logo boleh merokok putih 2

Membebaskan Diri dari Jurang Kemiskinan Lewat Sektor Pertembakauan

Setidaknya dua kali dalam satu tahun, pemerintah lewat tangan Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan hasil surveynya. Biasanya itu terjadi pada bulan Maret dan September. Pada dua kesempatan tersebut, ketika berbicara perihal kemiskinan berdasarkan hasil surveynya, produk rokok selalu berdampingan dengan beras dituduh sebagai sumber penyebab utama meningkatnya angka kemiskinan di negeri ini. Konsumsi rokok, dan konsumsi beras, serta beberapa komoditas lainnya selalu menjadi tertuduh biang keladi penyebab meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Namanya riset dari BPS, tentu saja data yang digunakan adalah data kuantitatif. Persentase demi persentase dikeluarkan sebagai legitimasi mereka mengeluarkan pernyataan. Manusia-manusia yang menjadi objek penelitian, dimanfaatkan sebatas responden semata dan dibutuhkan sekadar angka-angkanya saja. Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan survey yang pilihan-pilihan jawabannya sudah ditentukan hingga pada akhirnya jawaban-jawaban tersebut diturunkan dalam kuantifikasi-kuantifikasi berupa angka dan persentase-persentase belaka.

Tak ada yang salah memang dalam penelitian semacam itu. Itu sah dan tentu saja dikemas dalam metode-metode yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan dari sisi akademis. Akan tetapi, menurut saya pribadi, ada yang kurang dalam bentuk riset semacam ini. Pelibatan manusia dalam survey yang kemudian ditransformasi hanya ke dalam bentuk-bentuk angka semata, meniadakan manusia sebagai manusia itu sendiri. Manusia yang memiliki perasaan, manusia yang berpikir, dan manusia dengan bermacam pilihan-pilihan serta alasan di balik pilihan-pilihannya tersebut.

Baca: Membantah Perang Diskon Rokok sebagai Penyebab Meningkatnya Angka Kemiskinan

Survey-survey dan riset-riset yang semata menangkap kuntifikasi berupa angka-angka saja dari banyak responden yang merupakan manusia bernyawa, tidak mampu menangkap fenomena-fenomena mendalam terkait manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Terkait konsumsi rokok yang menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan misal, memfungsikan manusia sebatas data-data yang diangkakan semata tidak akan mampu menjawab sekaligus menangkap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, di lingkungan pertanian dan perkebunan, di lingkungan pabrik-pabrik yang memproduksi rokok, dan di lingkungan pedagang-pedagang asongan dan pedagang rokok eceran. Statistika tidak mampu menjabarkan sisi manusia dan kemanusiaan seseorang bergelut keluar dari garis kemiskinan dengan mengandalkan sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).

Sebagai contoh, fenomena tentang Ibu Umiyatul keluar dari lembah kemiskinan dan perjuangannya membesarkan keempat orang anaknya dengan mengandalkan sektor pertembakauan, ini sama sekali tidak bisa ditangkap lewat jalur statistika kuantitatif saja.

Umiyatul tinggal bersama keempat orang anaknya di Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sudah tiga tahun belakangan Ia membesarkan keempat orang anaknya seorang diri usai ditinggal mati suaminya karena kecelakaan lalu lintas. Anak pertamanya kini duduk di kelas tiga SMA, dan anak terakhirnya masih kelas empat SD.

Sebelumnya, ketika suaminya masih hidup, Umiyatul bekerja penuh waktu sebagai ibu rumah tangga. Sesekali Ia bekerja di ladang sebagai buruh tani terutama ketika musim panen tiba. Ia bekerja memanen cabai, tomat, dan sayur-mayur yang ditanam tetangganya di ladang mereka. Pada tahun pertama usai ditinggal suaminya, Umiyatul kelabakan. Uang dari hasil menjadi buruh tani saat musim panen tiba tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jalan pertama yang Ia pilih, meminjam uang ke kerabat dan tetangga-tetangganya. Meminjam uang, tentu saja bukan solusi terbaik, itu sekadar solusi parsial karena keterdesakan. Tidak mungkin Umiyatul melakukan itu terus untuk menutup kebutuhan keluarganya.

