Menghisap kretek adalah mengingat nenek dan kebun kelapanya. Siang hari seusai berkebun, biasanya nenek—atau Mama Tua, seperti orang kampung dan cucu-cucunya memanggilnya—istirahat di gubuk kayunya yang terletak di tengah kebun. Bernaung atap sederhana dan dedaunan dari pohon kelapa yang menjulang, ia akan melakukan ritualnya saban hari dan berharap cucu-cucunya tidak akan datang untuk minta dicarikan kutu. Di pondok sederhananya itu, ia menghayati suara laut yang tidak jauh dari kebun. Dan mengingat anak-cucunya yang merantau. Seperti dukun-dukun yang umumnya mengepulkan doa-doa melalui hembusan asap kretek, Mama Tua pun berdoa. Untuk memanggil pulang anak-cucunya.
Beberapa tahun setelah menemukan ritual nenek, saya bertemu teman
yang juga cerita tentang ritual personalnya dengan kretek. Willy namanya. Dalam keriuhan warung soto Kudus, Willy bercerita kalau ia rindu sekali mendaki gunung dan melaksanakan ritualnya. Ia membayangkan perjalanan menuju puncak dimana hanya akan ada teman-teman yang sudah akrab kental dan tumbuhan. Ia membayangkan perjalanan berjam-jam melalui jalan setapak sebelum menjelang puncak dan mendirikan tenda di sana. Kemudian ia dan teman-temannya akan menyalakan api unggun, menjerang air, mengopi, dan mengkretek sambil menikmati matahari yang terbenam atau terbit keesokan paginya. Dan Willy pun berkhayal, saat teman-temannya sudah tidur, ia ingin duduk sendiri bersama api unggun dan sebatang kretek. Bunyi cengkeh terbakar
akan menemani hening sementara kepulan asap akan menari untuknya, sebelum pergi menikmati bintang. “Itulah liburan holistik buatku,” katanya.
Cerita lain datang dari seorang kawan seniman yang seringkali mati gaya karena kehabisan ide. Dan di saat-saat seperti itu, ia akan menyiapkan segelas kopi dan mencari sudut untuk duduk paling nyaman. Di sudut itulah ia kemudian merenung sambil menyeruput kopi, mengkretek, dan berbincang kalau ada teman. Kalau lagi sendiri ia akan duduk bersama kertas gambarnya dan membiarkan dirinya menggambar apapun yang terlintas dalam benak. Kretek itu penting dalam proses kreatif saya. “Kretek itu teman berpikir,” ujarnya. Paduannya dengan kopi bikin imajinasi jadi cemerlang dan memacu endorfin. Entah karena tembakau atau cengkeh atau kopi yang penting bisa menggambar lagi.
Baik Mama Tua, Willy, maupun kawan seniman saya, ketiganya merokok
kretek. Willy dengan Sampoerna A Mild-nya, Mama Tua dengan Djarum Super-nya, dan si seniman dengan Gudang Garam Merah-nya. Dan kenapa kretek? Bukannya mereka tidak tahu kalau ada rokok putih di warung. Tapi ini masalah selera. Willy lebih suka kretek yang ada bunyinya dan rasanya manis.
Sementara si seniman beranggapan kalau rokok putih selain tidak enak adalah rokok kapitalis. Dan Mama Tua, ia tidak suka rokok putih karena tidak ada rasanya. Lagipula, sejak ia kecil, rokok yang dikenalnya adalah rokok kretek atau kalau tidak ada rokok nginang bisa jadi pengganti. Tapi, Mama Tua tetap milih merokok di masa tuanya daripada nginang. Kenapa? Karena gigi saya sudah bagus, kelakar Mama Tua.
