REVIEW

Ada Tiket Emas Willy Wonka dalam Sepatu Compass

Saya berpendapat, sepatu mungkin adalah salah satu hal yang menjadi primadona bagi para pria. Model baju dan celana pria mungkin tak memiliki model yang secara ekstrim berbeda, namun hal berbeda jika berbicara soal sepatu. Ada berbagai macam merek, jenis, warna, dan varian. Salah satu yang paling digemari oleh para pria adalah sepatu kets atau yang lain menyebutya dengan sepatu kanvas. 


Menggunakan sepatu kanvas atau kets dianggap membuat para pria terasa lebih muda. Saya percaya dengan pendapat itu. Bagi saya, dengan menggunakan sepatu kets maka saya akan selalu terasa terlihat muda, bahkan ketika saya berumur 30 hingga 40 nanti. Sepatu kets juga membuat penampilan saya terlihat lebih santai meski menggunakan atasan outfit yang formil sekali pun. 


Nilai fleksibilitas adalah raga dari sepatu kets itu sendiri. Secara fungsi memang sepatu ini bisa dihajar dalam kondisi apa pun, walau demikian memang tak bisa dipungkiri dalam beberapa medan sepatu ini belum tentu nyaman digunakan. Walau demikian sepatu ini memang jadi idola banyak pria, termasuk saya ketika masih menginjak bangku sekolah menengah pertama. Ada beragam sepatu kets yang saya miliki, terutama dengan merek converse, merek yang sangat popular, merek yang mungkin sudah melindungi jutaan kaki manusia di muka bumi ini. 


Belakangan ini saya mulai tertarik mencoba untuk menggunakan sepatu kets dengan merek non-converse. Alasannya adalah saya ingin menguji ketahanan sepatu kets merek lain, apalagi dengan harga yang lebih murah. Pilihan itu dua kali jatuh kepada sepatu kets bermerek Warrior dan North Star. Dengan harga yang tak sampai dua ratus ribu rupiah, Warrior dan North Star cukup membuat kaki saya nyaman melangkah. Walau tak bisa dipungkiri bahwa ketika sepatu kets menjelang masa akhir baktinya pada kaki kita, rasanya akan semakin tidak nyaman karena solnya yang kian tipis. Begitu juga dengan sepatu Converse, Warrior, dan North Star yang pernah saya gunakan.


Eksperimen akan terus berlanjut, setidaknya begitu jika melihat rejeki yang masih aman-aman saja. Setahun belakangan ini saya kemudian jatih cinta pada sepatu kets dengab merek Compass. Sebuah merek yang tengah naik daun di kalangan muda Indonesia, sebuah produk yang kini tengah jadi buah bibir dikalangan pecinta sepatu, bahkan mungkin lebih jauh, yaitu di kalangan masyarakat.


Jujur saya memang belum pernah langsung menggunakan sepatu ini. Namun, banyak orang di luar sana yang menyebut bahwa sepatu ini memang layak untuk dibeli. Kualitas sepatu ini dinilai yahud, desainnya unik meskipun memiliki kemiripan seperti logo nike. Ada yang bilang strip putih di sepatu compass mirip logo nike yang dibalik. Ya apa pun pendapat itu bagi saya dan banyak orang-orang di luar sana sepakat mengatakan bahwa sepatu compass memiliki model yang keren. 


Modal yang keren ini kemudian membuat banyak orang ingin memiliki sepatu compass. Terlebih sepatu ini kemudian digaungkan oleh para tokoh-tokoh penting lintas skena. Nilai sepatu ini terus tumbuh naik bersamaan dengan review positif banyak orang, tokoh-tokoh yang bangga menggunakannya di atas panggung,  dan banyak postingan di sosial media. Satu hal yang jangan dilupakan bahwa sepatu compass ini juga dijual dengan nilai idealisme yang tinggi.


Adalah Dr. Tirta alias Cipeng yang kemudian mengenalkan saya pada idealisme di balik sepatu compass. Saya mengetahuinya dari video yang diunggah cipeng di akun youtube miliknya. Video itu berisikan tentang dirinya yang mengunjungi pabrik tempat dimana sepatu compass dibuat. Tempatnya dirahasiakan oleh dirinya, meski tidak dengan berbagai pegawainya yang dieksplor seperti pahlawan dalam video itu. Intinya video itu menjelaskan bahwa sepatu compass dibuat berdasarkan cinta dan kekeluargaan. Alasan sepatu compass ini tidak dibuat dalam jumlah besar karena menganggap bahwa selain keuntungan materi ada hal yang lain yang perlu diperhatikan seperti kebahagiaan para pegawai.
Diceritkan dalam video tersebut bahwa sepatu compass pernah bangkrut. Lalu beberapa pemuda kemudian bertemu dengan pemilik pabrik tersebut untuk memulai kembali memhuat sepatu. Usaha tersebut kemudian dimulai kembali, para pegawai lama dipekerjakan kembali. Para pegawai lama yang dianggap sudah seperti keluarga kandung bagi pemilik pabrik tersebut. Atas dasar kekeluargaan itu maka sepatu ini dibuat dengan memperhatikan hak hidup mereka. Para pegawai dipekerjakan dengan manusiawi dengan gaji yang dan jam kerja yang layak pula. Walau atas dasar cinta pula para pegawainya juga rela lembur, demi pabrik yang mereka banggakan, demi sepatu yang mereka cinta, dan tentunya demi keluarga mereka.


