tembakau queen bee
Tingwe

Tembakau Queen Bee: Solusi Menghadapi Naiknya Harga Rokok

Perokok berusaha melakukan berbagai cara untuk menyiasati kenaikan harga rokok. Salah satunya adalah dengan tingwe (linting dewe). Beruntung, sejak kenaikan harga rokok, banyak toko tembakau bermunculan di Indonesia. Dan, tembakau queen bee premium adalah salah satu incaran bagi sebagian besar peningwe –sebutan untuk kaum pecinta tingwe.

Tembakau Queen Bee Premium

Ada banyak alasan mengapa peningwe menyukai tembakau queen bee premium. Alasan pertama, rasa dari tembakau yang mendekati pabrikan besar seperti Djarum Black, Surya, hingga Sampoerna Mild. Tentu ini menjadi solusi jitu bagi perokok yang tetap ingin mengolah rasa pabrikan besar di mulut dengan harga lebih miring. 

Memang, tidak sepenuhnya rasa dari pabrikan besar mirip dengan milik tembakau queen bee premium. Namun tembakau yang merupakan produksi dari PR. Rezeki Barokah Prima di Blitar, paling tidak sudah mendekati rasa pabrikan sebesar 85%. Menyenangkan, bukan?

Alasan kedua, peningwe tidak perlu meracik sendiri atau mencampurkan bahan-bahan lain. Sebab, ketika kamu membuka bungkus dari tembakau queen bee, sudah merupakan hasil racikan PR. Rezeki Barokah Prima. Jadi, cukup menyiapkan papir, linting, bakar sekaligus isap. 

Alasan ketiga, tentu saja harga yang amat terjangkau. Kamu cukup merogoh kocek antara 16-17 ribu rupiah untuk mendapatkan tembakau sensasi pabrikan besar sebanyak 60 gram. Angka ini sangat jauh apabila kamu membandingkannya dengan rokok SKM golongan I saat ini. 

Jika sudah begini, wajar apabila di kemudian hari perokok beralih dan ramai-ramai menjadi peningwe. Apalagi kehadiran tembakau queen bee adalah bukan lagi alternatif melainkan solusi terkini agar kamu tetap bisa ngebul. 

Tingwe Bukan Lagi Alternatif

Berkaca dari tiga alasan di atas mengenai mengapa sebagian besar perokok memilih tembakau queen bee, rasanya menjadi masuk akal ketika ada perpindahan perilaku. 

Meskipun ada tindakan yang berbeda, tetap pilihan bisa ngebul menjadi alternatif bagi perokok. Toh, bagi yang sudah terbiasa, waktu antara membuka bungkus rokok, kemudian menaruh rokok di mulut, membakarnya via korek dengan waktu membuka bungkus tembakau rasa, mengambilnya sejumput, membungkus dengan papir, dan membakarnya via korek di mulut tidak terlalu jauh. 

Ini juga yang menyebabkan sebagian besar warung kopi mulai menaruh tembakau dengan berbagai rasa di meja kasir. Bahkan, tidak jarang para pemilik warung kopi menyediakan gratis sejumput tembakau beserta papirnya. 

Jika sudah begini, rasanya perokok tidak akan khawatir dengan kenaikan harga rokok. Justru yang khawatir adalah pemerintah. Mereka akan bingung bagaimana lagi untuk meningkatkan penerimaan negara melalui cukai, khususnya cukai rokok. 

Yang lebih berbahaya, justru alternatif bagi perokok adalah beralih ke rokok ilegal. Harganya memang lebih murah, peredarannya masif sehingga perokok tidak kesulitan mendapatkannya. Namun, untuk soal rasa, tidak lebih baik dari rasa yang dihadirkan tembakau rasa. 

Tapi, ya, sudahlah. Memang pemerintah selalu tidak bijak dalam memandang industri hasil tembakau. Suka menarik cukainya, tapi lebih sering memberi beban kepada orang-orang yang bertahan hidup di industri hasil tembakau.