Pakar UMY Sebut Kualitas SDM Indonesia Turun akibat Rokok, Tutup Mata pada Realitas Sesungguhnya 

cukai rokok

Sejak Purbaya menegaskan tidak menaikkan cukai rokok 2026 dan Harga Jual Eceran juga tetap, tentu kubu anti-rokok tidak akan tinggal diam.

Dari pembacaan yang saya telusuri di media sosial dan media online, anti-rokok terus mengeluarkan narasi untuk menyatakan penolakan atas kebijakan itu. Tentu narasi yang tidak jauh beredar mengaitkannya dengan kesehatan.

Baru-baru ini, ada Pakar Ekonomi Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Diah Setyawati Dewanti, yang turut menyayangkan Menteri Purbaya yang tidak menaikan cukai rokok. Sebab katanya cukai rokok harus naik.

“Kalau dari sisi ekonomi kesehatan, cukai rokok itu bukan penerimaan negara. Ia lebih mirip kompensasi atas kerugian yang ditanggung negara akibat menurunnya kualitas sumber daya manusia karena dampak rokok,”  jelas Diah dalam wawancara yang berlangsung pada Senin (13/10) di Gedung Ar Fachruddin A UMY yang dilansir dari Kemdikbud.go.id.

“Jika dibiarkan stagnan, kebijakan tersebut dapat menimbulkan ketimpangan antara tujuan ekonomi dan kesehatan masyarakat,” sambungnya.

Negara untung banyak dari cukai rokok

Pernyataan Diah itu tentu saja denial. Bagaimana tidak cukai rokok itu menyumbang ratusan triliun ke negara. Alias negara untung banyak tanpa repot sana-sini. Pun cukai rokok ada dan terus naik setiap tahunnya bukan karena rokok barang dosa sehingga perlu dikenakan cukai. Tapi lantaran pemerintah tidak punya kreativitas lebih untuk mencari pendapatan dari sektor lain.

Bayangkan ratusan triliun masuk ke kas negara setiap tahunnya. Bahkan dibanding Dividen BUMN jauh masih tinggi penerimaan dari cukai rokok.

Misal bukitnya di tahun 2024 kemarin cukai rokok telah menyumbang pendapatan negara sebesar Rp216,9 triliun. Sedangkan Dividen BUMN yang selama ini dieluh-eluhkan hanya menyumbang Rp86,4 triliun. Perbandingan selengkapnya antara cukai rokok dengan dividen BUMN bisa lihat di sini. 

Lalu mengenai kerugian negara yang katanya ditimbulkan oleh rokok itu besar itu patut dipertanyakan ulang. Jangan-jangan data yang selama ini bilang bahwa negara rugi triliunan akibat rokok itu bukan data sebenarnya? Alias itu adalah data ghaib yang dikeluarkan.

Maksudnya adalah semua penyakit bisa dituduh disebabkan oleh rokok. Ya masak diabetes saja bisa karena rokok. Padahal itu jelas karena gula. Atau diare karena rokok. Padahal masalah diare adalah masalah pencernaan. Kok bisa semuanya dilimpahkan kepada rokok.

Atau begini saja, kalau memang rokok mengganggu dan membuat kerugian negara yang jauh lebih besar ketimbang penerimaan dari cukai rokok, apa tidak mending pemerintah menutup saja semua pabrik rokok? Tangkap semua petani cengkeh dan tembakau di seluruh  penjuru karena membuat malapetaka untuk negara. Bagaimana, apakah sanggup?

Justru kalau cukai rokok terus-terusan dinaikkan, maka pemerintah sedang perlahan menyiksa 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari sektor Industri Hasil Tembakau dari mulai, petani, buruh, pedagang, dan lain sebagainya.

Apakah pemerintah atau anti-rokok mau tanggung jawab dengan hal itu? Kan tidak ya. Dan apakah perokok turun dengan naiknya cukai? Tentu saja tidak karena mereka beralih ke tingwe dan rokok ilegal.

Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin

BACA JUGA: Segini Pendapatan Negara dari Sebungkus Rokok (Dari Cukai dan Lain-lain), Tak Cuma 3%-4%

 

 

Artikel Lain Posts

Paling Populer