Nilai-nilai di atas yang kemudian membuat nilai sepatu compass menjadi lebih ketimbang sepatu lainnnya. Bagi saya yang belum memiliki sepatu ini atau banyak orang di luar sana yang sudah punya dan ingin kembali memiliki maka barang ini wajib masuk dalam kantong belanja. Namun nyatanya permintaan tidak berbanding lurus dengan stok yang ada. Prinsip bisnis yang tidak ekspansif membuat barang ini memang tak banyak dijual dan bisa dikatakan sulit untuk dicari. Sistem penjualan pun dibuat berkala dan hanya orang-orang yang beruntung pula yang bisa mendapatkannya. Bak tiket emas untuk mengunjungi pabrik coklat milik Willy Wonka. 
Jika ingin mendapatkannya maka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membelinya di beberapa store. Harganya mungkin naik jauh dua kali lipat bahkan lebih. Akan tetapi, sepatu ini masih tetap dibeli bagi para pencarinya. Langkanya barang ini juga yang membuat satu insiden terjadi di Grand Indonesia. Ratusan orang berkumpul dan mengantri di halaman west mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2019). Akibat suasana yang semakin tidak kondusif, kepolisian setempat kemudian membubarkan massa yang berkumpul. Kekecewaan pasti memuncah, sosial media sepatu compass pun menjadi sasaran dan akhiirnya permintaan maaf mereka layangkan, tanpa kolom komen.


Berita ini kemudian ramai diperbincangkan. Ada yang mengkritik kebijakan sepatu compass yang dinilai sangat buruk dalam hal penjualan. Kritik itu diperparah dengan tuduhan mereka bahwa sepatu compass hanya menguntungkan reseller dan tokoh-tokoh yang selama ini memomulerkan sepatu tersebut. Namun tak sedikit juga yang pro terhadap sepatu compass. Mereka beranggapan bahwa orang-orang yang mengantri ini hanya membeli demi bisa pamer, walau bagi saya sendiri sepatu compass ini karena sangat keren untuk dipamerkan maka produk tersebut jadi laku untuk dijual.


Saya tidak mencoba untuk kemudian berdiri di atas salah satu kubu di atas. Namun saya coba untuk sedikit memberikan beberapa pandangan. Pertama, banyak di luar sana yang memang tidak peduli dengan merek, artinya jika sepatu ini sulit untuk dibeli maka mereka tidak akan membeli produk tersebut. Kedua, sistem pembelian sepatu ini memang harus dikerjakan secara baik, jika cara online dianggap bagus maka fokus saja di situ mengingat jumlahnya yang terbatas. Bagi saya penjualan offline dengan jumlah terbatas apalagi hanya dijual dalam satu event butuh kerja keras yang luar biasa agar bisa berjalan lancar. Jika yang terjadi seperti kekacauan di Grand Indonesia, bukankah akan berpengaruh juga pada merek sepatu tersebut.


Ketiga, kondisi ini membuat pemilik harus kembali memikirkan haluan bisnis mereka. Jika ekspansif pada pasar maka nilai kekeluargaan pada pegawainya juga tak boleh abai. Bukankah kekeluargaan ini yang membuat nilai dari sepatu ini terus naik. Nilai yang sangat sulit ditemui di era kapitalistik saat ini. Akan tetapi jika pemilik tetap bertahan dengan idealisme yang mereka pertahankan maka mereka juga harus berpikir keras bagaimana bisnis mereka tetap bisa bertahan di tengah melonjaknya konsumerisme di masyarakat modern saat ini.


Syukurlah selain sepatu compass, masih banyak produk sepatu kets lain yang kini berlomba-lomba  untuk menjual sepatu dengan kualitas baik. Bagi para konsumen, ini tentu kabar baik, semakin banyak varian di pasar, semakin mudah juga mereka memilih. Toh, sepatu kets apa pun tetap membuat anda terlihat keren, dan muda. Silahkan memilih!