kretek dari ladang sampai pabrik
dataPERTANIAN

Kretek, dari Ladang Sampai Pabrik

Berkelilinglah ke seluruh kepulauan nusantara ini, bahkan sampai ke pelosok terpencil sekalipun, anda pasti tidak akan kesulitan mencari, menemukan, dan membeli kretek di banyak toko, warung, kios, bahkan juga penjaja keliling atau pinggir-jalan. Ya, di negeri ini, kretek adalah barang konsumsi harian jutaan warga, dan sudah berlangsung seratusan tahun sejak jenis rokok unik ini mulai ditemukan menjelang akhir abad-19.

Disebut unik, karena jenis rokok ini memang berbeda dari semua jenis rokok lainnya yang pernah ada di seluruh dunia sampai sekarang. Jika rokok umumnya dikenal hanya berbahan baku irisan atau rajangan kering daun tembakau, maka kretek diramu dengan tambahan serbuk bunga atau biji cengkeh, satu jenis tetumbuhan tropik lainnya yang memang berasal dari kepulauan nusantara, yakni Kepulauan Maluku.

Sekarang, dua bahan baku utama kretek tersebut –tembakau dan cengkeh– diperoleh dari beberapa daerah yang berbeda. Tembakau sebagian besarnya diperoleh dari beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Jawa, sementara cengkeh umumnya dihasilkan di beberapa daerah di Pulau Sulawesi selain, tentu saja, Kepulauan Maluku.

Kita akan menyusuri beberapa daerah tersebut, khususnya Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah –sebagai salah satu penghasil utama tembakau– dan Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara –penghasil cengkeh terbesar yang kini bahkan mengungguli Kepulauan Maluku. Lalu, kita akan mengikuti alur dua bahan baku tersebut ke Kabupaten Kudus di Jawa Tengah serta Kota dan Kabupaten Kediri di Jawa Timur –dua tempat dimana tembakau dan cengkeh kemudian diolah menjadi kretek!

Semerbak Tembakau Temanggung

Gambaran Umum

masyarakat temanggung melaksanakan upacara

GEOGRAFI Terletak persis di bagian tengah Pulau Jawa, dengan luas wilayah seluruhnya 870,65 km2, Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah terutama terdiri dari kawasan pegunungan pada ketinggian 500 – 1.450 meter di atas permukaan laut (dpl), bersuhu rata-rata 20 – 30oC. Sebagian besar wilayahnya terbentuk dari tanah latosol coklat –seluas 26.563 hektar (32,15%) yang membentang di bagian tengah– dan latosol merah kekuningan –seluas 29.209 hektar (35,33%) di bagian timur dan barat. Bagian terbesar wilayah kabupaten ini terletak pada kemiringan 2 -15o, seluas 32.492 hektar (39,1%).

Kawasan dengan kemiringan lebih ekstrim, antara 15 sampai 40o, tercatat seluas 31.232 hektar (37,88%), sementara kawasan dengan kemiringan lebih dari 40o adalah seluas 17.983 hektar (21,64%). Berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Wonosobo, Kendal dan Semarang, wilayah Kabupaten Temanggung membentang di kaki dan lereng dua gunung: Sindoro dan Sumbing (lihat peta di halaman berikutnya). Di dataran tinggi berhawa sejuk inilah terhampar ladang-ladang tembakau sebagai tanaman musiman, menjadi salah satu sumber utama perekonomian daerah dan rakyat setempat.

DEMOGRAFI Sampai tahun 2008, penduduk Kabupaten Temanggung tercatat 716.295 orang (terdiri dari 357.299 laki-laki dan 358.996 perempuan), dengan kepadatan 823 orang per km2, dan laju pertumbuhan sebesar 4,8% selama tahun 2004- 2008. Sebagian besar mereka beragama Islam dan bekerja sebagai petani, termasuk petani tembakau.

