Ambiguitas Data Prevalensi Merokok
OPINI

Ambiguitas Data Prevalensi Merokok: Benarkah Kenaikan Cukai Rokok Dapat Menurunkan Prevalensi Perokok?

Ambiguitas data prevalensi merokok memang patut diperjelas. Apakah data itu memang benar adanya atau hanya propaganda semata.

Jelang pengumuman kebijakan tarif cukai rokok tahun depan, hembusan isu mengenai prevalensi atau jumlah perokok di Indonesia perlu diturunkan kembali gencar disuarakan. Isu prevalensi ini kemudian terus-menerus dipaksakan masuk sebagai pilar utama alasan pemerintah menerapkan kebijakan cukai yang eksesif, termasuk menaikkan tarif setinggi-tingginya setiap tahun.

Sejatinya prevalensi merokok pada anak maupun dewasa di Indonesia sudah turun drastis sejak beberapa tahun terakhir. Malah terjadi ambiguitas data yang disajikan dari pemerintah. Data Riskesdas menunjukkan prevalensi perokok usia 10 – 18 tahun pada 2013 sebesar 9,1%  turun menjadi 7,2% pada tahun 2018. 

Namun data BPS berkata lain, BPS menunjukkan bahwa angka prevalensi perokok anak sudah turun dari tahun 2018 sebesar 9,65% menjadi 3,81% di tahun 2020. Lalu untuk prevalensi perokok dewasa menurut BPS menurun dari 32.2% di 2018 menjadi 28.69% di 2020. Sementara data Riskesdas menunjukan di tahun 2013 jumlah prevalensi perokok dewasa adalah 29,3% dan tahun 2018 sudah turun menjadi 28,8%.

Perbedaan data yang disajikan ini membuat kita mempertanyakan validitas data mengenai prevalensi perokok anak maupun dewasa. Sehingga timbul pertanyaan, manakah data yang dijadikan acuan pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait rokok?

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti dari INDEF Institute for Development of Economics and Finance pernah mengatakan, pola lama yang diterapkan dalam kebijakan tarif cukai rokok yang eksesif dengan terus-menerus memasukan instrumen menurunkan prevalensi perokok haruslah diubah karena tidak efektif. Karena selama ini kenaikan tarif cukai justru menimbulkan multiplier effect terhadap nasib keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Prevalensi perokok hanyalah akal-akalan yang dipakai sebagai instrumen pengendalian tembakau dalam konteks kebijakan tarif cukai rokok. Apakah jika tarif cukai naik maka prevalensi akan menurun? Secara data resmi konsumen rokok legal memungkinkan terjadi penurunan, tapi bagaimana dengan konsumsi rokok ilegal? Apakah bisa dipetakan jumlahnya?

Hasil dari studi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi FEB Universitas Brawijaya menyebutkan bahwa Kenaikan harga rokok khususnya pada golongan II tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok karena konsumen rokok golongan II akan berpindah pada rokok ilegal. 

Adanya kenaikan harga rokok dapat menurunkan produksi rokok legal sebesar 1%, namun di sisi lain terjadi peningkatan volume peredaran rokok ilegal hingga 8% secara umum, dan hingga 50% khususnya pada SKM dan SPM golongan II.

Artinya, teori menaikkan tarif cukai rokok dapat menurunkan prevalensi perokok tidak memperhitungkan teori elastisitas perokok dalam mengonsumsi produk rokok, seperti mencari alternatif rokok yang lebih terjangkau atau bahkan beralih ke rokok ilegal. Dengan fenomena seperti ini maka dapat dipastikan negara akan kehilangan 2 hal: Pertama, penerima negara akan tergerus. Kedua, target menurunkan prevalensi perokok tidak tercapai.

Pemerintah seharusnya meninjau ulang argumentasi mengenai prevalensi perokok ini dalam konteks pengambilan kebijakan tarif cukai rokok. Sebab, argumentasi ini hanya berkutat pada teori dan angka, bukan pada fakta dan realita sosial yang terjadi di masyarakat. Padahal sejatinya kebijakan harus mengedepankan kepentingan publik. 

Publik yang dimaksud bukan hanya kelompok antirokok yang berkutat dalam hal menyodorkan data angka. Ada juga buruh tani, petani, buruh pabrik, pedagang retail, konsumen dan masyarakat umum yang hajat hidupnya bergantung di sektor IHT.


Ambiguitas data prevalensi merokok memang patut diperjelas. Baca Artikel Azami Muhammad lainnya.