REVIEW

Nalar Hukum bagi Rokok dan Perokok

Disadur dan dikutipan dari uraian KH. Quraish Shihab dalam bukunya Dr. Ronald Hutapea berjudul “Why Rokok? Tembakau dan Peradaban Manusia”, bahwa Sebagian besar Ulama’ terdahulu, cenderung menilai rokok sebagai sesuatu yang mubah (boleh), dalam hal ini, para Ulama’ berpegang pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Attirmizy dan Ibnu Majah yang mengatakan:

“Yang halal apa yang dihalalkan oleh Allah, yang haram yang haramkam-Nya, dan ada pula hal-hal yang didiamkan-Nya—bukan karena lupa—tetapi karena kasih sayang-Nya, yang demikian adalah hal-hal yang dibolehkan”.

Hukum asal rokok itu boleh, bisa berubah menjadi wajib, haram, makruh, tergantung pelaku orangnya. Dalam kaidah usul fiqhnya berbunyi; “alhukmu yadurru ma’a illatihi wujudan wa adaman”(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya baik yang berwujud atau yang tidak wujud).

Seperti cerita KH. Sya’roni Ahmadi Kudus, bahwa almarhum KH. Turaichan Adjhuri saat sebagai ketua bahtul masail di Masjid Menara Kudus, memutuskan bagi almarhum KH. Hambali merokok hukumnya wajib, dengan alasan karena tanpa merokok kecerdasan dan kreativitas KH. Hambali saat mengajar tidak muncul.

Hambali pada dasarnya membutuhkan rokok supaya bisa konsentrasi dalam mengajar, artinya pikiran yang kreatif dan kecerdasannya keluar. Sama dengan orang butuh makan nasi dan minum, di saat bekerja, jika perut lapar atau kehausan, maka dipastikan orang tersebut tidak bakalan fokus dalam pekerjaannya.  Apalagi bagi orang yang punya tipikal tidak tahan lapar atau tidak tahan haus, maka pekerjaannya bisa hancur.

Menurut Dr. Sanusi Tambunan, haram atau dilarang keras merokok bagi orang yang telah terdeteksi pengidap penyakit Jantung. Alasannya, bagi pengidap penyakit jantung semua makanan yang dimakan harus dijaga dan dibatasi, tidak boleh makan makanan yang berlemak, tidak boleh merokok.  

Pelarangan keras merokok di atas, ditujukan bagi orang yang sudah terdeteksi mempunyai penyakit jantung, bukan rokok sebagai penyebab orang mempunyai penyakit jantung. Dianalogikan, bagi orang yang sudah terdeteksi mempunyai penyakit gula, maka dilarang keras (haram) mengkonsumsi gula. Juga bagi orang yang terdeteksi punya darah tinggi dilarang keras (haram) memakan daging.

Menurut KH. Fatkhur Rahman Kudus, rokok jadi makruh (dianjurkan untuk dihindari), bila uang yang dipakai membeli rokok adalah uang yang semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah.  Artinya, menggunakan uang yang tidak semestinya, dan uang tersebut tidak ada gantinya dengan uang yang lain, akibatnya ada hak orang lain yang terampas. Hal ini sebaiknya jangan dilakukan dan harus dihindari. Seperti halnya ada orang yang uangnya pas-pasan memilih membeli rokok dari pada membeli makanan. Hal tersebut tidak baik, walaupun mungkin bagi orang tersebut perasaannya lebih membutuhkan rokok dari pada makanan. Akan tetapi kebutuhan tubuh untuk kekuatan harus lebih di dahulukan dari pada memenuhi hasrat atau perasaan.

Pada dasarnya ada enam alasan pokok sebagai pegangan dasar ketetapan hukum rokok;

Pertama; tidak ada teks dalam al-Quran dan hadis secara tersurat ada larangan merokok atau rokok itu haram. Kalau pun ada orang yang mengharamkan rokok, itu hanyalah makna qiyasi (disamakan).  Ambil contoh, ada yang melarang rokok dengan memakai dalil hadis riwayat (diceritakan) oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari Ummu Salamah; bahwa Rasulullah (Nabi Muhammad) melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemaskan/menurunkan semangat.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah rokok bisa membuat mabuk? Atau membuat lemas bahkan bisa menurunkan semangat?. Tentu jawabannya tidak, justru sebaliknya, rokok tidak bisa membuat orang mabuk, rokok membuat orang jadi semangat, rokok membuat orang berkreasi.

Kedua; hukum haram rokok bisa hadir bila seseorang yang merokok (pelaku) benar-benar meyakini bahaya rokok pada dirinya.

Ketiga; rokok dianjurkan untuk ditinggalkan, jika uang yang digunakan membeli rokok adalah uang yang seharusnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti membayar sekolah anak, belanja bahan makanan keluarga.

Keempat; rokok sebagai sarana relaksasi dan rekreasi yang efektif dan efesien. Bagi petani atau masyarakat kecil lebih baik membeli rokok dari pada untuk bepergian dengan tujuan rekreasi. Dengan merokok mereka sudah merasakan kenikmatan duniawi dan bahkan menurutnya akal pikiran dapat kembali fresh. Tidak perlu mengeluarkan uang banyak, hanya butuh beberapa batang mereka bisa merasakan kenikmatan. Membeli rokok justru bukan sifat pemborosan, tetapi sebaliknya, lebih irit dibanding harus pergi tamasya.

Kelima; rokok barang legal, sehingga aktivitas merokok adalah boleh. Buktinya, keberadaan rokok diatur pemerintah tentang peredarannya, dan dipungut pajak. Yang selanjutnya pungutan pajak berupa cukai, hasilnya dirasakan masyarakat Indosesia

Keenam; keberadaan rokok, menyelamatkan hajat banyak orang, telebih ekonomi. Selain menjadi pemasukan uang kas Negara, keberadaan rokok membantu perekonomian terutama para buruh pabrik, petani tembakau dan cengkeh yang berjumlah ratusan ribu dan tersebar di suluruh wilayah Nusantara.