Alasan Saya Memilih Rokok Kretek daripada Rokok Putih apalagi Elektrik

Rokok kretek membuat saya menemukan identitas diri Boleh Merokok

Saya masih ingat betul momen pertama saya mengenal aroma tembakau asli (dalam sebatang rokok kretek). Itu sore yang tenang di teras rumah kakek di Temanggung. Udara pegunungan masih bersih dari hiruk-pikuk modernitas.

Di tangan kirinya, kakek memegang segelas kopi tubruk, sementara tangan kanannya sibuk menggulung sendiri rokok kretek—tembakau rajang halus yang dicampur cengkeh, digulung dengan kertas putih kecokelatan.

Saya duduk di sampingnya, penasaran. Belum tahu apa-apa soal dunia perokokan, tapi saya tahu: ada sesuatu yang istimewa dari cara kakek memperlakukan rokoknya. Seperti ritual kecil. Penuh penghormatan.

Bertahun-tahun setelahnya, ketika usia dan pengalaman membawa saya mencicipi rokok putih dan mencoba rokok elektrik, saya sadar satu hal: tak ada yang bisa menggantikan pengalaman merokok rokok kretek.

Rokok Putih: Dingin dan Seragam

Rokok putih terasa hambar, dingin, dan seragam. Rasanya seperti produk pabrik yang dibuat tergesa-gesa, tanpa jiwa.

Di balik bungkusnya yang elegan dan iklannya yang global, saya justru merasa seperti sedang menyerahkan pengalaman pribadi saya pada sistem yang tak peduli siapa saya.

Sebagai perbandingan, rokok putih adalah ekspor dari budaya Barat. Tidak ada aroma cengkeh, cita rasa lokal, atau akar. Tak heran, ketika mulai mengonsumsi rokok putih, saya merasa kehilangan arah.

Rokok Elektrik: Futuristik tapi Kosong

Saya pernah mencoba rokok elektrik. Dalam banyak hal, ia mengusung janji modern: tanpa bau, tanpa abu, dan konon lebih “sehat”.

Tapi saya merasa justru semakin jauh dari makna sebenarnya merokok. Asapnya terlalu ringan, rasanya artifisial. Dan yang paling mencolok: tidak ada jejak petani.

Tak ada ladang, musim panen, atau keringat buruh gudang. Rokok elektrik adalah puncak dari industrialisasi tanpa hati. Hanya perangkat, bukan pengalaman. Hanya teknologi, tanpa tradisi.

Rokok Kretek: Warisan Budaya dan Simbol Perlawanan

Rokok kretek berbeda. Ia punya karakter. Setiap lintingannya menyimpan cerita panjang dari ladang-ladang tembakau di Temanggung, Wonosobo, atau Madura.

Ada jejak tangan-tangan petani, napas budaya, hingga sejarah bangsa dalam setiap sebatang rokok kretek. Karena kretek bukan sekadar rokok. Ia adalah warisan.

Sedikit yang tahu, kretek adalah satu-satunya jenis rokok yang benar-benar lahir dari bumi Indonesia. Ia ditemukan oleh Haji Jamahri di Kudus sekitar tahun 1880-an. Diciptakan bukan sebagai produk industri, melainkan sebagai ramuan pengobatan dada sesak—menggabungkan tembakau dan cengkeh.

Sejak saat itu, kretek tumbuh sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi produk Barat, terutama rokok putih buatan perusahaan multinasional.

Lingkaran Ekonomi: Dari Petani Hingga Pekerja Pabrik

Saya memilih kretek juga karena saya tahu: di balik sebatang kretek, ada hidup yang digerakkan. Industri Hasil Tembakau (IHT), terutama kretek tangan, menyerap jutaan tenaga kerja di Indonesia—mulai dari petani, pengolah, hingga buruh linting.

Data dari Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) menyebutkan bahwa, sektor ini melibatkan sekitar 6 juta orang dalam rantai produksinya.

Lebih dari itu, sebagian besar pelinting kretek adalah perempuan, dan bagi mereka, pekerjaan ini bukan sekadar ladang penghasilan, tapi juga ruang berkumpul dan berbagi peran domestik.

Di tengah ancaman otomatisasi dan produk-produk pengganti, kretek tangan adalah simbol ketahanan ekonomi rakyat kecil.

Kontribusi Pajak: Tak Terlihat tapi Nyata

Sering kali kita dengar kampanye antirokok menekankan sisi negatifnya. Tapi mari juga kita buka mata pada faktanya: sektor kretek menyumbang lebih dari Rp200 triliun per tahun untuk penerimaan negara melalui cukai. Itu belum termasuk pajak-pajak lainnya.

Artinya, ketika saya membeli sebatang kretek, saya sedang ikut menyumbang pada pendidikan, kesehatan, dan pembangunan negara. Meskipun ironisnya, negara sendiri kadang enggan mengakui jasa para pelaku industri ini.

 Menemukan identitas dari rokok kretek

Saya tidak sedang mengajak siapa pun untuk merokok. Saya hanya sedang jujur: kalau pun saya merokok, saya ingin melakukannya dengan penuh kesadaran. Dan bagi saya, itu berarti memilih kretek.

Karena di balik sebatang kretek, saya menemukan identitas. Saya menemukan rumah. Saya menemukan cerita yang terus ingin saya tuliskan.

Sebatang kretek adalah puisi tembakau. Dan saya, sebagai penulis, tahu betul betapa pentingnya menghargai puisi-puisi yang lahir dari tanah sendiri.

Penulis: Bayu Adhi laksono

Editor: Komite Nasional Pelestarian Kretek

BACA JUGA: Asap Harum Tembakau Garangan: Kisah Petani Wonosobo Menjaga Warisan Leluhur

 

 

Artikel Lain Posts

Paling Populer