tingwe tembakau
Tingwe

Tingwe Simbol Perlawanan Kenaikan Cukai

Awalnya tingwe hanya dilakukan oleh orang Tua-Tua pelosok Desa, masyarakat pegunungan, masyarakat pinggiran, masyarakat pesisir atau nelayan. Fakta sekarang Tingwe sudah masuk perkotaaan dilakukan kaum terpelajar, orang kaya bahkan masuk dalam kategori lifestyle

Teringat sejarah, dahulu munculnya kretek selain untuk obat alternatif, juga sebagai alternatif rokok masyarakat pribumi kelas bawah. Ada penarik dokar, pedagang pasar, petani, buruh. Para bangsawan, orang terkemuka bahkan kolonial saat itu, merokok memakai media “cangklong”. Kemudian masyarakat kelas menengah memakai media once di periode tahun selanjutnya. 

Di zaman kompeni, yang merokok kretek sebagai identifikasi bukan orang terpandang, bukan seorang tokoh dan masyarakat pribumi dengan kasta rendahan. Sehingga, seringkali kompeni memperlakukan mereka (perokok kretek) seenaknya, mengejek dengan panggilan kelompok miskin, bahkan sampai diperbudak. 

Dan benar, karena tidak mungkin kelas bawah membeli cangklong yang harganya mahal (tidak terjangkau daya beli masyarakat saat itu) sebagai media untuk merokok. Selain itu, tidak kalah menarik, kretek muncul sebagai hasil kreativitas pribumi dan obat sakit bengek.

Memang sebelum munculnya kretek, budaya merokok sudah ada di masyarakat bawah dengan cara tingwe dengan media pembungkus seadanya. Ada yang memakai dedaunan, kertas seadanya (belum ada papier), bahkan memakai pembungkus daun jagung. 

Kali pertama munculnya kretek pun masih memakai pembungkus seadanya. Akan tetapi saat itu kebanyakan masyarakat memilih dengan memakai pembungkus dari bungkus jagung yang sudah dirapikan bahkan disetrika agar bulu halusnya yang ada dibungkus jagung hilang. Supaya tidak berakibat gatal-gatal di bibir. 

Merokok memakai media bungkus jagung ada plus minusnya. Rokok awet tidak cepat habis, tahan air dan cepat mati saat dibiarkan (tidak di hisap). Sehingga ketika mati bisa di rokok/disulut kembali saat dibutuhkan. Minusnya, hisapannya agak berat dan baranya sering mati dan harus disulut kembali. 

Rokok dengan media pembungkus daun jagung inilah terkenal dengan sebutan “rokok klobot”. Masyarakat Jawa menamai bungkus jagung dengan sebutan “klobot”. Jadi rokok klobot itu rokok dengan media bungkus pembungkus jagung. 

tingwe rokok

Jangan heran, kalau melihat orang desa, nelayan yang merokok dengan media bungkus jagung pipinya pada kempot. Itu bukan kurang gizi atau kurang vitamin, tetapi memang berat hisapannya, sehingga harus kuat saat menghisap agar nikmat. 

Mungkin kalau dalam olahraga bisa masuk kategori merilekskan otot bibir dan pipi. Bagi yang pingin diet dan melangsingkan pipinya, tinggal merokok klobot tidak harus konsultasi dokter.

Dalam perkembangannya, setelah rokok kretek menjadi industri, memakai pembungkus kertas khusus yaitu “papier” yang dikemudian hari sangat diminati masyarakat. Pelan tapi pasti, penikmat rokok cangklong dan klobot berangsur-angsur beralih. 

Walaupun begitu, pecinta perokok cangklong dan perokok klobot tetap ada sampai sekarang. Bungtinya cangklong dan rokok klobot masih diproduksi dan masih dijumpai penikmatnya. 

Begitu juga tingwe, adanya revolusi industri kretek, sempat tingwe banyak ditinggalkan. Lebih memilih rokok kretek pabrikan. Lebih efektif, tinggal nyulut dan harga terjangkau. 

Namun bagi yang betul-betul cinta tingwe, seperti para orang tua tidak begitu saja meninggalkan kebiasaan melinting rokoknya. Justru mereka juga berkreasi dengan memakai media pembungkus kertas papier. Karena dengan melinting sendiri, ia bisa membuat rokok sesuai selera. 

Memang penjaga gawang budaya merokok tingwe adalah usia tua, orang pedesaan, para pinggiran bahkan masyarakat nelayan. Selain karena mereka bisa membuat rokok sesuai selera, ada hal yang lebih penting bagi mereka. Tidak lain, harga rokok selalu naik yang ditentukan oleh cukai atau pungutan pemerintah. Kenaikan harga rokok inilah, akhirnya mereka lebih memilih tingwe. Karena baginya, aktivitas merokok adalah budayanya.

Walaupun demikian mereka bukanlah orang gak perduli pada keberlangsungan keluarganya. Justru dengan keputusan memilih tingwe, mereka sadar lebih baik untuk keluarganya. Mereka tidak memaksakan kehendak, mereka menyesuaikan pendapatannya. Selama ada yang lebih efektif dan murah menurutnya, buat apa beli yang mahal dan tidak terjangkau sesuai batasan pendapatannya. 

Ternyata, maraknya fenomena tingwe saat ini juga demikian. Dengan kondisi terpuruknya ekonomi, cari uang sulit, pendapatan tidak menentu, pemerintah menaikkan cukai rokok akhirnya harga rokok naik. Jika dikalkulasi dengan pendapatan dan keuangan yang masuk dirasa sangat berat untuk beli rokok dengan harga sekarang. Sehingga banyak yang memutuskan beralih tingwe. 

Keadaan ini bisa dilihat fenomena maraknya penjual tembakau di berbagai kota. Tiap kota bermunculan penjual tembakau dan papir. Awalnya hanya satu dua orang yang berjualan, saat ini dijumpai banyak pedagang tembakau dan ramai pembeli. 

Ini bukti bahwa merokok adalah budaya. Tidak bisa serta merta pemerintah menghentikan aktivitas merokok, sekalipun harga rokok dinaikkan. Artinya pemerintah menaikkan cukai dengan tujuan menghentikan aktivitas merokok dan pengendalian tembakau tidak terbukti korelasinya. Masyarakat justru melawan dengan beralih tingwe. 

Jadi saat ini, tingwe adalah simbol perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dengan kebijakan yang tidak pro budaya rakyat dan terkesan semena-mena. Lambat laun, menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.