CUKAI

Implementasi DBH-CHT Belum Memihak Kepentingan Industri Hasil Tembakau (IHT)

Alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau selama ini mengacu pada Peraturan menteri Keuangan (PMK), Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Bupati (Perbup). Sesuai ketentuan, DBH-CHT diperuntukkan untuk lima kegiatan, yaitu:

1. Kualitas Bahan Baku

2. Pembinaan Industri

3. Pembinaan lingkungan sosial

4. Sosialisasi ketentuan bidang cukai

5. Pemberantasan barang kena cukai

Tiga aturan di atas (PMK, Pergub, Perbup) turunan dari Undang-undang cukai. Pembagian dana cukai ke wilayah atau daerah hanya 2%, selebihnya (98%) masih di atas (kuasa anggaran). Dari 2 % di bagi menjadi tiga kelompok penerima, yaitu 30% untuk wilayah provinsi, 40% untuk wilayah kabupaten/kota penghasil dan 30% untuk daerah kabupaten/kota bukan penghasil.

Pembagian diatas, masih menyisakan persoalan, semisal pembagian 2% dari pusat ke daerah kabupaten/kota tidak dicantumkan rumusan pembagiannya, tidak seperti dana bagi hasil lainnya seperti dana bagi hasil pajak. Terkesan mana suka, begitupun 98% sisa pembagian tidak jelas penggunaannya untuk apa saja.

Pembagian 30% untuk provinsi itu sendiri jika ditelisik menjadi persoalan. Dimana provinsi tidak mempunyai wilayah tersendiri. Wilayah provinsi adalah wilayah kabupaten/kota. Memang kalau dilihat secara administratif, seakan-akan cakupan wilayah provinsi sangat luas dari pada wilayah kabupaten/kota. Namun, jika dilihat secara riil wilayah, sudah menjadi wilayah kabupaten/kota. Artinya provinsi pada dasarnya tidak mempunyai wilayah riil, namun pada aturan pengguna dana cukai mendapat bagian 30% tersendiri.

Seharusnya, bagian 30%, langsung di masukkan atau di tambahkan ke kabupaten/kota di wiliyah provinsi. Atau provinsi mendapat alokasi dana lebih kecil lagi. Kemudian,fungsi provinsi hanya memonitoring pelaksanaan di lapangan.

Kemudian, dari lima kegiatan atau program yang telah di atur, yang paling mendominasi dan terbesar rata-rata pengguna dan pelaksana dana bagi hasil di setiap wilayah adalah program pembinaan lingkungan sosial. Pada program ini, terjadi multi tafsir yang sangat liar dan sangat luas. Bahkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau ada yang dipergunakan untuk kampanye anti rokok.

Hal yang sangat tidak etis, uang dari hasil rokok di pergunakan untuk memerangi rokok, dalam hal ini rezim kesehatan yang mendominasi. Bahkan rezim kesehatan sudah membuat buku petunjuk teknis penggunaan DBH-CHT. Rezim kesehatan rupanya sudah mempersiapkan sebagai penerima/pengguna DBH-CHT.

Pada tahun 2013, laporan penelitian yang dilakukan Indonesia Berdikari, ada temuan yang mengejutkan. Pengguna dan pelaksana DBH-CHT pada program pembinaan lingkungan sosial, terbesar terserap oleh rezim kesehatan, yaitu untuk sosialisasi kampanye anti rokok, membangun sekolah kesehatan, pengadaan peralatan untuk kesehatan.

Dengan dalih kesehatan, tentunya semua orang (penikmat kretek) akan menerima walaupun dengan berat hati. Namun, pada program sosialisasi dan kampanye anti rokok, rezim kesehatan disinyalir tidak mempunyai etika atau tatakrama (dalam bahasa Jawa). Logikanya, kalau barangnya tidak mau seharusnya uangnya tidak mau. Kenyataan lain, rezim kesehatan mau menerima hasil rokok, tapi barangnya diperangi.

Belum lagi, di setiap provinsi/kabupaten/kota, program untuk pembinaan industri tidak ada sama sekali. Justru program yang ada melemahkan sektor IHT, salah satu contoh pemberia pelatihan untuk karyawan IHT, namun yang diberikan bukan pelatihan penunjang kebutuhan IHT, seperti pelatihan melinting rokok dengan baik dan cepat. Yang ada hanyalah pelatihan menjahit, pelatihan merias, pelatihan memasak dan lain sebagainya.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa alokasi DBH-CHT tidak memihak program penguatan IHT, yang ada justru melemahkan bahkan ingin mematikan IHT secara perlahan. Untuk itu para pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah yang bersinggungan langsung dengan DBH-CHT, agar membuat aturan lebih proposional dalam pengelolaan dan peruntukan DBH-CHT.