***
Berbicara tentang ritual sekilas terkesan religius. Padahal tidak selamanya
begitu. Ritual bukan hanya milik agama atau aliran-aliran kepercayaan yang melulu mesti dikerjakan berjamaah. Bersembahyang sendiri pun tanpa disadari termasuk ritual personal seseorang. Kemudian menyapu halaman di pagi hari, mencuci piring, membereskan rumah juga bisa dikatakan sebagai ritual. Maka, ritual itu sesungguhnya hak semua orang dan penyelenggaraannya bisa dibuat sekreatif mungkin, selama tidak mengganggu atau merepotkan orang lain.
Sebuah contoh datang dari paman
yang tinggal di sebuah desa dekat
Borobudur. Setiap pagi ia punya ritual untuk
bersepeda berkeliling desa sehabis mandi. “Mau tengok Merapi atau
mengeringkan rambut,” katanya setiap ada orang bertanya hendak kemana ia
pergi dengan onthel kesayangannya. Ritual itu kemudian dilanjutkannya
dengan menjerang air panas dan menyeduh kopi instan untuk ia bawa ke ruang
tamu dan di kursi dekat jendela ia akan duduk, menikmati sinar matahari
yang jatuh di punggungnya. Kemudian ia akan mulai melinting tembakau
Madura dan cengkehnya sambil memperhatikan lukisan yang
sedang dikerjakannya. Ritualnya ini bisa memakan waktu sampai
satu, dua jam, hampir setiap harinya.
Lain si paman, lain juga petani-petani yang
biasanya saya temui ketika
mblasuk ke desa-desa. Dan sebetulnya ini bukan
pemandangan asing bagi yang menyadari. Kalau pada waktu-waktu
istirahat makan siang atau pulang dari sawah dan ladang akan
banyak terlihat petani menikmati kretek atau klobot yang tersemat di
bibir mereka—tidak akan ada pemandangan petani menikmati rokok putih dan
saya bersyukur atas ketidakadaan tersebut. Lebih-lebihkalau jalanjalan
di seputar Wonosobo, Banjarnegara, sampai
Dieng. Rasanya menggetarkan sekalimencium aroma
kemenyan di udara dari klobot petani yang
sedang berjalan pulang atau nongkrong di
pinggir jalan. Memandangi hijau perbukitan dan
sawah, mendengarkan sayup-sayup jeram dari
Serayu, ditambah aroma kemenyan yang tipis di udara adalah pengalaman yang
sangat sulit dilupakan sekaligus didapatkan.
Mengingat bagaimana orang-orang tua di desa melinting tembakau, saya
teringat perbincangan dengan salah satu teman. Dalam perbincangan tersebut, kami bersepakat kalau orang-orang yang melinting dengan penghayatan penuh adalah seorang alkemis. Mereka tidak sekedar menikmati tembakau, tetapi juga sedang melakukan proses pemurnian diri layaknya orang mandi. Jika mandi membersihkan permukaan raga, maka asap yang tersesap membersihkan dada—sarang bagi perasaan-perasaan—melalui api yang memberi nyawa pada sebatang kretek.
Dalam perbincangan itu saya teringat salah satu guru SD (sekolah dasar)
saya. Bu Nonce namanya. Kabar terakhir tentangnya sungguh tidak enak didengar. Orang-orang bilang Bu Nonce stres, baru bercerai dengan suaminya yang selingkuh. Lantas kini dia jadi asosial dan perokok berat. Ibu saya cerita pula kalau teman-teman sesama guru malas untuk mendekatinya karena ia kini perokok berat Djarum Super.
Saat mendapat berita ini saya tidak terlalu ambil pusing dengan kisah
Bu Nonce. Tapi belakangan saya jadi memikirkan Bu Nonce. Sepanjang ingatan saya ia tampak sebagai sosok perempuan yang punya pendirian. Lantas hubungannya dengan rokok, semestinya tidak serta-merta membuat teman-temannya menjauh darinya. Toh, mereka tidak berada dalam sepatu Bu Nonce. Mereka tidak tahu pikiran dan perasaan-perasaan seperti apa yang berkecamuk dalam diri Bu Nonce. Maka semestinya tidak ada satu orang pun yang berhak menghakimi Bu Nonce. Tapi mungkin, Bu Nonce pun sudah tidak ambil pusing lagi dengan kelakuan suaminya atau teman-teman yang menjauhinya. Mungkin, Bu Nonce sudah mati rasa terhadap dunia dan di saat-saat seperti itu, bisa jadi sebungkus Djarum Super menyelamatkan pikirannya tetap jernih bertahan pada kesadaran bahwa ia bisa bertahan dan tidak kehilangan dirinya sendiri.
