sri mulyani industri hasil tembakau
OPINI

Sederet Dosa Sri Mulyani pada Industri Hasil Tembakau

Bapak dan eyang kakung adalah orang-orang yang tidak pernah menuntut saya untuk menjadi anak pintar. Pandai itu baik adanya, tetapi baik ke semua orang lebih penting. Apa guna pandai jika malah abai, bahkan memanfaatkan, kesulitan orang lain. Seperti Sri Mulyani yang super pintar itu, yang malah memanfaatkan kesulitan semua entitas, yang hidup dalam lingkaran Industri Hasil Tembakau (IHT).

Saya beruntung pernah berkunjung ke Temanggung, Kudus, dan Bali Utara untuk keperluan penelitian dan penulisan buku. Temanggung dan Kudus adalah “pusat peradaban” tembakau dan kretek di Jawa tengah. Sementara itu, Bali Utara, tepatnya di Desa Munduk, adalah salah satu sentra penanaman cengkeh.

Dan, di 3 daerah itu, saya banyak mengobrol dengan petani tembakau dan petani cengkeh. Dari hasil obrolan saya, petuah bapak dan eyang kakung waktu kecil muncul membayang: menjadi orang pintar itu baik adanya, tapi kamu tidak boleh menjadi bajingan dan jahat ke orang lain.

Dosa Sri Mulyani kepada industri hasil tembakau

Jika membicarakan Sri Mulyani, kejahatan cukai adalah yang pertama saya ingat. Pada 2023 dan 2024, melalui Kementerian Keuangan, Sri Mulyani menaikkan cukai rokok sebesar 10%. 

Kebijakan cukai rokok naik 2 kali dalam 2 tahun ini menjadi petaka bagi Industri Hasil Tembakau. Banyak orang mungkin akan membayangkan pabrik rokok pasti menderita. Namun, yang lebih menderita, DAN SELALU MENJADI KORBAN ADALAH RAKYAT KECIL. 

Pertama, pabrik kudu mengurangi cost dan salah satu yang paling logis adalah PHK. Buruh, yang sebetulnya roda sebuah industri, menjadi TUMBAL. Kedua, petani tembakau menjadi tidak berdaya ketika hasil panen tidak terserap karena pabrik mengurangi jumlah produksi. Apakah penderitaan seperti ini pernah masuk dalam kalkulasi kertas kerja Sri Mulyani? Saya yakin masuk karena dia orang pintar. 

Akan tetapi, saking pintarnya, dia menepikan risiko sosial yang dirasakan rakyat kecil seperti petani tembakau dan cengkeh. Rakyat kecil, adalah sederet manusia di level bawah yang tidak kelihatan oleh mata-mata lentik para pembuat kebijakan. Rakyat kecil hanya seonggok daging yang siap ditumbalkan negara. Sudah, sampai di situ saja role para rakyat kecil di kaca mata Sri Mulyani.

Dan, celakanya, dampak dari kebijakan jahat Sri Mulyani muncul secara instan. Silakan periksa data yang muncul pada Januari dan Februari 2023. Produksi rokok mulai menurun sebesar 1,52%. Menyusul kemudian, rokok dengan golongan I menurun sebesar 15,3%. Sudah begitu, produksi rokok ilegal konsisten menanjak.

Petani tembakau yang dibiarkan menggelepar mati

Bersama Magelang dan Purwokerto, Temanggung adalah daerah favorit saya. Bahkan saya pernah membayangkan akan menghabiskan masa tua di sana. Oleh sebab itu, ketika mendapatkan kesempatan spesial untuk mengobrol dengan petani tembakau di Temanggung, saya bungah sekali.

Saya membayangkan akan mendapatkan cerita-cerita indah tentang kehidupan petani tembakau yang bersahaja dan sejahtera. Namun, yang justru saya serap adalah curahan hati dari para petani, yang selalu gagal menggedor hati nurani para penguasa di Nusantara ini.

Saya ingin mengajak pembaca membayangkan sesuatu. Jadi, luasan lahan tembakau di Temanggung pernah mencapai 15.000 hektar. Namun, pada Juli 2023, menyusut menjadi 11.800 hektar. Menurunnya jumlah luasan lahan tembakau artinya menurun juga produksi. Akhirnya, petani tidak lagi menikmati Industri Hasil Tembakau seperti sebelumnya.