Pada tahun kedua setelah suaminya meningggal, Umiyatul mulai bekerja sebagai buruh tani penuh waktu. Jika dulu karena keterbatasan waktu dan karena sudah ada suami yang bekerja, Umiyatul memilih untuk tidak ikut menjadi buruh tani ketika musim tembakau tiba di Temanggung. Setelah hanya seorang diri berusaha mencukupi kebutuhan keluarga, Umiyatul akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia pertembakauan sebagai buruh tani.

Baca: Matinya Kretek Akibat Simplifikasi Cukai dan Batasan Produksi

Selama sekira lima hingga enam bulan dalam setahun ketika musim tembakau tiba (April hingga September), Umiyatul bekerja dengan sangat tekun di sektor pertembakauan agar Ia dan keluarganya keluar dari lembah kemiskinan yang pelan-pelan mereka terjebak di sana. Di masa awal musim tembakau, Umiyatul ikut bekerja menyiapkan bibit-bibit tembakau yang hendak ditanam. Ia lantas bekerja menanam tembakau di ladang ketika masa tanam telah tiba. Bekerja memberi pupuk di ladang, dan membersihkan ladang-ladang tembakau dari tanaman-tanaman liar yang tiba-tiba tumbuh.

Sembari menunggu musim panen tiba, Umiyatul bekerja membikin keranjang-keranjang tembakau yang nantinya akan digunakan sebagai wadah tembakau yang sudah dipanen. Ketika panen tiba, Umiyatul ikut memanen tembakau, menjemur tembakau, dan bekerja sebagai pengrajang tembakau di gudang milik majikannya.

Dari kerja-kerja yang Ia lakukan itu, pelan-pelan, ancaman hidup lama di lembah kemiskinan berhasil Ia hindari. Ia bisa mencukupi kebutuhan pokok keluarga, dan bisa tetap menyekolahkan keempat orang anaknya. Lewat bekerja di sektor pertembakauan, Umiyatul bisa membebaskan keluarganya dari jebakan kemiskinan yang ditakuti banyak orang itu.

Umiyatul dan keluarganya, hanyalah satu dari banyak kasus yang saya temukan setidaknya tiga tahun belakangan ini di wilayah Temanggung. Bagaimana sektor pertembakauan di Temanggung banyak membantu mereka yang terancam masuk ke jurang kemiskinan untuk menghindar darinya, dan berhasil hidup dengan cukup layak.

Itu baru satu wilayah di Kabupaten Temanggung. Belum lagi di wilayah-wilayah pertanian tembakau lainnya semisal di Jember, Madura, Bojonegoro, dan beberapa tempat lainnya. Di Kudus dan Kediri, lain lagi kasusnya. Banyaknya pabrikan-pabrikan rokok kretek di kedua tempat itu, membantu ribuan, bahkan puluhan ribu orang dan keluarganya untuk bisa hidup dengan layak. Mereka bekerja di pabrik-pabrik rokok kretek dan mendapat penghasilan yang cukup sehingga mereka terbebas dari status sebagai rakyat miskin.

Baca: Agenda Terselubung di Balik Isu Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok

Selanjutnya dari sektor perkebunan cengkeh yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Ada jutaan manusia yang terbebas dari kemiskinan karena keberadaan perkebunan cengkeh, serta jaminan bahwa produk cengkeh yang dihasilkan sepenuhnya diserap oleh Industri Hasil Tembakau untuk memproduksi rokok kretek.

Semua ini fakta. Fakta yang telah bergulir selama ratusan tahun seiring dimulainya Industri Hasil Tembakau di Nusantara. Sayangnya fakta ini belum terlalu banyak didengar di dunia luar, bahkan oleh para perokok sendiri. Yang terjadi, jika kaitannya rokok dan kemiskinan, sumber informasi dan opini yang dibangun selalu mengacu kepada data-data kering yang dua kali dalam setahun dikeluarkan oleh BPS. Atau memang kita lebih senang mendengar narasi-narasi kemiskinan dan penderitaan di negeri ini, dibanding narasi-narasi perjuangan melepaskan diri dari jebakan kemiskinan seperti yang dilakukan oleh Umiyatul dan banyak manusia-manusia sederhana lainnya di negeri ini?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)