logo boleh merokok putih 2

Kretek dalam Perekonomian Indonesia

kretek dalam perekonomian indonesia

Kretek dalam perekonomian Indonesia digambarkan dalam berbagai indikator.

Tak ada yang meragukan, industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia menempati kedudukan penting dan menonjol, baik dalam publisitas di ruang publik maupun dalam hal sumbangannya terhadap keuangan negara. Selama satu dasawarsa terakhir, nama para pengusaha industri rokok –sebagai pembeli terbesar produksi perkebunan tembakau– hampir tidak pernah absen dari peringkat puncak daftar pembayar pajak terbesar di Indonesia. Pada saat bersamaan, cukai rokok menunjukkan bahwa sub-sektor industri ini tidak pernah kalah bersinar dibanding sumbersumber lain penerimaan negara dari pajak.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan Republik Indonesia, melaporkan penerimaan negara dari cukai tembakau mencapai Rp 57,0 triliun pada tahun 2008. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibanding catatan tahun sebelumnya (2007) yang hanya Rp 43,54 triliun dan Rp 42,03 triliun pada tahun sebelumnya lagi (2006). Meskipun menetapkan sasaran pencapaian lebih rendah pada Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN) tahun 2010, sebesar Rp 55,9 triliun, pemerintah tetap menunjukkan harapan yang tinggi terhadap penerimaan dari cukai rokok atau tembakau.

Penyumbang cukai terbesar

Di antara sumber-sumber penerimaan lain dari sektor pajak, cukai tembakau terlihat sangat dominan. Laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI) menyebutkan 88% penerimaan cukai tembakau dalam APBN berasal dari enam perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang semuanya ada di Jawa (Barber et.al., 2008).

Pada tahun 2007, Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat porsi terbesar (86,38%) penerimaan pemerintah dari cukai rokok berasal dari delapan perusahaan produsen rokok kelas-I dengan volume produksi mencapai 173 miliar batang.

Penerimaan negara dari cukai tembakau yang besar itu, tidak lepas dari tingginya konsumsi tembakau di Indonesia yang berada di peringkat kelima negara-negara konsumen rokok terbesar dunia –setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang (Departemen Perindustrian, 2009). Jika dipisah menurut asalnya, bagian terbesar cukai tembakau dibayar oleh konsumen rokok kretek yang menyerap lebih dari 90% produksi rokok nasional. Departemen Perindustrian menyebutkan bahwa, pada tahun 2000, konsumen kretek menyumbang 89,3% dari total konsumsi rokok nasional. Angka tersebut bahkan naik menjadi 93% pada tahun 2009. Kenaikan itu seiring dengan penurunan angka konsumsi rokok putih dari 10,7% menjadi hanya 7,0% pada kurun yang sama.

Sementara sumbangan cukainya terhadap penerimaan negara terus mengesankan seperti itu, pertanian dan industri tembakau mampu memberikan penghidupan bagi jutaan tenaga kerja, yang mencari nafkah sepanjang matarantai produksi dan perdagangannya. Serad (2009) mencatat setidaknya ada 1,25 juta orang bekerja di ladang-ladang tembakau –titik awal mata-rantai nilai-tambah (value chain) industri kretek.

Di kebun-kebun cengkeh –titik-awal dan asal bahan-baku utama lainnya dari industri kretek– lebih banyak lagi tenaga kerja yang terserap, yakni tidak kurang dari 1,5 juta orang. Di luar ladang-ladang tembakau dan cengkeh, jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada industri ini jauh lebih banyak lagi. Menurut perkiraan Serad, sektor yang berhubungan secara tidak langsung dengan industri rokok digerakkan oleh 24,4 juta tenaga kerja, atau empat kali lipat dari jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam industri itu sendiri.

Dengan tambahan tenaga kerja pasca panen, industri rokok putih, juga sepanjang jalur distribusi dan ecerannya, maka jumlah keseluruhan tenaga kerja yang terserap di sektor industri rokok kretek adalah 30,5 juta orang!