KESEJAHTERAAN SOSIAL Sampai tahun 2005, di antara semua kabupaten dan kota di seluruh wilayah bekas Karesidenan Kedu, Kabupaten Temanggung berada pada peringkat kedua –setelah Kota Magelang– dalam peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nya. Untuk seluruh Propinsi Jawa Tengah, Temanggung ada pada peringkat ketujuh, jauh di atas beberapa kabupaten tetangga atau terdekat, seperti Purworejo (20), Kebumen (24), dan Wonosobo (29). Menurut BPS Propinsi Jawa Tengah, sebagaimana Kota Magelang, peringkat IPM Temanggung tidak pernah bergeser selama kurun 2005-2007, bahkan cenderung membaik atau meningkat (lihat tabel di atas). Artinya, meskipun terjadi pergeseran pada unsur-unsur pembentuk IPM sebagai indeks komposit, Kabupaten Temanggung berhasil mempertahankan kinerjanya.

Meskipun kemajuan dalam capaian IPM belum naik kelas ke kelompok dengan capaian IPM tinggi (di atas 80), penelusuran terhadap komponen pembentuk IPM Temanggung menunjukkan kemajuan mengesankan. Laporan BPS menyebutkan angka harapan hidup penduduk Temanggung selalu lebih tinggi dibanding daerah lain di Karesidenan Kedu. Artinya, berbagai ukuran untuk menilai tingkat pembangunan kesehatan di Temanggung menunjukkan kinerja yang cukup baik. Dengan asumsi bahwa angka harapan hidup merupakan fungsi dari pola hidup, asupan gizi, dan tingkat kesehatan, maka penduduk Temanggung mendapatkan manfaat pembangunan kesehatan yang lebih baik dibanding daerah lain.

Komponen lain dalam pembentukan IPM adalah angka melek huruf. Pada tahun 2005, Temanggung mencatat indikator ini lebih tinggi dibanding daerah lain di Kedu, yakni 93,2%. Hanya Kota Magelang yang memiliki angka melek huruf lebih baik, yakni 94,5%. Artinya, dalam peta Karesidenan Kedu, Temanggung memiliki mutu sumberdaya manusia yang cukup baik, hanya kalah oleh Kota Magelang. Sayangnya, rata-rata lama sekolah penduduk Temanggung justru tercecer di peringkat keempat dari 6 kabupaten dan kota di wilayah ini.

Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Temanggung (2006) menyebutkan rata-rata lama sekolah penduduk Temanggung hanya 7,3 tahun. Artinya, sebagian besar penduduk tidak menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Komposisi penduduk berdasar tingkat pendidikan nisbi tidak bergeser. Pada tahun 2008, penduduk Temanggung berpendidikan SD berjumlah 284.627 orang, lebih dari tiga kali lipat dibanding yang berpendidikan SMP (BPS Temanggung, 2009).

Dengan sebagian besar penduduk hanya berpendidikan SD, Temanggung mencatat tingkat partisipasi angkatan kerja yang cukup tinggi meskipun angka tahunannya bergerak naik-turun (fluktuatif). Pada tahun 2005, Temanggung memiliki Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 72,47%. Rapor tahun 2005 itu lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, namun justru lebih rendah dibanding tahun 2003 dan 2002 (lihat tabel di bawah).

Tembakau Temanggung

petani tembakau di temanggung

Jika cerutu legendaris Kuba punya Vuelta Abajo, wilayah penghasil daun tembakau kelas dunia, tradisi kretek Indonesia punya Temanggung. Kalau cerutu Kuba baru diakui kualitasnya jika dicampur tembakau Vuelta Abajo, kretek terbaik produksi Indonesia tak sah jika tak mengandung tembakau ‘srintil’ dari Temanggung. Tak heran Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette, menjuluki Temanggung sebagai ‘Vuelta Abajo’ nya Indonesia’ (2000:82).

KILASAN SEJARAH Tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum) –yang bibitnya ‘dicuri’ oleh Cristopus Columbus dari orang Indian di Benua Amerika, yang percaya asap itu sebagai pengusir setan– masuk ke nusantara paling tidak sejak abad-16. Dalam historiografi tembakau di Indonesia tercatat bahwa tembakau mulai ditanam di Temanggung sejak tahun 1630, bersamaan dengan proyek penanaman kopi robusta (Coffea canephora) yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda saat itu di wilayah Karesidenan Kedu.

