Hasil dari Emas Hijau Tembakau Dirampok Pemerintah
OPINI

Hasil dari Emas Hijau Tembakau Dirampok Pemerintah Melalui Tarif Cukai dan Pajak yang Tinggi

Kenaikan tarif cukai sudah diketok oleh pemerintah untuk 2023 dan 2024 di Istana Kepresidenan Bogor pada 3 November 2023. Kenaikan itu rata-rata 10% setiap tahunnya untuk 2 tahun mendatang. 

Kenaikan tarif cukai ini menjadi pukulan telak bagi para pegiat di industri hasil tembakau (IHT) dan membuat perubahan drastis sektor pertembakauan. Dengan kenaikan tarif cukai berarti setoran yang dibayarkan oleh pabrik kepada negara meningkat. Bila sebelumnya komponen pajak dan cukai mencapai 78% dari harga rokok dalam dua mendatang bisa lebih tinggi lagi. 

Artinya pabrik harus melakukan pengetatan anggaran agar bisa bertahan. Belum lagi persoalan lain yang dihadapi pabrik rokok legal terkait daya beli dan juga makin membanjirnya rokok ilegal sebagai akibat dari tingginya besaran pajak dan cukai yang disetorkan ke negara. 

Pabrikan rokok supaya bisa bertahan memerlukan pemangkasan dari biaya produksi. Dengan begitu, rentetan dari problem kenaikan tarif cukai akan berdampak kepada petani tembakau dan cengkeh. Bayangkan saja, komponen bahan baku, penyimpanan, pengolahan produksi, iklan, dan distribusi hanya mendapatkan porsi 22% dari harga sebungkus rokok. Sisanya masuk ke pemerintah. 

Perubahan ini yang perlu diamati dan juga direspon oleh petani. Bawasannya industri hasil tembakau sudah tak seperti dulu. Di mana pabrikan masih mampu berkembang dengan besarnya porsi uang rokok yang masuk ke mereka. Sehingga mampu membeli bahan baku dengan harga tinggi. Bahkan apabila musim lagi bagus, antar pabrik rokok akan berebut untuk mendapatkan tembakau dengan kualitas tinggi yang mengakibatkan hasil tembakau petani berharga tinggi. 

panen tembakau

Tetapi, dengan tekanan tarif cukai dan komponen pajak apakah hal itu akan terulang? Kemungkinannya akan kecil. 

Padahal di akar rumput praktik tanam tembakau dianggap mampu menghasilkan keuntungan yang tinggi dan menyerap tenaga kerja yang relatif besar untuk pengolahan pascapanen. 

Anggapan bahwa tanam tembakau memberikan laba besar selama puluhan tahun terlanjur membentuk pola yang berbeda dalam sistem pertanian kita. Dahulu karena kekurangan lahan untuk tanam tembakau, para petani tembakau berebut untuk sewa lahan yang mengakibatkan harga sewa untuk tanam komoditas tembakau jauh lebih tinggi. Di beberapa daerah misalkan biaya sewa satu musim tanam tembakau sama dengan harga sewa setahun untuk komoditas lain. 

Biaya tenaga kerja juga demikian. Upah harian pekerja tembakau jauh lebih tinggi daripada pekerja harian untuk komoditas lain. Para petani tembakau juga berani bertaruh meminjam uang dengan mengandalkan hasil panen tembakau. Meski berbunga, mereka mampu mengembalikan. 

Tetapi, perubahan ke depan hal itu tidak bisa dilakukan lagi. Terlalu berisiko apabila pola produksi sebelumnya dipertahankan. Sebab, industri hasil tembakau ditekan oleh kebijakan tarif cukai dan pajak di mana setoran kepada pemerintah mengambil porsi jauh lebih besar. 

Kini anggapan bahwa tembakau adalah komoditi ‘emas‘ dalam dunia pertanian sudah perlu ditinjau ulang. Sebab emas itu kini dinikmati oleh pemerintah bukan lagi kepada petani tembakau dan cengkeh serta stakeholder yang terlibat dalam industri hasil tembakau.