Jika pendapatan dari hasil panen menurun, artinya daya beli petani juga turun. Padahal, mereka harus mengalokasikan pendapatan untuk membeli berbagai kelengkapan produksi. Misalnya, pupuk, memperbarui tools pertanian, dan menyewa tenaga buruh. Jika modalnya turun, petani juga jadi enggan menyewa tenaga buruh. Jadi, dari pabrik, ke petani, lalu buruh, semuanya menjadi korban Sri Mulyani.

Dan sampai di sini saya belum berbicara soal dampak cukai secara langsung. Mari membuat hitungan sederhana. 

Dari sebatang rokok, negara “memalak” kurang lebih 60% dari harga. Sebesar 40% masuk pabrik. Apakah untuk pabrik saja? Ya jelas tidak. Angka 40% itu juga termasuk membeli tembakau petani, cengkeh petani, membayar buruh, dan produksi rokok. 

Semakin tinggi tarif cukai, harga rokok semakin mahal. Otomatis, perokok beralih ke rokok-rokok golongan bawah. Jika penjualan rokok golongan bawah meningkat, serapan tembakau premium petani turun. Sudah begitu, harga cengkeh pasti anjlok.

Yang terjadi? Ya benar, semuanya menjadi tumbal. Sri Mulyani dan negara mengisap darah uang dari rokok, tetapi yang memproduksi dengan hati dibiarkan menggelepar mati.

Ironi petani cengkeh

Dulu, cengkeh pernah menyandang status “emas hitam”. Petani cengkeh hidup sejahtera, dan para buruh di lingkungan industri cengkeh ikut berbahagia. Namun, kondisi mereka berubah setelah cukai rokok konsisten naik di bawah asuhan Sri Mulyani yang seperti benci betul sama Industri Hasil Tembakau, kecuali cukai alias duit.

Jadi, suatu sore di Bali Utara, terjadi sebuah kelucuan yang ironis. Begini ceritanya.

Sore itu, bersama tim, kami jalan kaki untuk mengakrabkan diri dengan warga lokal. Saya yang asyik berjalan sampai di sebuah rumah petani cengkeh. Di depan rumah, ada seorang ibu yang sedang menyapu halaman bertanah yang kecil itu. Begitu mata kami bertemu, saya mencoba tersenyum seramah mungkin sampai mengucap salam. 

Namun, sikap si ibu sungguh aneh. Dia seperti ketakutan, lalu bilang begini: “Ndak ada! Saya hari ini ndak ada! Besok saja kembali ke sini!” Setelah bilang begitu, si ibu ngacir masuk ke rumah dan saya diam membatu.

Salah satu pemandu kami menjelaskan bahwa si ibu tadi salah mengira saya sebagai juru tagih rentenir alias debt collector. Sontak rombongan kami tertawa terbahak-bahak. Saya ikut tertawa, lalu terdiam, karena penasaran.

Lebih lanjut, si ibu terpaksa berutang kepada rentenir karena hasil panen cengkeh yang tidak terserap pasar seperti dulu sejak cukai konsisten naik. Petani cengkeh, yang dulu sejahtera, kini ada yang malah terjerat lingkaran setan rentenir. Apakah fakta sosial rakyat kecil seperti ini masuk ke dalam hitungan matematis nan akurat dari Sri Mulyani?

Lebih baik bodoh, tapi tidak membodohi orang lain

Mendengar curahan hati para petani, para penggerak Industri Hasil Tembakau, selalu sukses mengembalikan ingatan saya ke sebuah obrolan dengan bapak dan eyang kakung. Menjadi pintar itu boleh, tapi baik ke semua orang jauh lebih penting. Sebaik-baiknya “orang baik” adalah orang yang tidak memanfaatkan kesusahan orang lain untuk keuntungan sendiri.

Sri Mulyani adalah aset bangsa yang kepintarannya menembus angkasa. Saya dan pembaca tidak mungkin membantahnya. 

Sri Mulyani pandai menghitung dan membuat negara (seharusnya) untung. Namun, apa guna untung, kalau si ibu mengikat kaki petani dengan pasung.

Apa guna menjadi orang pintar, jika ego Sri Mulyani selalu lapar. Lebih baik menjadi manusia bodoh, tetapi tidak merusak orang lain dan membuat ekonomi mereka roboh.

Ingat, Sri Mulyani adalah orang pintar dan berkuasa. Karena kalau tidak pintar dan memegang kuasa, kamu tidak mungkin bisa “menjual negara”.