Jumlah tersebut bukan angka sepele, karena merupakan kurang-lebih 25% dari total angkatan kerja nasional pada tahun 2009, atau sekitar 13% dari total penduduk Indonesia pada tahun yang sama. Dengan kata lain, industri rokok kretek memainkan peran yang sangat signifikan dalam penciptaan lapangan kerja bagi penduduk negeri ini. Selain itu, juga menjadi salah satu sektor perekonomian yang paling kuat bertahan dari terpaan krisis, terutama karena kecilnya pasokan bahan asupan (input) produksinya dari pasar internasional (Sumarno dan Kuncoro, circa 2003).

Pengguna bahan baku lokal

Secara teoritik, industri dengan muatan impor (import content) yang tinggi akan mengalami guncangan yang sangat keras pada saat terjadi goncangan ekonomi global. Ini terbukti ketika krisis ekonomi kawasan (Asia Timur dan Tenggara), pada paruh kedua 1990an, mengakibatkan kemerosotan nilai tukar rupiah anjlog sampai 800%. Banyak industri besar yang bermuatan bahan impor tinggi benar-benar goyah, bahkan sebagiannya ambruk. Apalagi, jika produk-produk industri bermuatan impor tinggi itu memang tidak mengalir ke pasar internasional dalam rangka menebus beban biaya pengadaan bahan asupannya dari luar negeri.

Hal yang sebaliknya terjadi pada industri kretek yang memang bermuatan impor sangat rendah, yakni hanya sekitar 4,0% saja dari keseluruhan bahan baku produksinya (Serad, 2009). Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan subsektor industri kretek (KBLI 16002) mencatat surplus ekspor jauh lebih besar dibanding defisit yang disebabkan oleh sub-sektor industri rokok putih (KBLI 16003). Berdasarkan pengelompokan (kategorisasi) dalam ‘Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri’ (KBLI), dapat diketahui bahwa defisit perdagangan tembakau berasal dari industri rokok putih yang mengimpor daun tembakau Virginia tanpa-tangkai (stemmed Virginia) sebagai bahan bakunya.

Meskipun hanya berselisih sedikit dalam jumlah barangnya, namun impor tembakau Virginia itu menyebabkan defisit yang besar, karena harganya hampir 50% lebih mahal dibanding harga ekspor tembakau Indonesia pada jumlah yang sama. Statistik ekspor-impor tahun 2001, misalnya, melaporkan Indonesia melakukan ekspor daun tembakau senilai US$ 91,4 juta, sementara mengimpor daun tembakau sebesar US$ 139,6 juta, sehingga terjadilah defisit sebesar US$ 48,2 juta.

Watak industri rokok, khususnya kretek, yang nisbi ‘kebal’ terhadap gejolak pasar internasional, menjadikannya lebih mampu meredam guncangan pada keseluruhan matarantai produksi dan pemasarannya, termasuk berbagai industri lain yang terkait, mulai dari hilir, misalnya saus dan bumbu tembakau untuk rokok (KBLI 16009) sampai ke hulunya, yakni pertanian tembakau itu sendiri (KBLI 16001).

Di luar kelompok industri dalam hubungan hulu — antara — hilir itu, industri tembakau juga mampu menjaga putaran produksi pertanian tembakau. Laporan Badan Pertanian & Pangan Dunia (FAO), yang terbit pada tahun 2002, menunjukkan tidak ada pergerakan signifikan pada luasan lahan maupun jumlah petani tembakau purna-waktu yang terjadi di Indonesia pada pertengahan 1990an ketika krisis ekonomi melanda negeri ini. Memperkuat laporan FAO, ‘Statistik Harga Produsen Sektor Pertanian dan Indeks Harga’ yang diterbitkan BPS, masing-masing pada tahun 2001 dan 2003, menandai adanya insentif produksi pertanian tembakau berupa kenaikan harga jual rata-rata daun tembakau pada saat maupun setelah krisis ekonomi tahun 1997. Diawali dengan kenaikan tipis dari Rp 4.096 per kilogram pada tahun 1997 menjadi Rp 4.295 pada tahun berikutnya, harga rata-rata per kilogram daun tembakau melonjak menjadi Rp 7.152 pada tahun 1999 dan naik lagi menjadi Rp 12.990 pada tahun 2000.

grafik data penjualan tembakau

Grafik harga jual rata-rata daun tembakau tersebut sangat mirip dengan grafik produktifitas lahan pada waktu yang sama yang dipantau oleh FAO maupun Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Mungkin disebabkan oleh kenaikan harga asupan pupuk dan pestisida yang tidak terjangkau oleh sebagian petani, produktivitas rata-rata lahan tembakau per hektar sempat turun sedikit, dari 6,24 kuintal pada tahun 1997 menjadi 6,21 kuintal pada tahun berikutnya. Setahun kemudian, produktifitas lahan tembakau melejit melampaui 8 kuintal per hektar dan tidak pernah turun lagi ke bawah titik itu pada tahun-tahun berikutnya.