Lantas, apa yang membuat kretek menjadi begitu magis? Entah karena
tembakau, cengkeh, atau paduan keduanya, semua orang punya pendapat dan imajinasinya masing-masing. Tapi kapan-kapan silakan coba memasukkan kata kunci “the magic of cloves” di mesin pencari, maka akan ada banyak sekali website yang memaparkan kekuatan magis cengkeh.
Selain digunakan untuk memasak dan pengobatan, beberapa di antaranya mengatakan kalau cengkeh dapat membawa keberuntungan ke rumah seseorang, menghentikan gosip yang sedang menerpa, dan mempererat ikatan persahabatan. Yang terakhir ini mungkin benar, mengingat betapa seringnya terjadi komunikasi antara dua orang atau lebih setelah salah satunya berkata, “Rokok, Mas?”
Dengan segala yang terkandung di dalamnya rasanya tidak salah jika
kretek menjadi pelengkap ritual personal banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan begitu, kretek melampaui batasan gender dan bidang-bidang pekerjaan—sungguh sesuatu yang universal. Yang muda dan yang tua punya caranya sendiri dalam menikmati rokok kretek dan bahkan menyematkannya ritual personal yang menunjukkan tingkat kreativitas. Dengan kecenderungan habis lebih lama dibanding rokok putih, kretek memberi lebih banyak waktu bagi perokok berdialog dengan dirinya sendiri. Meski banyak orang yang
bukan perokok bilang, kalau merokok sambil bengong atau ngobrol saja itu buang-buang waktu—time is money, dude!
Ya, di satu sisi waktu memang uang. Tapi di sisi lain, ada hal-hal yang
tidak bisa dibeli dengan uang. Seperti misalnya uang tidak bisa membeli rasa kebersamaan yang tercipta antara dua orang atau lebih karena mereka merokok kretek yang sama. Atau kedamaian dan ketenangan yang ditimbulkan dari kretek bagi seseorang yang sedang merenungi pertengkaran yang meluluhlantakkan harinya. Hal hal seperti itu jelas tidak bisa dibandingkan dengan harga sebungkus kretek. Abstrak memang. Tapi, begitulah adanya pengalaman rasa. Ia tidak bisa ditampilkan dalam bentuk yang nyata saking lenturnya. Dan di antara pengalaman-pengalaman rasa tersebut terselip kretek di bibir banyak orang.
Banyak orang yang merokok ala kadarnya. Tapi, tidak sedikit orang-
orang yang memiliki ikatan batin dengan kretek selain Mama Tua, Willy, kawan-kawan seniman, dan Bu Nonce. Membayangkan betapa sebatang kretek menjadi teman dalam perhentian di antara perjalanan, berendam di mata air panas alami atau sekedar duduk di ruang tamu bersama salah satu novel Anais Nin saat hujan, adalah momen-momen seksi. Yang mengajak untuk melupakan sejenak permasalahan dunia yang semakin aneh-aneh saja, tetapi kemudian mampu mengajak untuk menyelami diri sendiri sampai ke bagian-bagian tergelapnya.
Beberapa kisah di atas memang bukan kisah-kisah bombastis. Hanya
kisah-kisah sederhana dari keseharian berikut perasasan-perasaan yang menyertainya. Tapi justru, menyelami kenangan tentang kretek, kerabat-kerabat, petani, klobot, dan ladang; adalah proses pengenalan kembali terhadap Indonesia, dan bagaimana saya berupaya mencintai negeri berikut sesama makhluk ciptaan yang kuasa melalui sudut-sudutnya yang terabaikan.