Antirokok adalah kelompok yang cukup berisik. Namun, ada persoalan yang kerap mereka lupakan dalam setiap gerakannya.
***
Di dunia ini ada banyak sekali kubu anti-antian terhadap sesuatu. Pihak-pihak ini biasanya terorganisir atau tumbuh secara organik. Bagi kubu yang sudah terorganisir biasanya bentuknya adalah Lembaga Swadya Masyarakat.
Tapi dari sekian banyak kubu yang anti terhadap sesuatu, rokok menjadi barang yang memiliki kubu paling banyak anti-antiannya. Lembaga-lembaga dibentuk untuk memberikan narasi kebencian terhadap rokok.
Tentu ada pihak yang menjadi donor untuk mereka melakukan kerja-kerja itu. Selain itu, mereka turut mempengaruhi pemerintah untuk membuat regulasi yang menekan industri rokok.
Tapi sayangnya, dalam melakukan advokasi, ada hal-hal yang dilupakan oleh pihak antirokok ini.
Antirokok Tak Pakai Sudut Pandang Korban
Dalam dunia advokasi, prinsip yang harus terus ada adalah memakai sudut pandang calon korban. Misalnya begini, mereka membenci rokok, tapi mereka seharusnya menanyakan kepada calon korban.
Dalam hal ini adalah buruh dan petani. Bagaimana nasib mereka kalau rokok lenyap dari muka bumi ini.
Sialnya, kubu antirokok tidak mau tahu soal nasib pekerja industri rokok, baik skala buruh pabrik atau sekadar penjaga warung rokok, apalagi petani tembakau hingga petani cengkeh.
Kubu antirokok tidak memberikan “solusi” untuk atas konsekuensi misalnya rokok memang benar-benar harus lenyap.
Antirokok Mengabaikan Hulu-Hilir
Antirokok mengusulkan agar harga rokok naik sedemikian mahalnya. Padahal kalau rokok mahal, yang terkena imbasnya itu bukan hanya perokok. Tapi seluruh lapisan elemen Industri Hasil Tembakau dari hulu ke hilir.
Misal, petani yang menghasilkan kualitas tembakau bagus menjadi susah untuk menjual tembakaunya dengan harga yang tinggi. Buruh rokok yang selama ini bekerja di industri rokok jadi terancam karena penjualan rokok bisa menurun. Jika begitu, bagaimana dong dengan nasib jutaan buruh rokok di Industri padat karya ini?
Tidak Bisa Asal Ganti Tembakau dengan Tanaman Lain
Contoh lainnya adalah mengenai diversifikasi tanaman. Di mana antirokok selalu bilang rokok itu berbahaya bagi kesehatan, rokok itu memiliki dampak buruk di segala lini, bahkan ada yang menyebut rokok itu haram.
Kemudian dari situ banyak antirokok yang mengusulkan agar mengganti saja tanaman cengkeh dan tanaman tembakau dengan tanaman lain.
Usulan itu tentu tidak bisa serta merta para petani tembakau dan cengkeh terima. Bukan karena mereka tidak sepakat dengan narasi-narasi itu, tapi para petani itu sudah berpuluh-puluh tahun bahkan turun temurun mengantungkan hidupnya dari bertani tembakau atau cengkeh.
Bahkan perlu kalian tahu ya, banyak petani tembakau yang tidak mau berganti tanaman lain lantaran hanya tembakau lah yang menjanjikan bagi mereka.
Di Temanggung, hal itu sudah terbukti. Di mana di lereng-lereng Sumbing-Sindoro cuma tembakau yang mampu bertahan sekaligus menguntung bagi para petani.
Perihal Investasi Waktu yang Tidak Pendek
Itu baru tembakau, beda lagi soal cengkeh.
Tapi perlu kalian tahu, untuk belajar berbunga pohon cengkeh membutuhkan waktu empat-enam tahun.
Tahun produktif cengkeh sendiri adalah 15 tahun. Jadi para petani ini sudah melakukan investasi waktu yang tidak pendek. Kayak gitu kok diminta ganti tanaman lain?
Dan perlu kalian tahu juga, di Maluku pohon cengkeh menyelamatkan tanah mereka. Sebab, kalau tidak ada cengkeh, Maluku sudah jadi pertambangan semua!
Tapi apakah antirokok memikirkan calon korban kalau misal rokok mereka musnahkan dari bumi nusantara? Tidak!
Padahal, sekali lagi, membawa variabel calon korban adalah prinsip yang tidak boleh terabaikan dalam kerja-kerja advokasi.
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin
BACA JUGA: Industri Rokok Lokal Didorong Kejar Pasar Ekspor, Tapi di Saat Bersamaan Dihambat Pemerintah Sendiri