Penampung ajeg tenaga kerja

Harga jual yang menguntungkan, ditambah produktivitas lahan yang makin tinggi, menandakan terbukanya ruang perbaikan kesejahteraan dan keuntungan dari pertanian tembakau. Kedua faktor itu mengikat tenaga kerja pertanian tembakau dari tarikan kesempatan kerja di bidang lain. Meskipun, secara internasional, luas lahan tembakau makin sempit dibanding total luas lahan pertanian tanaman semusim sejak 1990an, kecenderungan penurunannya di Indonesia tidak terlampau besar. Pada beberapa tahun sejak 2001, proposinya justru sempat naik. Pada saat yang sama mobilitas tenaga kerja dari sektor pertanian tembakau ke pertanian lain, maupun ke industri dan jasa lainnya, terjadi sangat lambat. Direktorat Bina Produksi Perkebunan (2003) melaporkan terjadinya lonjakan tajam jumlah pekerja pertanian tembakau pada tahun 2001. Pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja sektor pertanian justru turun. Artinya, lapangan pekerjaan pertanian tembakau memiliki daya tarik yang lebih kuat dibanding lapangan pekerjaan di sektor lainnya, termasuk di sektor pertanian sendiri.

Daya serap tenaga kerja pertanian tembakau yang nisbi stabil itu menandakan beberapa hal. Pertama, pertanian tembakau masih menjadi pilihan bagi tenaga kerja di antara pekerjaan pertanian yang lain pada musim yang sama. Upah tenaga kerja pertanian tembakau memang tidak cukup kompetitif dibanding upah tenaga kerja industri pada sektor-sektor tertentu seperti industri tekstil atau garmen. Namun, selisih upah di pertanian tembakau lebih kecil jika dibandingkan dengan upah minimum di sektor lainnya. Kajian oleh Ahsan dan Prayogo (2008) memperlihatkan data dari Tobacco Control Support Center (TCSC) yang menyebutkan upah rata-rata tenaga kerja perempuan di pertanian tembakau adalah Rp 14,009 per hari, atau sekitar 80% dari upah tenaga kerja laki-laki yang mencapai Rp 17.438 per hari.

Data BPS (2005) menyebutkan bahwa upah rata-rata per hari tenaga kerja pertanian tembakau lebih rendah dibanding upah tenaga kerja di perkebunan kopi, teh, kelapa sawit dan tebu. Secara teoritik, keadaan ini akan mendorong migrasi tenaga kerja dari pertanian tembakau ke sektor-sektor lain yang berupah lebih baik tersebut. Namun mengingat tembakau adalah tanaman semusim, pekerjaan di perkebunan tembakau dianggap masih menguntungkan dibanding kegiatan budidaya tanaman semusim lainnya. Harga jual tembakau yang lebih tinggi dibanding tanaman semusim lainnya, tampaknya memberikan harapan terhadap upah yang lebih memuaskan, meskipun lebih kecil dalam angka mutlaknya.

Kedua, pertanian tembakau tidak mengalami mekanisasi secara cepat yang biasanya menurunkan permintaan terhadap tenaga kerja. Berdasar data FAO, kebutuhan tenaga kerja pertanian tembakau tidak berubah sejak 1990-2002. Perhitungan kebutuhan tenaga kerja pertanian tembakau sepanjang masa itu menghasilkan angka kebutuhan tenaga kerja setara purna-waktu (full time equivalent, FTE) sebesar 254 FTE untuk satu hektar lahan selama 4 bulan (100 hari) efektif. Pengecualian yang mencolok hanya terjadi pada tahun 1993, dengan angka 627,9 FTE, ketika lahan tembakau menyempit secara drastis menjadi hanya 67.932 hektar dari 166.847 hektar pada 1992.

