merokok saat berhaji
PERTANIAN

Trik Membeli Rokok saat Berhaji di Tanah Suci

Trik Membeli Rokok di Tanah Suci saat BerhajiTahun 2017, alhamdulillah, saya diberi Allah kesempatan menjadi tamu-NYA. Dan kemudian saya ditunjuk menjadi ketua regu alias Karu. Secara hierarkis, Karu itu di bawah Karom (ketua rombongan). Karom di bawah ketua kloter.

Regu terdiri sekitar 10-an orang. Tapi waktu itu anggota regu saya 11 orang termasuk saya dan istri. Kenapa saya dipilih jadi ketua, sederhana saja. Saya yang paling muda, walau usia sudah hampir kepala 4.

Beberapa kali kami mengadakan pertemuan koordinasi atas saran Karom. Yang dibahas ya seputar giman-gimana nanti di sana. Saling mengingatkan bawaan-bawaan penting. Karena ketua, saya pun sering jadi tempat bertanya. Tapi wong saya juga belum pernah ke Tanah Suci, jadi jawabannya seringkali “mungkin” atau “nanti tak tanyakan.”

Pada rapat terakhir, ada seorang anggota, bapak-bapak sepuh, berbisik malu-malu kepada saya. “Mas, boleh bawa kretek ndak?”. Mak deg! Saya juga gelagapan. Si bapak ini ternyata perokok berat. Dan ternyata lima dari enam anggota regu (pria) adalah perokok. Cuma satu yang bukan. Dan itu juga bukan saya. Tapi sebagai pribadi maupun ketua, tak terlintas dalam pikiran saya tentang bagaimana membawa kretek.

Saya lalu buka buku panduan Karu, dan menelisik barang-barang terlarang. Alhamdulillah, rokok tidak termasuk dalam daftar. “Aman Mbah, pareng ngasta (aman Mbah, boleh membawa kretek),” jawab saya. Si bapak tertawa terkekeh.

“Kalau kehabisan, ada yang jual ndak ya Mas di sana?”

“Wah, ngapunten nggih, Mbah (wah, kurang tahu Mbah,)” jawab saya.

Untuk perjalanan haji reguler selama sekitar 40 hari, apa ya perlu membawa persediaan rokok untuk 40 hari? Kalau sehari sebungkus, berarti harus 40 bungkus. Ini jelas menyita tempat di koper besar.

Setelah pertemuan itu saya tanya sana, tanya sini, tentang merokok di Tanah Suci. Dan jawabannya, kebanyakan bilang, “Di sana tidak ada yang jualan rokok.” Masak iya sih tidak ada? Kan di sana banyak TKI, yang kemungkinan besar perokok. Terus dapat dari mana rokok mereka? Dengan asumsi itu akhirnya saya memutuskan membawa bekal rokok satu slop. “Bismillah, kalau cukup alhamdulillah, kalau tidak cukup, mbuh piye nanti.”

***
Penerbangan selama sembilan jam, benar-benar menjadi siksaan luar biasa bagi saya dan bapak-bapak anggota regu saya. Yup, karena kami harus menahan diri untuk tidak merokok. Mulut benar-benar asam. Saya lihat salah seorang bapak tampak stres.

“Pengin ngeses, Mbah?” pancing saya menghampiri tempat duduknya dalam penerbangan di ketinggian 30.000 feet.

“Iya Mas. Piye ki?”

“Tahan dulu, Mbah. Dipakai dzikir saja yang khusyuk.” Ia manggut-manggut.
Begitu pesawat mendarat sekitar jam 1 pagi, dan pemeriksaan keimigrasian tuntas, rombongan menuju ruang tunggu. Menanti awak bus mempersiapkan perjalanan kami ke Madinah. Ya, kami masuk dalam gelombang pertama, sehingga ke Madinah dulu. Di ruang tunggu, suasananya riuh rendah antara pengurusan koper, pengecekan jamaah, dan percakapan para kru bus.

Saya lirik sana lirik sini. Subhanallah, kok ya ndak ada yang merokok. Saya cari-cari ruang khusus merokok juga tidak ketemu. Sampai kemudian saya bertemu dengan seorang TKI anggota kru bus.

Setelah basa-basi, saya bertanya. “Mas di sini boleh merokok nggak?”

“Boleh, tapi di sana saja.” Ia menunjuk ke sebuah tempat yang agak temaram. Saya hampir melonjak kegirangan. Serta merta saya hampiri bapak-bapak anggota saya. “Pak, mari merokok.”

“Yang bener?”

Alhamdulillah, sebatang rokok yang kami sulut, meski dengan agak buru-buru – takut ketinggalan bus – rasanya benar-benar dahsyat. Bagaikan mendapat karomah. Wajah bapak-bapak itu tampak berseri-seri.

“Masih lama nunggunya ini Mas?” tanyanya.

“Kenapa Mbah? Belum puas merokoknya?”

“Alhamdulillah sudah puas, Mas. Makanya saya mau tahajud dulu, maturnuwun sama Gusti . Masih ada waktu nggak ya?” Saya tersenyum.

***
Di Madinah kami menjalani shalat Arbain (shalat 40 kali) di Nabawi. Selama “ritual” ini kami tidak boleh tertinggal satu takbir pun dari imam. Makanya jamaah berupaya seawal mungkin datang ke masjid. Ini tak ada hubungannya dengan ritual haji. Namun sebagai bentuk kebaikan Kemenag selaku operator haji reguler untuk “mendidik” jamaah agar terbiasa shalat di masjid, dan tidak masbuk (terlambat dari takbir pertama imam).