Budayawan Mohammad Sobary –merujuk pada cerita rakyat Roro Mendut, putri Kadipaten Pati yang memilih menjadi penjaja rokok daripada menjadi istri Tumenggung Wiraguna demi cintanya kepada Pronocitro– memperkirakan tembakau sudah ditanam di tanah Jawa sejak masa Sultan Agung Mataram, 1613–1645.

Tembakau Temanggung, terutama jenis srintil (lihat: ‘Srintil, Sang Primadona), telah menjadi bagian jati-diri (identitas) tersendiri daerah ini. Ketenarannya bahkan telah melanglangbuana sampai ke mancanegara. Bahkan, para connoisseur (pakar cita-rasa tembakau) di kota Bremen, pusat lelang tembakau dunia, lebih mengenal Temanggung daripada Jakarta. Atau, paling tidak, sama terkenalnya dengan Bali.

LUAS LAHAN & PRODUKSI Berlatar belakang sejarah panjang sejak abad-17, bukan kebetulan jika Temanggung kini menjadi salah satu daerah penghasil tembakau terpenting di Indonesia. Pada tahun 1811 saja, produksi tembakau Temanggung mampu mencapai jumlah hingga 1.500 ton Sekarang, sampai akhir tahun 2009, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung mencatat luas seluruh lahan tembakau di kabupaten ini adalah 13,088 hektar. Keseluruhan luas lahan tersebut tersebar di 14 dari 20 kecamatan di kabupaten ini.

Hanya 6 kecamatan (Gemawang, Bejen, Kandangan, Kaloran, Kranggan dan Pringsurat) yang tidak memiliki lahan tembakau. Pada akhir 2009, luas lahan tembakau di berbagai kecamatan itu mencakup sekitar 15% dari total luas wilayah kabupaten, atau 19,6% dari total luas seluruh lahan pertanian seluruh kabupaten ini. Kecamatan Jumo memiliki tingkat produktivitas lahan tertinggi, yakni 630 kilogram tembakau rajang kering per hektar. Kecamatan ini berada di kelompok atas bersama Ngadirejo, Candiroto, Kledung dan Bansari dengan angka produktivitas rerata di atas 600 kilogram per hektar. Produktivitas terendah adalah di Kecamatan Bulu, hanya 305 kilogram per hektar.

Sebenarnya, luas lahan tembakau Temanggung ini hanya sebagian kecil (sekitar 12%) saja dari luas total lahan pertanian yang ada. Bahkan, ada kecenderungan mengalami penyempitan. Pada tahun 2006, luas lahan tembakau seluruh.

Temanggung sempat berkurang tajam menjadi 9,326 hektar saja, turun 35,89% dari 14,548 hektar pada setahun sebelumnya. Demikian seterusnya, bergerak naik-turun sampai tahun 2009. Pergerakan naik-turun luas lahan tembakau ini terutama karena fakta bahwa tanaman tersebut memang adalah tanaman semusim –hanya sepanjang musim kemarau– yang tidak memiliki lahan tetap.

Para petani menanamnya hanya pada musim kemarau di atas lahan yang juga digunakan untuk jenis tanaman lainnya, baik tanaman pangan (terutama padi, palawija, cabe, berbagai jenis sesayuran, dan sebagainya) pada musim hujan sebelum dan sesudah musim kemarau. Bergantung pada beberapa hal, terutama ketersediaan dana untuk biaya-biaya produksi (mulai dari pengadaan bibit, pupuk, sampai pemeliharaan dan pengolahan pasca-panen) yang cukup besar –selain faktor bukan teknis lainnya, seperti kesukaan dan kemauan– maka petani akan menanam tembakau setelah memanen hasil tanaman lain pada lahan yang sama.

Demikian pula halnya dengan tingkat atau jumlah produksi, bergerak turun-naik searah dengan perubahan luas lahan yang ada. Data di Bagian Perekonomian Kantor Bupati Temanggung memperlihatkan bahwa tingkat produksi tembakau daerah ini cenderung bergerak naik-turun antara tahun 2005 sampai 2009. Tahun 2005, produksi mencapai 3,9 ribu ton, kemudian bergerak naik mencapai 8.0 ribu ton pada tahun 2007, turun menjadi 5,0 ton pada tahun 2008, lalu naik lagi menjadi 6,7 ribu ton pada tahun 2009. Jumlah tersebut memasok 14–26% kebutuhan industri rokok (tepatnya: industri kretek) nasional pada tahun yang sama.

Singkatnya, luas lahan dan tingkat produksi tembakau di Temanggung akan terus berubah sesuai dengan kemampuan dan keinginan petani dan –tak kalah penting, bahkan merupakan faktor paling menentukan pada tingkat terakhir– adalah juga pergerakan permintaan dan harga pasar.

MUTU & HARGA PASAR Hasil riset Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) menunjukkan kondisi alam, iklim yang agak basah, dan struktur tanah yang cenderung masam di sekitar Gunung Sumbing (3.260 meter dpl), Sindoro (3.151 meter dpl), dan Prahu (2.565 meter dpl) sangat cocok bagi budidaya tanaman ‘emas hijau’ ini.

Dengan jenis tanah, ketinggian, suhu, paparan sinar matahari, dan ketersediaan air yang berbeda-beda, maka setiap kecamatan penghasil tembakau di Temanggung memiliki produktivitas lahan dan mutu daun tembakau yang beragam pula. Kecamatan Kledung –yang memiliki lahan tembakau terluas di sekitar lereng Sindoro dan Sumbing– menghasilkan tembakau dengan harga pasar rata-rata paling tinggi dibanding kecamatan lain, baik pada tingkat petani (Rp 67.000 per kilogram rajang kering) maupun di pasar umum (Rp 75.000 per kilogram rajang kering).

Mutu tembakau di lahan dengan ketinggian yang cukup, seperti Kledung, memang biasanya lebih baik dibanding tembakau lahan sawah di dataran yang lebih rendah. Sebagian tembakau dari Kecamatan Bulu, misalnya, yang ditanam di lahan sawah dataran rendah, hanya mampu mencapai harga Rp 25.000 per kilogram rajang kering di tingkat petani dan Rp 30.000 ribu per kilogram di pasaran umum.

Sudah tentu, cara penanaman, perawatan, dan pengolahan pasca-panen ikut mempengaruhi tingkat produksi, jenis dan mutu –dan, dengan demikian juga harga pasar atau harga jual– tembakau yang dihasilkan. Harga tembakau sangat beragam pula dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2003-2006, misalnya, harga rerata tembakau Temanggung di pasaran umum –yakni pada penjualan di tingkat gudang penyimpanan pedagang besar atau pabrikpabrik pengolah– bergerak pada kisaran Rp 60 – 150.000 per kilogram rajang kering (untuk jenis dan mutu tembakau terbaik, grade E sampai H) dan Rp 12 – 60.000 per kilogram rajang kering (untuk jenis dan mutu tembakau yang lebih rendah, grade A sampai D).

Selain jenis dan mutu daun tembakau itu sendiri, harga jualnya di pasaran umum juga sangat ditentukan oleh pemintaan pasar, terutama dari para pembeli skala besar, yakni perusahaan atau pabrik-pabrik kretek. Khusus untuk tembakau Temanggung, empat perusahan kretek terbesar di Indonesia –PT Djarum dan PT Nojorono di Kudus, PT Bentoel di Malang, dan PT Gudang Garam di Kediri– adalah pembeli terbesar tembakau Temanggung, sehinggga mereka juga ikut mempengaruhi perkembangan dan ragam tingkat harga tembakau di daerah ini.

Semua perusahaan besar kretek itu memiliki gudang sekaligus para graders (pakar khusus penentu mutu dan, karena itu, harga tembakau dari para petani) di Temanggung. PT Sampoerna di Surabaya tidak menggunakan tembakau dari daerah ini, sehingga mereka tidak membangun gudang di Temanggung (lihat: ‘Rahasia Mutu Tembakau: Antara Petani dengan Perusahaan) Keberadaan gudang dari beberapa pabrik besar itu juga menarik tembakau dari daerah lain masuk ke Temanggung, melalui para pedagang setempat, yang sebagian besar juga petani tembakau itu sendiri.