Mekanisasi pada pertanian tembakau tetap berlangsung lambat ditandai oleh angka FTE yang tidak banyak bergeser. Keadaan ini memungkinkan pertanian tembakau menampung tenaga kerja dalam proporsi yang stabil terhadap luas lahan yang digunakan setiap musim. Sekalipun upah rata-rata pertanian tembakau lebih rendah dibanding yang ditawarkan sektor lain, lapangan pekerjaan yang ditawarkan tetap memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja secara agregat.

Penyanggah pasar dalam negeri

Pertanian tembakau Indonesia tidak dapat dipisahkan dari industri kretek sebagai sektor hilir yang menyerap hampir seluruh produksi pertanian tembakau. Rantai produksi dalam industri tembakau menunjukkan hanya batang dan biji tembakau yang tidak sampai ke industri kretek. Batang tembakau menjadi kayu api yang nisbi tidak bernilai ekonomis, sedangkan biji tembakau akan sampai ke persemaian untuk menjadi bibit yang diperjualbelikan di musim tanam berikutnya. Daun tembakau, dengan maupun tanpa tulang daun, akan bermuara pada berbagai jenis rokok: rokok putih, kretek, cerutu, klobot (kretek tradisional menggunakan daun jagung kering sebagai gulungan batangnya), klembak menyan (ragam lain dari klobot, menggunakan kemenyan sebagai campuran tembakaunya), atau tembakau iris (lihat bagan-arus di halaman berikutnya).

Pasar industri rokok adalah pasar oligopolis (Sumarno dan Kuncoro, circa 2003). Berdasar data yang dikumpulkan oleh Departemen Perindustrian dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, industri hasil tembakau di sektor hilir diisi oleh ribuan pabrik rokok dari besar sampai kecil. Dari pabrik-pabrik itulah dihasilkan ratusan miliar batang rokok, kretek maupun putih, dengan mesin maupun tangan. Departemen Perindustrian mencatat bahwa rasio konsentrasi industri rokok pada 8 perusahaan terbesar (CR8 –CR = concentration ratio) tahun 2008 adalah 75%. Artinya, pada tahun itu terdapat 8 perusahaan utama dalam industri rokok Indonesia menguasai 75% pasar.

Angka CR8 pada tahun 2008 itu lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dari olahan data urut-waktu (time series) terbitan BPS, Sumarno dan Kuncoro (2003) menemukan bahwa angka CR8 itu cenderung menurun sejak pertengahan 1990an. Dari angka CR8 sebesar 91,74% pada tahun 1996, penguasaan 8 perusahaan rokok terbesar menurun hingga 88,12% pada 1999. Kecenderungan CR8 yang menurun ini terus berlangsung hingga tahun 2008 menjadi 75% saja. Penurunan angka CR8 itu menunjukkan bahwa perimbangan kekuatan antara 8 perusahaan utama dalam industri rokok Indonesia ini terus bergeser. Meskipun begitu –karena perusahaan-perusahaan yang memimpin industri masih menguasai pangsa pasar jauh di atas 40%– struktur pasar rokok Indonesia tetap berciri oligopolis dengan tingkat konsentrasi tinggi.

Bagaimana dengan perimbangan penguasaan pasar di antara 8 perusahaan rokok utama itu?

pohon industri tembaku

Data Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) memperlihatkan dominasi 4 perusahaan rokok yang menguasai lebih dari 70% pasar. Sepanjang paruh kedua dasawarsa 1990an, PT HM Sampoerna Tbk, PT Djarum Kudus, PT Bentoel Utama, dan PT Gudang Garam Tbk, menguasai 77,5% pasar. Meskipun demikian, beriringan dengan rasio konsentrasi CR8 pada rentang waktu yang sama, angka CR4 (rasio konsentrasi pada 4 perusahaan terbesar) juga cenderung menurun.