Setiap kali memasuki pintu utama masjid, tas para jamaah diperiksa petugas. Jika kedapatan membawa barang “terlarang” misalnya makanan, minuman, apalagi rokok, jamaah tidak boleh masuk. Tapi setelah hafal cara memeriksa mereka, hari ketiga saya datang dengan sebungkus kretek di saku saya. Tas diperiksa, saku diperiksa, aman. Saya masuk. Rokok tetap tenang di saku celana 2/3, tertutup sarung.

Keluar dari area masjid. Pussss… saya dan bapak-bapak anggota regu seperti kereta api uap. Pernah saya ditegur penduduk Madinah. “Indonesia bagus,” katanya. Ini kalimat standar yang diucapkan hampir setiap warga Madinah dan Mekkah jika bertemu jamaah Indonesia. Entah basa-basi atau memang jamaah Indonesia benar-benar bagus. Tapi kemudian dia memeragakan gaya merokok kami. “Tidak bagus.”
“Alahhh wis ben, Mas,” sahut anggota regu saya, berlalu dari sana.

***
Hari kelima, saya mulai gelisah. Persediaan rokok kian tipis. Apa yang akan terjadi nanti di Mekah? Anggota regu saya masih tenang-tenang karena ternyata persediaan mereka lumayan banyak. Banyak.

Selepas Subuhan, saya biasanya keluar keluar area masjid, cari kopi panas yang banyak dijual di kios-kios sekitar masjid. Secangkir plastik harganya 2 real (sekitar Rp 5 rb). Pusss puss.

Kami sudah tidak berombongan lagi. Mungkin karena merasa sudah nyaman, anggota regu saya pergi dan pulang sendiri-sendiri. Biasanya selesai ngopi dan merokok kami kembali ke masjid, menunggu Dhuha sambil tadarusan.

Tapi hari itu saya pengin kembali ke maktab. Saya mau mencuci pakaian-pakaian kotor saya. Di sini memang mau tidak mau kami harus mandiri. Tak tergantung istri, karena, meski dalam satu maktab, kamar kami berbeda ruangan, berbeda lantai. Maktab adalah pondokan. Rumah-rumah penduduk Madinah yang disewakan pada musim haji.

Dalam perjalanan menuju maktab, saya melewati sebuah area semacam parkiran. Di situ ada kios tenda payung, jualan kopi. Saya lihat beberapa jamaah haji dari Afrika (badannya item sih) sedang ngopi sambil ngobrol.

Mereka menyapa saya. “Indonesia !” lalu tertawa ramah. Tanpa melihat tas kalung yang berlogo merah putih pun pasti mereka tahu saya orang Indonesia. Mana ada bule kecil, sawo matang.

Saya tersenyum, memberi salam kepada mereka, dan mencoba terus berjalan.
“Soekarno, Habibie.” Salah seorang mengacungkan jempolnya. Entah kenapa saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka. “Coffee.. coffee,” katanya meminta saya minum kopi.

Saya pun menghampiri pedagang, orang Arab. Dan memberi isyarat meminta segelas kopi. Maklum, saya nggak bisa bahasa Arab. Saat pedagang membuatkan kopi, saya melihat sekeliling kios. Coba di Indonesia, batin saya. Pasti sudah ada 234 (baca: Jie Sam Soe). Huh! Di seantero warung itu sama sekali tidak ada rokok. Yang pada ngopi juga tidak ada yang merokok.

“Would you smoking?” saya mengeluarkan kretek saya. Mereka tertawa-tawa dan menggeleng. Alhamdulillah, batin saya. Tak berkurang rokok saya. Saya pun merokok sendiri.

Setelah dua tiga sedotan, muncul ide. Kenapa tidak iseng-iseng nanya ke pemilik kios, jual rokok nggak, atau di mana bisa beli rokok? Masa sih nggak ada sama sekali? Pasti adalah. Masa manusia sekota gak ada yang merokok. Kalau ada, pasti ada yang jual.

Saya menghampiri pemilik kios, lalu dengan bahasa Tarzan saya mengatakan, mau beli rokok. Ia menjawab dengan suara agak keras. “Laa…” ia kibas-kibaskan tangannya. Saya pun kembali duduk di kursi saya, meneruskan ngopi dan merokok.

Beberapa saat kemudian pemilik kios itu memberi kode saya untuk mendekat. Saya disuruh masuk ke dalam kiosnya. Ia lalu menunjuk-nunjuk sebuah laci di bagian bawah kios. Saya tak mengerti maksudnya, tapi saya menurut. Penasaran. Saya tarik laci itu, dan… gubrakkk!! ROKOK! Buanyak banget. Dia memberi isyarat agar saya diam.

Sayangnya dari sekian rokok itu semuanya asing bagi saya. Tak ada kretek, apalagi buatan Indonesia. Dua merek yang saya kenali adalah Lucky Strike dan Marlboro. Itupun bungkusnya bukan karton, melainkan kertas.

“How much?” saya bertanya. Ia memberi isyarat 10 real. Gila. Di Indonesia, waktu itu cuma Rp 7.500, di sini Rp 25.000. Tapi bagaimana lagi? Dari caranya menjual, ini masuk kategori pasar gelap. Saya menyimpulkan, jualan rokok merupakan kegiatan ilegal di Arab. Saya ambil 3 bungkus (artinya semua Marlboro saya angkut). Setidak-tidaknya saya akan punya simpanan walaupun bukan rokok yang biasanya. Nggak apa-apa. Saya makin tenang beribadah.

Saya tak berani cerita kepada teman-teman anggota regu saya. Takut ada apa-apa nanti. Tapi mereka heran, “Kok rokoknya ganti alus?”