Menurut pemantauan Dinas Perdagangan Kabupaten Temanggung, pembelian tembakau oleh gudang-gudang pabrik besar kretek tersebut, pada tahun 2009, mencapai 19.050 ton. Jumlah tersebut jauh melampaui total produksi (6.786 ton) dari petani setempat pada musim yang sama. Dengan demikian, bisa dipastikan selisihnya (12.264 ton) adalah tembakau dari daerah lain, terutama dari beberapa kabupaten terdekat seperti Wonosobo dan Boyolali.

MENGGERAKKAN PEREKONOMIAN LOKAL Pertanian tembakau di Temanggung ikut menggerakkan kegiatan ekonomi daerah ini. Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Temanggung mencatat ada 6.801 unit usaha yang berkaitan langsung dengan pertanian dan perdagangan tembakau di seluruh wilayah kabupaten ini. Jumlah itu terdiri dari 3.244 unit usaha pengeringan dan pengolahan tembakau, 3.505 unit usaha pembuatan keranjang tembakau, 37 unit usaha perajangan tembakau, 7 unit usaha perajangan cengkeh, 7 unit usaha produksi kretek, dan 1 unit pembuat cerutu lokal.

Selain itu, terdapat beberapa unit usaha lain yang berhubungan secara tidak langsung dengan pertanian tembakau di Temanggung. Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah (UKM) Kabupaten Temanggung mencatat 25.724 unit usaha yang berkaitan secara tidak langsung dengan pertanian dan perdagangan tembakau di daerah ini, terdiri dari 8.338 unit usaha pengadaan dan pengolahan pangan; 330 unit usaha penyediaan sandang; 1.573 unit usaha bahan kimia dan bahan bangunan; 142 unit usaha bahan logam dan elektronika; 1.262 unit usaha kerajinan; dan 14.079 unit usaha perdagangan formal maupun informal (lihat: ‘Gerbong Penarik Sektor Lain’).

SUMBANGAN KE PENDAPATAN DAERAH Betapapun tidak menentunya harga tembakau, komoditi ini sangat berpengaruh terhadap denyut ekonomi Kabupaten Temanggung. Kendati sempat mengalami laju pertumbuhan lambat dibanding banyak sektor lainnya –terutama pada masa antara tahun 2001-2006 yang hanya mencatat laju rerata 1,44 – 3,14%, bahkan sempat anjlog (-1,07%) pada tahun 2008– namun tak dapat disangkal bahwa sektor pertanian masih tetap merupakan penyumbang terbesar pada perekonomian kabupaten ini. Pada tahun 2008, sektor pertanian menyumbang 30,82% terhadap total Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Temanggung, diikuti oleh sektor industri sebesar 19,11%, dan sektor perdagangan sebesar 16,78%.

Sub-sektor pertanian tembakau di Temanggung, tentu saja, memberi andil besar dalam sumbangan sektor pertanian tersebut, yakni melalui Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT). Antara tahun 2008-2009, angka DBHCT untuk Temanggung malah mengalami lonjakan tajam, meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya, dari Rp 0,79 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 10,05 miliar tahun 2009, lalu meningkat terus menjadi Rp 13,67 miliar tahun 2010. Ini berarti bahwa pada dua tahun terakhir (2009-2010), sumbangan DBHCT terrhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Temanggung adalah sangat signifikan. Jika PAD tahun 2009 tercatat Rp 39,90 dan Rp 55,10 miliar pada tahun 2010, maka sumbangan DBHCT terhadap PAD tersebut adalah masing-masing 25,19% dan 24,81%.

Memang, selama tiga tahun terakhir itu, proporsi DBHCT terhadap keseluruhan Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Temanggung terbilang masih belum terlalu besar, tetapi produksi tembakau lokal telah membentuk suatu jaringan perekonomian lokal dengan perputaran uang dalam jumlah besar, terutama selama musim tembakau sepanjang tahun (Mei-September), yang diperkirakan bisa mencapai Rp 1,82 triliun (lihat: ‘Dua Kali Lipat APBD’).