Kajian yang dilakukan oleh Muslim dan Wardhani (2008), untuk data tahun 2001-2005, menunjukkan kecenderungan penurunan rasio konsentrasi industri rokok tidaklah mulus, melainkan mirip roller coaster (lihat grafik di halaman berikutnya). Grafik rasio konsentrasi CR4 yang dihitung oleh Sumarno dan Kuncoro (2003) dan Muslim dan Wardhani (2008) tetap menunjukkan industri rokok tetap berciri oligolopis dengan konsentrasi tinggi. Perubahan angka CR4 pada grafik tersebut disebabkan oleh pergerakan penguasaan pasar oleh 4 perusahaan utama terhadap total pasar industri. Adapun pergerakan penguasaan pasar berubah karena dinamika yang terjadi pada angka-angka produksi 4 perusahaan utama itu, volume total produksi industri, jumlah perusahaan dalam industri, dan serapan konsumen terhadap masing-masing produk rokok.

rokok grafik

Keuntungan empat perusahaan utama sejajar dengan rasio konsentrasi CR4, berdasar temuan Sumarno dan Kuncoro (2003), sehingga –pada tahun 2001– keuntungan industri tersebar dengan lebih baik di antara seluruh perusahaan tersebut. Ini adalah sebaran keuntungan paling merata dalam periode 1996-2005, meskipun tidak mengubah ciri industri yang oligopolis. Pada tahun berikutnya, keuntungan industri kembali mengerucut pada 4 perusahaan utama sebagaimana diindikasikan oleh kenaikan CR4.

Secara alamiah, industri rokok Indonesia yang berstruktur oligopolis tidak akan mudah dimasuki oleh pelaku baru. Hambatan untuk masuk ke dalamnya (entry barrier) yang besar menyebabkan pelaku-pelaku industri yang baru memilih akuisisi melalui pasar modal atau pengambil-alihan perusahaan yang dimiliki secara terbatas. Masuknya Philip Morris dan BAT ke pasar rokok Indonesia –melalui pembelian saham mayoritas PT HM Sampoerna Tbk dan PT Bentoel International Investama Tbk– beberapa tahun lalu, adalah salah satu contoh yang nyata. Dengan mengambil-alih 40% saham HM Sampoerna, Philip Morris mendapatkan keuntungan dari penguasaan pasar rokok kretek yang besar. Data Jardin Fleming, Euromonitor, dan Bird, yang dikutip Barber et.al. (2008) menyebutkan bahwa Philip Morris menguasai 15% pangsa pasar rokok Indonesia pada tahun 2005. Pangsa tersebut didapat Philip Morris melalui kepemilikan mayoritas saham PT HM Sampoerna Tbk sejak 2004.

Pemicu produksi petani

Struktur oligopolis dengan konsentrasi tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh angka CR4 dan CR8, menyebabkan peta industri rokok tidak banyak berubah, terutama pada empat dan delapan perusahaan pemimpin pasar. Konsekuensi dari kemapanan dalam peta tersebut adalah produksi tembakau petani tidak memiliki pasar alternatif yang signifikan di luar pabrik-pabrik rokok skala besar. Dalam hubungan ini, permintaan pabrik-pabrik rokok terhadap tembakau tidak semata ditentukan oleh volume, tetapi juga oleh jenis rokok yang diproduksi.

Menurut perhitungan Achmad dan Mukani (2001), kebutuhan tembakau untuk sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek tangan (SKT) masing-masing adalah 0,7 gram dan 1 gram per batang. Dengan rasio tersebut, kebutuhan tembakau untuk memproduksi rokok kretek terus meningkat sejak 2005 sampai 2008. Jika kebutuhan tembakau rata-rata per batang rokok adalah 0,9 gram, selama 2004 sampai 2008 terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 4,2%. Ini berarti, pada tahun 2004, dibutuhkan tidak kurang dari 183.894 ton tembakau.

Empat tahun kemudian, angka kebutuhan tembakau itu tidak kurang dari 216.000 ton. Penting untuk dicatat, perkiraan itu belum memperhitungkan produksi rokok klembak menyan dan klobot yang membutuhkan lebih dari 1,1 gram tembakau per batang. Angka kebutuhan tembakau tersebut tidak berhubungan dengan produksi tembakau untuk masing-masing tahun yang sesuai. Selisih antara kebutuhan nyata tembakau dan produksi per tahun disebabkan oleh adanya tenggang waktu antara masa panen dengan masa penggunaan tembakau dalam industri rokok.

Impor daun tembakau yang dilakukan setiap tahun – khususnya jenis stemmed Virginia– disebabkan oleh kesenjangan antara produksi dalam negeri dengan kebutuhan produksi rokok putih yang merupakan muara paling dalam dari rantai produksi industri tembakau di Indonesia.


Tulisan ini ditulis oleh Wahyu W.Basjir dan diambil dari bukukretek.com, Kretek Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis