Ketika nikotin memberi rasa tenang bagi “pemikir” seperti saya.
Daftar Isi
ToggleSetiap kali saya duduk untuk menggambar, kepala saya tidak pernah benar-benar kosong. Kadang malah terlalu ramai. Ada ide yang saling bertabrakan, ada suara-suara kecil dari dalam diri yang mulai ribut sendiri terkait hasil, tentang makna, tentang apakah gambar ini akan disukai atau tidak. Dan di antara semua kebisingan itu, saya butuh suatu hal yang menenangkan.
Dan bagi saya, ketenangan itu datang ketika saya menyalakan sebatang kretek yang menjadi pelengkap di tangan kiri. Sebatang saja. Tidak lebih.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar klise atau pembenaran semata. Tapi buat saya, itu adalah pengalaman yang sangat nyata. Sebuah bentuk ritual kecil yang menenangkan dan membuka ruang bagi imajinasi. Dan kunci dari semua itu adalah nikotin.
Nikotin bukan “zat jahat”
Selama ini, narasi dominan di masyarakat soal nikotin selalu menyebutnya sebagai “zat adiktif” yang harus dijauhi. Tapi jika kita sedikit menggeser sudut pandang, dan membaca dari sumber-sumber seperti buku Nicotine War karya Wanda Hamilton, akan terbuka fakta bahwa nikotin sebenarnya punya manfaat terapeutik yang telah lama diteliti.
Dalam buku tersebut, Hamilton memaparkan bahwa:
- Nikotin bisa meningkatkan fokus dan memori jangka pendek
- Memiliki efek menenangkan dengan cara menstimulasi dopamin dan serotonin
- Meningkatkan kendali motorik dan konsentrasi
- Berpotensi membantu dalam terapi Parkinson, Alzheimer, bahkan depresi ringan
Studi dalam jurnal Psychopharmacology dan Neuropharmacology juga menguatkan hal ini. Nikotin terbukti memicu peningkatan dopamin, meningkatkan atensi, dan memperbaiki suasana hati.
Bahkan dalam dosis mikro, nikotin telah diuji sebagai obat eksperimental untuk gangguan kognitif dan neurodegeneratif.
Dan buat saya yang bekerja dengan ketelitian visual dan intuisi, efek itu bukan sekadar
teori. Saya mengalaminya setiap kali saya menggambar dengan rokok di tangan. Saya lebih fokus, lebih sabar, dan lebih bisa menikmati proses.
Sebatang kretek, sebuah ruang sunyi
Ada semacam ruang yang tercipta saat saya merokok. Tidak ramai. Tidak panik. Seperti tubuh saya sadar bahwa “sekarang waktunya diam, dan mulai menggambar”.
Aromanya, suara letupan tembakau, hangatnya asap di dada semua itu bukan sekadar sensasi. Tapi penanda: saya sudah masuk ke fase kerja, ke dunia yang hanya milik saya sendiri.
Di situlah saya merasa “tenang”. Bukan tenang karena lari dari kenyataan, tapi tenang yang aktif. Tenang yang membuat saya bisa memusatkan perhatian. Tenang yang membuat saya bisa merespons dunia dengan gambar, bukan dengan kata-kata atau kekesalan.
Nikotin, imajinasi, dan diri sendiri
Saya tahu tulisan ini bisa memancing debat. Tapi saya percaya pengalaman pribadi tidak bisa dibantah. Sebab tidak ada yang lebih jujur dari tubuh yang tahu kapan dia merasa tenang.
Rokok, buat saya, bukan soal keren-kerenan. Bukan pula soal pemberontakan. Tapi soal cara saya berdamai dengan kegaduhan pikiran sendiri.
Di balik asapnya, saya belajarmendengar. Di antara jedanya, saya belajar melihat. Dan dari setiap hembusannya, saya merangkai imajinasi.
Sebatang rokok, selembar kertas gambar, dan sepotong dunia kecil yang saya ciptakan sendiri itu cukup untuk membuat saya tenang. Bukan karena saya lari dari kenyataan, tapi karena saya ingin hadir sepenuhnya, dengan cara yang saya pahami.
BACA JUGA: Agen Bisnis di Balik Kampanye Berhenti Merokok, Merokok yang Awalnya Hal Biasa Dicap bikin Candu