OPINI

Akankah Industri Kretek Bernasib Seperti Industri Gula di Negeri Ini?

Dengan jumlah penduduk yang hampir selalu menempati peringkat lima besar jumlah penduduk terbanyak di dunia, Indonesia di mata para pengusaha, penggerak bidang industri, dan marketing ragam bentuk produk, merupakan pasar yang begitu potensial dan menjanjikan. Pasar bernama Indonesia ini, sudah sejak lama menjadi bidikan beberapa pihak yang mampu membaca potensi yang dimiliki Indonesia.

Ada tiga aspek di Indonesia yang menjadi incaran para pengusaha kelas kakap untuk bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya dari negeri ini. Tenaga kerja yang murah, bahan baku yang melimpah, dan lahan yang murah dan luas untuk memproduksi beragam produk yang akan di pasarkan. Di luar tiga aspek tersebut, ada satu faktor penting lainnya yang membikin pengusaha-pengusaha besar dari luar negeri mengincar Indonesia. Faktor itu adalah jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Indonesia dan penduduknya, adalah pasar itu sendiri. Pasar yang sangat potensial. Tinggal menggenjot pola hidup konsumif kepada warganya, dengan dibumbui beragam bentuk promosi yang menggiurkan, jadilah pasar Indonesia ini menjadi pundi-pundi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Bukan sekali dua, kepentingan bisnis dan ekonomi semacam ini, memicu persaingan dagang yang kerap kali tidak adil. Persaingan bisnis membikin beberapa pihak memilih cara-cara kotor untuk memenangkan persaingan bisnis mereka. Pada pekan lalu, saya menyinggung persaingan bisnis yang menghancurkan industri minyak kelapa dan kopra di negeri ini. Yang dirugikan, tentu saja para petani kelapa dan pengusaha kecil berbasis rumah tangga yang memproduksi kelapa. Celakanya, guna memenangkan persaingan bisnis semacam ini, mereka para pengusaha besar itu berkomplot dengan penguasa untuk mengeluarkan regulasi yang menindas pengusaha kecil pribumi. Lebih dari itu, mereka memakai akademisi (dalam hal ini di bidang kesehatan) untuk menjatuhkan lawan bisnisnya.

Baca: Dampak Kenaikan Cukai bagi Perokok, Petani, dan Buruh Pabrik

Jika pekan lalu saya menulis tentang kehancuran industri minyak kelapa dan mengapa industri kretek harus belajar dari sana, kali ini, mari kita belajar dari kehancuran industri gula di negeri ini.

Setelah cengkeh dan rempah-rempah lain sudah mulai menurun pamornya di pasar Eropa, Kolonialisme yang di praktikkan Belanda di negeri ini menemukan produk baru dalam bentuk gula untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya. Gula menjadi primadona baru. Manisnya gula perlahan membikin penjajah lupa akan harumnya aroma rempah-rempah di masa sebelumnya. Industri gula dibangun besar-besaran dengan pulau Jawa menjadi sentra penanaman bahan baku sekaligus sentra produksi gula.

Selepas kolonialisme berakhir dan negeri ini merdeka, industri gula tetap menjadi salah satu industri penting yang menggenjot roda perekonomian negeri yang baru merdeka ini. Pada masa jayanya, sebelum Soeharto berkuasa bersama pasukan militernya di negeri ini, industri gula nasional mampu bersaing dengan Kuba. Kedua negara ini bersaing menjadi pengekspor terbesar produk gula di dunia.

Pada puncak kejayaannya, industri gula di negeri ini disokong oleh 179 perusahaan gula dalam negeri. Produksi total tahunan ketika itu mencapai 3 juta ton dan bisa mengekspor gula hingga 2,4 juta ton. Setelah itu, industri gula dalam negeri pelan-pelan mengalami kemunduran. Pemerintahan Soeharto seolah membiarkan perusahaan-perusahaan gula yang kebanyakan milik negara (BUMN) berjuang sendirian. Pemerintahan di bawah kuasanya lebih memilih mulai usaha mengimpor gula alih-alih mempertahankan industri gula dalam negeri.

Pada 1967, setahun setelah Soeharto berkuasa, Indonesia kali pertama mengimpor gula. Saat itu pemerintah mengimpor gula sebanyak 33 ton. Jumlah impor gula itu kian tahun kian bertambah hingga pada penghujung kekuasaan Soeharto, pemerintah mengimpor gula sebanyak 1,384 juta ton. Imbasnya, industri gula dalam negeri berantakan. Dari sebelumnya ada 179 perusahaan gula dalam negeri, pada permulaan abad 21 perusahaan gula tersebut sisa sepertiganya saja.

Kehancuran industri gula dalam negeri kian diperparah usai IMF berhasil mendesak pemerintah Indonesia meneken dokumen Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP). Dokumen yang populer dengan nama letter of intent itu diteken di Jakarta tanggal 15 Januari 1998. Pada Butir 44 letter of intent disebutkan kewajiban pemerintah membebaskan tata niaga pertanian, termasuk gula, mulai Januari 1998.

Sejak itu, atas nama perdagangan bebas, pasar gula domestik yang semula terproteksi dibuka lebar-lebar. Bulan Februari 1998, bea masuk gula ditetapkan menjadi 0% alias dihapuskan. Impor gula dibebaskan tanpa hambatan apa pun. Tanpa persiapan matang, industri gula yang semula dikenal sebagai the most regulated commodity dideregulasi total dengan mengadopsi free trade policy (Khudori, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, LP3ES, Jakarta: 2005). Gula impor kian membanjiri negeri ini. Dalam waktu singkat, benteng pertahanan petani tebu dan PG ambruk. Petani tebu banyak beralih ke usaha tani lain, sementara PG satu per satu ber tumbangan.

Baca: Menjadi Perokok Santun yang Taat Aturan Merokok

Gula yang sebelumnya menjadi primadona di negeri ini, membantu penghidupan banyak petani tebu, hingga para pekerja di pabrik gula, perlahan terseok. Pasar gula dalam negeri dikuasai asing, hingga kini.

Secara kasat mata, memang ada pihak-pihak yang ingin merebut pasar di Indonesia. Mereka bersikukuh bahwa Indonesia harus menjadi konsumen saja, jangan lagi jadi produsen. Segala cara dilakukan untuk mewujudkan itu semua. Industri minyak kelapa, juga industri gula, dan masih banyak beberapa contoh lainnya, sudah merasakan hal itu. 

Dan saat ini, setidaknya sudah dua dekade belakangan, industri kretek sedang coba diperlakukan seperti itu. Cara-cara yang dilakukan untuk merebut industri minyak kelapa dengan isu kesehatan dan kampanye turunannya, juga pada industri gula dengan ragam rupa regulasi yang merugikan, sedang diterapkan langsung terhadap industri kretek dalam negeri. Celakanya, lagi-lagi, pemerintah selaku penguasa negeri ini, tetap berlaku sama seperti perlakuan mereka ketika industri gula dan minyak kelapa diserang seperti itu. Pemerintah malah ambil bagian dalam kampanye yang menyerang industri kretek, bukannya malah melindungi industri yang membanggakan negeri ini dari rongrongan asing.