Kira-kira dua bulan yang lalu, kanal YouTube Bajak Ruang Bijak menayangkan podcast bersama Nina Samidi (Wakil Sekjen Komnas PT). Kemudian banyak clipper beredar di media sosial yang cukup ramai ditonton oleh netizen.
Tapi ada banyak sekali data maupun argumen misleading dalam podcast tersebut. Kalau mengenai PT HM. Sampoerna yang sahamnya kini mencapai 92% diakuisisi oleh Philip Morris International dan Bentoel diakuisisi oleh British American Tobacco sebesar 99,6%, itu memang tidak keliru.
Tapi kalau Nina melemparkan gosip bahwa Gudang Garam diakuisisi oleh Japan Tobacco sampai sekarang belum ada data yang membenarkan gosip itu.
Kekeliruan data berikutnya yang disampaikan Nina adalah mengenai impor tembakau. Katanya 60% Indonesia masih impor tembakau. Padahal dilansir dari Media Indonesia, kebutuhan tembakau nasional mencapai 315.000-340.000 ton per tahun.
Data BPS mengatakan impor tembakau di Indonesia mencapai 167.759,6 kg. Jadi setelah saya hitung-hitung Indonesia impor 0,049%-0,0532%.
Impor itu dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan pasar. Mengingat kebanyakan produksi tembakau nasional tinggi nikotin. Sementara kebutuhan pabrikan, sesuai dengan kebutuhan pasar yakni tembakau rendah nikotin (misalnya yg berjenis Virginia FC).
Lalu ada kesalahan berpikir lain dari Nina di mana ia sinis dengan penyumbang cukai terbesar, penyumbang penyakit terbesar iya, katanya begitu. Padahal fakta penyumbang cukai terbesar memang demikian.
Cukai rokok masih jadi penyumbang terbesar dibanding sektor lain, misal BUMN, cukai alkohol, tambang, dll. Data 2024 cukai Rokok menyumbang Rp216,9 triliun. Pun mengenai penyakit juga semuanya diklaim akibat rokok. Padahal belum tentu.
Kemudian kata mereka yang bayar cukai itu perokok. Hal itu memang tidak keliru, tapi secara teknis cukai rokok itu dibayar dulu oleh Industri. Semacam menalangi sebelum diedarkan ke konsumen. Jadi di mana enaknya, wong hal semacam ini itu kayak “perjudian”.
Makanya industri rokok itu ibarat BUMN yang sebenarnya. Karena yg paling mendapat keuntungan jelas negara. Cuma modal pita cukai tapi untung triliunan rupiah.
Saya coba menyimpulkan podcast itu adalah mencoba mengiring opini publik bahwa yang merokok itu cuma memperkaya kapitalis asing. Nggak nasionalis. Padahal Industri Hasil Tembakau masih didominasi oleh kretek, alias tembakau dan cengkehnya kebanyakan dari dalam negeri, yang buat orang orang sendiri, yang mengkonsumsi pun juga kebanyakan orang sendiri. Aneh sekali kalau Industri Hasil Tembakau dianggap tidak nasionalis!!
Dan karena mereka antirokok ini lah, harga rokok mahal. Dengan begitu kita yang merokok menjadi sulit untuk merokok. Lalu muncul rokok gelap (baca : rokok ilegal). Rokok yg seolah ‘tidak ada’. Berhubung ‘tidak ada’ itulah maka negara bisa merugi. Karena rokok ilegal tidak melekatkan pita cukai resmi.
Kerugian negara sekaligus kerugian konsumen karena rokok mahal itulah yang disebabkan oleh sesat pikir para antirokok. Korbannya bisa tripel: negara, kita yang merokok alias konsumen, dan industri kita dari hulu sampai hilir.
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin
BACA JUGA: Segini Pendapatan Negara dari Sebungkus Rokok (Dari Cukai dan Lain-lain), Tak Cuma 3%-4%








