REVIEW

Gado-Gado Kretek

Sesaat sebelum memulai tulisan ini, saya membakar rokok kretek favorit saya, rokok kretek tanpa filter yang diproduksi di Jawa Timur. Mengisap dalam-dalam asap kretek tiga isapan, menyimpan rokok di asbak, lantas mulai mengetik di sini. 

Dua kali dalam sepekan, saya mesti menulis di sini, di media ini. Lebih dari separuhnya, bahkan mendekati 80 persen tulisan saya di sini bertema rokok. Di tengah arus besar kebencian terhadap rokok belakangan ini, sesungguhnya saya tidak kesulitan untuk membikin sebuah artikel bertema rokok. Ada begitu banyak hal yang bisa saya tanggapi dari kelakuan anti-rokok di negeri ini dalam sebuah artikel utuh. Dan memang itu yang banyak saya lakukan untuk memenuhi kewajiban tulisan saya di sini.

Namun, adakalanya saya jenuh menulis semacam itu. Menulis defensif sekadar menanggapi kelakuan anti-rokok di negeri ini. Sebagai seorang yang sangat menggemari menulis catatan perjalanan dan manusia-manusia yang saya temui sepanjang perjalanan, untuk konteks tulisan bertema rokok, saya lebih senang menulis perihal petani-petani tembakau dan cengkeh yang saya temui, kehidupan di desa mereka, seluk-beluk sistem pertanian yang mereka jalani, dan hal-hal di seputar manusia, pertanian, dan rokok.

Menulis catatan perjalanan, saya merasa lebih bebas dalam menulis, karenanya, saya merasa lebih nyaman. Lain hal dengan menulis defensif seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Menulis semacam itu, saya merasa ruang gerak saya dibatasi karena melulu mesti mengacu pada apa yang mesti saya tanggapi dalam sebuah tulisan.

Baca tulisan Fawaz Al Batawy lainnya di sini

Kewajiban menulis di sini dua kali dalam sepekan, membikin saya rindu perjalanan-perjalanan menemui petani tembakau, petani cengkeh, petani kopi, dan masyarakat di perdesaan lainnya. Rindu berkunjung ke kebun kopi, kebun cengkeh, kebun tembakau, ke wilayah-wilayah di dataran tinggi, dan tempat-tempat menyenangkan semacam itu. Lima bulan belakangan, saya sedikit sekali mendapat kesempatan melakukan perjalanan menyenangkan semacam itu. Saya sedang dalam kondisi tidak bisa meninggalkan Yogya terlalu lama. Saya sedang menjadi suami siaga.

Rabu malam kemarin, saya menulis tentang kebencian terhadap rokok yang bulan Juli lalu, suara kebencian itu begitu keras terdengar. Tulisan itu tayang di situsweb ini kamis, 1 Agustus 2019. Tak bisa jalan-jalan, dan mulai keteteran mencari tema tulisan, saya mulai berusaha kreatif, kreatif dalam mengkhayal tentu saja. Sayangnya saya gagal. Dan saya mesti mengandalkan mesin pencari google untuk membantu saya mencari tema tulisan.

Satu halaman menulis, saya mulai membakar rokok kretek kedua, kali ini kretek berfilter yang diproduksi pabrikan di Kudus. 

Hasil googling membawa saya pada periode yang sama setahun lalu. Pada masa-masa seperti sekarang ini, musim panen tembakau sudah dimulai, pun begitu dengan musim panen cengkeh. Sebuah kebetulan yang menarik saat saya menemukan bahwa pada periode yang sama pula tahun lalu mereka kaum anti-rokok kembali menghembuskan isu ratifikasi FCTC oleh pemerintah Indonesia. Jika ini terjadi, kehancuran industri rokok kretek berada di depan mata.

Muncul ide di kepala, bagaimana jika saya menulis tentang kegembiraan para petani dan buruh tani memasuki musim panen kali ini. Saya pikir, kabar baik dari lapangan mesti lekas disuarakan daripada berita perihal rokok melulu didominasi isu-isu diskriminatif dari anti-rokok. Berapa banyak panen cengkeh dan tembakau tahun ini. Apakah harga masih menjanjikan seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Saya memilih menulis perihal cengkeh karena sudah terlalu lama saya tidak menulis dengan tema cengkeh. Saya memang tidak bisa datang langsung ke kebun cengkeh, tapi saya bisa mengontak kenalan saya untuk bertanya-tanya perihal musim panen cengkeh kali ini. Saya lantas menelepon dua nomor. Keduanya merupakan petani cengkeh. Satu tinggal di Desa Munduk, satu lagi di Desa Pujungan, keduanya di Bali. Tentu saja ini sekadar untung-untungan. Karena di musim panen seperti sekarang ini, siang hari tentu saja dua orang yang saya hubungi itu sedang dalam kondisi sibuk-sibuknya. Dan benar saja, tak ada satupun yang mengangkat panggilan telpon dari saya.

Di sela proses menulis ini, saya titip dibelikan makanan oleh salah seorang teman saya yang berada di tempat saya menulis ini. Saya menitip dibelikan gado-gado. Gado-gado sudah datang. Jadi sebaiknya saya sudahi dulu saja tulisan kali ini. Saya mau menyantap gado-gado dulu. Mencukupkan tulisan campur aduk ini. Mirip gado-gado yang berisi bermacam sayuran dan lauk. Kalau gado-gado yang makanan itu menyehatkan. Gado-gado yang tulisan ini, setidaknya melepas saya dari sebuah kewajiban, yang kadang menyenangkan, adakalanya tidak.