rokok kelas II
OPINI

Negara Gigit Jari karena Melihat Fenomena Rokok Kelas 2 Menjamur di Kalangan Perokok

Negara gigit jari. Saya kira kalimat tersebut benar adanya melihat banyak rokok kelas 2 justru menjamur di kalangan perokok. Apalagi perokok bisa mudah membelinya di warung Madura dengan mudah. 

Bahkan, tidak hanya rokok kelas II melainkan juga rokok ilegal. Sudah penerimaan negara terancam mengulang seperti 2023 eh peredaran rokok ilegal tak kunjung menurun. Ini bukan lagi buah simalakama melainkan memang negara tidak kunjung tobat dengan pengambilan kebijakan.

Pilihan perokok untuk mengganti rokoknya dari rokok kelas premium ke kelas 2 adalah hak mereka. Ketersediaan di pasar menjadi alasan terbesar mengapa perokok melakukan hal tersebut. Pun begitu dengan kehadiran rokok ilegal. 

Apakah perokok melakukan kesalahan? Iya, karena rokok ilegal tidak bercukai. Artinya, perokok membuat rugi negara. Namun, apakah perokok sepenuhnya salah? Tunggu dulu. Negara semestinya ikut bertanggung jawab akan hal tersebut. 

Rokok Kelas 2 Menjadi Pegangan bagi Perokok saat Ini

Sebenarnya, tidak hanya di warung Madura bertebaran rokok kelas II melainkan juga toko kelontong atau bahkan di ritel. Naiknya cukai rokok yang eksesif menjadi penyebab mengapa mereka beralih ke rokok kelas 2. 

Akan tetapi, negara pusing. Sebab, rokok kelas II tidak berdampak signifikan terhadap penerimaan negara via cukai. Yang paling signifikan masih rokok kelas premium atau istilahnya SKM Golongan 1 seperti Djarum Super atau Sampoerna Mild

Tapi, apa boleh bikin. Wong sama-sama menghasilkan penerimaan untuk negara. Jadi, jangan salahkan perokok apabila mereka beralih melainkan negara perlu melakukan introspeksi diri. Apakah selama ini benar dalam membuat kebijakan cukai rokok? 

Jika kamu mau melihat tren terkini, semestinya ada yang keliru dalam pengelolaan kebijakan cukai rokok. Pasalnya, ada tiga kegagalannya. 

Pertama, naiknya cukai rokok ternyata tidak mampu mengendalikan konsumsi rokok. Kedua, kenaikan cukai tersebut malah menjadi ladang atau surga bagi produsen rokok ilegal. Ketiga, bukannya optimalisasi penerimaan negara namun justru sebaliknya, penerimaan negara via cukai menurun. 

Kebijakan Menaikkan Cukai Rokok Tidak Efektif

Kegagalan tersebut pun diamini oleh Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Novat Pugo Sambodo. Beliau mengatakan bahwa secara teori pengenaan tarif cukai ditujukan untuk mengurangi konsumsi rokok pada masyarakat. 

Akan tetapi, mengetahui fenomena penurunan penerimaan negara dari cukai rokok di tahun 2023, berarti kebijakan menaikkan cukai rokok justru tidak efektif. 

Selain itu, Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI), Haryo Kuncoro juga mengatakan bahwa inilah akibat dari kebijakan pemerintah yang selalu menaikkan cukai rokok sebanyak dua digit. 

Fenomena perokok berpindah ke harga lebih terjangkau, baik itu rokok kelas 2 atau bahkan rokok ilegal, tidak terhindarkan. Negara terkesan lambat untuk menangani hal tersebut meskipun telah hadir operasi gempur rokok ilegal. 

Apakah karena birokrasi yang membuat negara selalu lambat menangani peredaran rokok ilegal? Atau justru karena ada oknum-oknum di birokrasi yang bermain di wilayah tersebut sehingga menutup mata dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal?

Entahlah. Yang pasti, dalil apa pun itu, kenaikan cukai rokok akan berdampak kepada kenaikan rokok ilegal.