Belum lama ini Hendri Satrio yang dikenal sebagai pengamat politik memberikan statement ngawur di acara Indonesia Lawyers Club. Awalnya ia menyinggung Purbaya yang beberapa waktu lalu sempat viral karena mengatakan, “Cukai rokok rata-rata 57%, tinggi amat. Fir’aun lu.”
Daftar Isi
ToggleHendri pun mengatakan bahwa tidak semua rokok mempunyai tarif 57%. Ia menyinggung besaran cukai yang diterima oleh Sigaret kretek Tangan (SKT) katanya cuma 3% atau 4%.
Menyoal kritikan Hendri kepada Purbaya itu saya sih biasa saya ya. Wajarnya memang pejabat publik itu ya dikritik. Tapi ketika mengatakan bahwa kretek tangan menyumbang 3% atau 4% itu jelas narasi yang menyesatkan.
Bagaimana mungkin cukai rokok yang rata-rata setiap tahun naik 10%, apalagi di era Jokowi cukai rokok sudah naik 100% lebih, kok bisa-bisanya bilang cuma menyumbang 3% atau 4% saja.
Sebagai pengamat politik tentu yang disampaikan Hendri itu ngawur bin asbun. Memang betul bahwa masing-masing rokok beserta golongannya berbeda-beda dalam menyumbang cukai. Untuk detailnya bisa lihat di sini.
Kalau di simak data itu tidak ada yang menunjukan angka 3% atau 4%. Bahkan perlu diketahui bersama bahwa setiap jenis rokok legal tidak hanya menyumbang cukai. Tapi turut menyumbang PPn dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Cara menghitung pendapatan negara dari sebungkus rokok (cukai dan lain-lain)
Kalau masih pada bingung, maka saya akan memaparkan berapa pendapatan yang diterima negara dari sebungkus rokok. Ambil contoh Djarum 76 Mangga Sigaret Kretek Tangan (SKT) Golongan 1 Isi 12 batang/bungkus. Harga Rp.18.675 (pita cukai 2025).
- Cukai rokok: Rp378 x 12 (batang) = Rp4.536
- PDRD: 2025: 10% cukai rokok = Rp453,6
- PPn Rokok 2025: 9,9% x Rp18.675 = Rp.1 848,8
(Total keuntungan yang diterima negara dari SKT Djarum 76 Mangga 12 batang: Rp6.838,4)
Melihat angka itu, praktis negara untung dari satu bungkus rokok nyaris 37%. Bukan 3% atau 4%, Pak Hendri!! Kalau 4% dari Rp18.675 berarti cuma Rp747 yang diterima negara!!
Lantas pabrik rokok dapat berapa? Ya tinggal kita hitung, Rp18.67-Rp6.838,4= Rp11.836,6. Tapi jangan berhenti di situ, karena angka itu belum termasuk subsidi.
Sebab, dalam case Djarum 76 Mangga yang saya beli di warung itu seharga Rp15.500. Kira-kira pabrikan mensubsidi konsumen sekitar 3 ribu sekian. Pun nominal yang diterima pabrik itu masih harus dipotong bahan baku (tembakau, cengkeh, dan rempah-rempah); bungkus, karyawan, distribusi, promosi, dll.
Pendapatan dari Kretek Mesin lebih gila lagi
Itu baru kretek tangan lho. Kalau mau melihat keuntungan negara dari kretek mesin lebih ganas lagi. Saya beri contoh SKM Gol. 1 Djarum Super 12 batang/bungkus harga Rp28.500 (di pita cukai).
- Cukai rokok: Ep1.231 x 12 batang = Rp14.772
- PDRD: 10% cukai rokok= Rp1.478
- PPn Rokok: HJE Rp28.500 x 9,9%= Rp2.822
(Total keuntungan yang diambil negara dari SKM Djarum Super 12 batang: Rp.19.072).
Sisa dari itu hitungannya masih sama. Untuk subsidi dan asih harus dipotong bahan baku (tembakau, cengkeh, dan rempah-rempah); bungkus, karyawan, distribusi, promosi, dll.
Sampai di sini sangat wajar ketika ratusan triliun bisa disumbang dari Industri Hasil Tembakau. Sampai di sini pula kita patut marah bagaimana negara memeras Industri Hasil Tembakau dengan ugal-ugalan tapi pelaku Industri dari hulu-hilir kerap didiskriminasi.
Jadi jangan pernah tanyakan apa yang Industri Hasil Tembakau berikan untuk negara, tapi tanyakan apa yang negara rampas dari Industri Hasil Tembakau!
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin









