tingkat kerumitan (dan metode saintifik) tertentu, tapi cara lama proses peracikan lewat teknologi paling mula dan paling mutakhir masih dapat ditemukan praktiknya sampai sekarang.


Padahal, cara paling awal itu telah berusia lebih dari seratus tahun. Jika mengikuti pandangan sejumlah ahli, Haji Djamhari adalah orang kali pertama mempopulerkan ‘sigaret cengkeh’ (clove cigarette) pada kisaran 1870-an—kemudian dinamakan kretek (Kim Ni, 1961. Castles, 1967. Harahap, 1952).

Merujuk pada dokumen arkaik, catatan tentang kebiasaan masyarakat Nusantara mencampur cengkeh dan tembakau di Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-17 (van Hall & van de Koppel, 1946-1950).

Jadi, dalam konteks konsepsi sistem pengetahuan, Haji Djamhari lebih dikenal sebagai inventor (Hanusz, 2000).


Memang, meracik atau tradisi meracik merupakan kebiasaan khas masyarakat di negeri-negeri di Nusantara (Reid, 1985). Pengetahuan meracik itu sangat kaya dan bervariasi, khususnya pada makanan dan herbal untuk keperluan pertumbuhan dan kesehatan tubuh.

Haji Djamhari tentulah salah satu dari sekian banyak bumiputera, khususnya di Jawa pada masa itu, yang mengetahui bagaimana meracik tembakau dan rempah-rempah dengan citarasa tertentu.


Pengetahuan meracik adalah pengetahuan umum penduduk di Nusantara


dari konsekuensi lingkungannya yang kaya bahan baku herbal (Hanusz, 2000). Pengetahuan itu ditransmisikan dari generasi ke generasi, bahkan antar dan lintas generasi, hingga mengalami inovasi pada periode tertentu. Ia terus berevolusi hingga sedemikian populernya sebagaimana terjadi pada kretek.


Yang menjadikan kretek sebagai pengetahuan simbolik Indonesia lantaran dan terutama sekali kreasi-cipta kretek memang lahir dan berkembang bahkan hanya ada di Indonesia, khususnya di Jawa, dengan bahan baku racikannya bersumber dari bumi Nusantara.
Kretek, sebagaimana telah jadi konsepsi pengetahuan bersama, terdiri dari rajangan bunga cengkeh kering, rajangan tembakau kering, dan perisa (saus)—yang dibungkus melalui kecakapan tertentu.

Keterampilan itu dapat diakses bersama secara luas, terutama di lingkungan-lingkungan sekitar pengolahan kretek, baik rumahan maupun pabrikan. Ini semata telah dijelaskan oleh para sejarawan, akademisi dan peneliti tentang sejarah kretek di Kudus pada awal abad 20.

Himpunan pengetahuan soal kretek—dari tradisi meracik hingga instrumen keterampilan mengolah sangat sederhana yang dikerjakan pengrajin tangan rumahan sampai bersulih-rupa lewat teknologi pabrikan untuk produksi massal—dapat kita temukan dalam Museum Kretek di Kudus, satu kabupaten yang memiliki akar dan konsepsi Islam kultural yang kuat di Jawa Tengah.

*Tulisan diambil dari: “NASKAH PENDAFTARAN WARISAN BUDAYA TAK BENDA (KRETEK ADALAH PUSAKA BUDAYA INDONESIA)”