antirokok
OPINI

Membantah Logika dan Data Kampanye Antirokok

Kampanye antirokok terus-menerus didengungkan kepada publik. Hal ini membuat informasi mengenai rokok menjadi tunggal dan bersifat hitam-putih. Opini publik yang bersumber dari media maupun akademis membius masyarakat, bahwa kampanye antirokok-lah yang kebenarannya absolut dan merepresentasikan juruselamat bagi umat manusia.

Padahal jika dikritik lebih dalam, logika dan data yang digunakan dalam kampanye antirokok terdapat kecacatan yang bisa diperdebatkan. Sehingga informasi mengenai rokok tidaklah tunggal dan absolut. Mari kita membedah beberapa poin kampanye yang sering dipakai oleh kelompok antirokok.

“Harga Rokok di Indonesia Terlalu Murah, Maka Harga Rokok Harus Mahal”

“Harga Rokok Harus Mahal”. Tagline tersebut terus saja digaungkan oleh kelompok antirokok. Alasannya pun macam-macam, mulai dari harga rokok dianggap terlalu murah sehingga dapat dijangkau oleh anak-anak, harga rokok di Indonesia lebih murah ketimbang negara lain, hingga dianggap sebagai salah satu solusi agar perokok berhenti mengonsumsi rokok. 

Antirokok dalam melemparkan wacana kepada publik selalu mengandalkan hitung-hitungan dampak dari tembakau versi subjektif mereka. Seperti, menganggap tembakau sebagai musuh utama dalam kesehatan. Dari sini saja sudah terlihat bahwa mereka tidak objektif, karena terselip rumus kebencian di dalamnya.

Lalu secara data, harga rokok di Indonesia sudah mahal dan tidak lagi terjangkau oleh masyarakat. Antirokok hanya melihat perbandingan harga rokok secara nominal dengan negara lain. Pandangan ini memang membuat harga rokok terlihat murah, namun dengan mempertimbangkan daya beli, harga rokok di Indonesia sudah mahal.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo menyebut, harga rokok di Indonesia lebih mahal dibandingkan beberapa negara seperti Jepang, Korea, China, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.

Penilaian ini berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.

Berdasarkan survey dari lembaga kredibel, Euromonitor menyebutkan bahwa pekerja di Indonesia harus bekerja lebih lama (60 menit) dibandingkan dengan pekerja negara lainnya untuk memperoleh 1 bungkus rokok, maka daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok cenderung rendah.

“Naikan Tarif Cukai untuk Menurunkan Jumlah Prevalensi Perokok Anak”

Isu anak selalu dilibatkan oleh antirokok dalam berbagai kampanye mereka. Meskipun cenderung manipulatif, seperti pada kasus film dokumenter perbudakan anak di ladang tembakau, namun dengan menjadikan isu anak sebagai tameng, mereka dapat meraih simpati publik. 

Salah satu kampanye yang cacat adalah menyambungkan antara tarif cukai rokok dengan prevalensi perokok anak. Isu ini selalu dihembuskan agar pemerintah menaikkan tarif cukai rokok setinggi-tinggi setiap tahun. Mari kita bedah faktanya.

Kenaikan tarif cukai dapat mengurangi prevalensi perokok anak sangat tidak relevan dan tidak membuktikan hasil yang signifikan. Dapat dilihat pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang menargetkan pengendalian konsumsi terkait prevalensi perokok dari kisaran 9,1% menjadi 8,7% hasil yang didapat bukannya turun malah naik. 

Ini berarti teori bahwa ketika tarif cukai dinaikkan untuk menurunkan prevalensi perokok dijalankan belum ada bukti signifikan bahwa prevalensi perokok di Indonesia menjadi berkurang.

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti dari INDEF Institute for Development of Economics and Finance pernah mengatakan, seharusnya ada instrumen yang berbeda yang ditambah atau diperkuat. Sepertinya akan sangat sulit menurunkan prevalensi di tahun 2024 jika kebijakannya masih menggunakan pola lama dengan kenaikan tarif cukai rokok yang eksesif.

“Cukai Rokok Naik = Pendapatan Negara Naik”

Kenaikan tarif cukai dapat meningkatkan penerimaan negara. Kampanye semacam itu selalu didengungkan oleh antirokok sebagai senjata melobi pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok.

Perlu diketahui bahwa instrumen pengendalian melalui kenaikan cukai otomatis dapat meningkatkan penerimaan, tidak mungkin linier. Jika tarif cukai dinaikan maka penerimaan ikut naik, tidak selalu begitu. Yang ada malah industri akan mencapai titik optimum, bahkan over capacity.

Titik optimum ini bisa dilihat dari PPh Badan, ada yang namanya backward bending, ibaratnya setiap orang sama-sama memiliki waktu 24 jam dalam sehari, namun kemampuan masing-masing orang berbeda.  Orang kaya tidak menghabiskan kerja kurang dari 8 jam sementara si miskin bekerja 8 jam atau lebih, tetapi hasil yang didapat jelas jauh berbeda.

Selain backward bending, menaikkan tarif cukai rokok terus menerus demi iming-iming meningkatkan penerimaan negara akan menyebabkan diminishing returns. Apa itu diminishing returns? Bahwa ketika input yang kita miliki melebihi kapasitas produksi dari input, maka return (pendapatan) kita akan semakin menurun.

Intinya, pemerintah seharusnya dalam menerapkan kebijakan terkait tarif cukai rokok tidak lagi mengacu kepada instrumen pengendalian. Sebab, instrumen pengendalian ini selain tidak efektif juga berimbas kepada menurunnya kinerja industri hasil tembakau (IHT). Sampai tiba pada waktunya satu-persatu akan bertumbangan.