Proporsi DBHCT terhadap total APBD Kabupaten Temanggung selama tiga tahun terakhir mungkin masih terbilang kecil, namun jumlah mutlaknya sebenarnya cukup besar. Dan, jauh lebih penting lagi adalah bagaimana pemasukan dari pertanian tembakau itu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat, tentu saja, terutama bagi kesejahteraan keluarga petani tembakau Temanggung itu sendiri sebagai sumber utama pemasukan tersebut.

Meskipun belum ada catatan resmi yang rinci dan khusus mengenai pemanfaatan dana cukai tembakau tersebut, namun beberapa petugas pemerintah setempat memberikan informasi penting. Marlina, staf Bagian Ekonomi di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Temanggung, menjelaskan bahwa dana dari cukai tembakau justru banyak digunakan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau itu sendiri.

Misalnya, pada tahun 2009, sebesar Rp 1,2 miliar untuk penyelenggaraan ‘Sekolah Lapang Petani untuk Penanggulangan Hama Terpadu’ oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Contoh lain, Dinas Lingkungan Hidup memanfaatkan DBHCT sebesar Rp 1,7 miliar untuk membangun embung (danau buatan) sebagai penampung cadangan air bagi warga Kecamatan Bulu dan Kledung. Sementara itu, Dinas Peternakan memanfaatkan Rp 2,9 miliar DBHCT untuk membantu petani setempat mengembangkan sistem budidaya ternak berwawasan lingkungan. Juga, Dinas Pekerjaan Umum memanfaatkan Rp 2,3 miliar DBHCT untuk membangun jalan penghubung antar beberapa desa penghasil tembakau.

PENYERAPAN TENAGA KERJA Pertanian tembakau tak bisa disangkal telah mendarah daging dalam kehidupan warga Temanggung. Pada tahun 2008, BPS serta Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan Temanggung mencatat sebanyak 47.642 keluarga di seluruh kabupaten yang penghasilan utamanya adalah dari penanaman tembakau.

Sementara itu, terdapat sejumlah 23.031 tenaga kerja terlibat dalam proses pasca panen, yakni proses pengeringan dan pengolahan lanjut daun tembakau kering sebelum dijual ke pasaran umum atau dikirim ke pabrik-pabrik kretek besar. Selanjutnya, ada 198 orang tenaga kerja terlibat dalam perdagangan cengkeh, industri kretek dan cerutu lokal.

Sehingga, jumlah seluruh tenaga kerja yang terlibat langsung dalam mata-rantai pertanian dan perdagangan tembakau di Temanggung adalah 66.072 orang. Jumlah ini belum memperhitungkan buruh tani yang didatangkan dari daerah lain (kabupaten sekitar Temanggung) untuk memanen dan merajang hasil panen. Wisnu Brata, Ketua APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) Cabang Jawa Tengah, menyebutkan , “… bahkan pada waktu panen, tenaga kerja yang tersedia di wilayah Kabupaten Temanggung tidak mencukupi. Kami harus mendatangkan dari kabupaten lain seperti Banjarnegara dan Wonosobo.”

Dengan kata lain, sub-sektor pertanian tembakau menyerap lebih seperempat (26,46%) dari total angkatan kerja (249.749 orang) di sektor pertanian di daerah ini. Dibandingkan dengan keseluruhan angkatan kerja atau penduduk usia produktif (15-55 tahun), maka pertanian tembakau menampung 11,33% dari total 716.295 orang angkatan kerja atau penduduk usia produktif di kabupaten ini. Proporsi ini mungkin memang tidak terlalu besar, tetapi jumlah itu jauh melampaui kemampuan sektor lain menyerap tenaga kerja, misalnya, sektor industri hanya menyerap 7,49%, atau sektor konstruksi hanya 3,39%.

Jika dikaitkan keseluruhan sektor perekonomian lainnya yang berhubungan secara tidak langsung dengan pertanian tembakau, maka terdapat tambahan penyerapan tenaga kerja sebanyak 61.105 orang yang tersebar pada berbagai unit usaha, mulai dari pengadaan dan pengolahan pangan, penyediaan bahan kimia, sampai saluran perdagangan informal.


Selanjutnya Aroma Cengkeh di Minahasa


Tulisan ini ditulis oleh Wahyu W.Basjir dan diambil dari bukukretek.comKretek Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota