Minggu siang, saya mendapatkan kesempatan untuk mengawal istri dan anak-anak ke Bantul. Acaranya adalah pengajian rutin. Kalau tidak salah ingat, acara ini digelar setiap dua bulan sekali. Acara yang seperti biasa pada umumnya, tetapi ada yang tidak biasa pada siang itu. Rokok Divine menjadi pembedanya.
Namanya Lutfi. Usianya tidak begitu jauh dari saya. Hanya beda 4-5 tahun saja. Beliau lebih tua daripada saya, tentu saja. Saat saya menemui di rumahnya, ia sedang mengisap sebatang rokok.
Lalu, ia mempersilakan saya untuk duduk. Sementara anak-anak saya dan istri masuk ke dalam untuk ikut pengajian. Seperti basa-basi pada umumnya, Lutfi mempersilakan saya untuk minum atau makan aneka kudapan yang ada di depan mata saya.
“Ngeses, mboten?” tanya Lutfi. (Merokok, tidak?)
Kalimat itu keluar setelah saya menyeruput teh yang masih panas. Saya jawab, iya.
“Tapi, maaf ini rokoknya beda. Ini rokok herbal. Jadi asapnya masih aman,” terang Lutfi.
Saya bingung. Sebagai penggiat kretek, sebenarnya kretek itu memang herbal. Campuran tembakau, cengkeh, dan rempah-rempah menjadi alasan mengapa kretek itu herbal. Lalu, apa yang membedakannya?
Rokok Divine, Rokok Herbal dari Malang
Pada mulanya tahun 2010. Lutfi mengeluhkan tumor yang mulai membengkak di dahi. Lebih tepatnya di antara dua alis. Ia berobat ke sana dan ke sini lalu mendapat sebuah wejangan dari seorang teman. Katanya, ada sebuah rumah sehat. Rumah yang menggunakan pengobatan alternatif di Malang.
Namanya juga orang ingin sehat, seseorang pasti akan menggunakan segala daya dan upaya agar dirinya bisa sembuh. Kebetulan, terapi yang akan digunakan dalam pengobatan alternatif itu adalah mengisap rokok. Ya, kalian tidak salah baca. Mengisap rokok.
Lutfi girang bukan kepalang. Sebagai seorang perokok, yang sering mendapatkan stigma negatif, pasti akan senang mengetahui informasi tersebut. Maka, berangkatlah ia ke sana dengan perasaan percaya dan tidak percaya.
Ia bertemu dengan Pak Sutiman. Salah seorang profesor di Universitas Brawijaya. Kebetulan beliau mengajar di Fakultas MIPA. Beliau lah yang kemudian mengenalkan metode balur kepada Lutfi.
Dok: Istimewa.
Saat itu, Pak Sutiman hanya berpesan kepada Lutfi supaya untuk merokok. Rokoknya khusus. Namun, apabila tidak merokok, Pak Sutiman membolehkan orang lain untuk merokok dan asapnya diembuskan kepada pasien.
Ketika saya bertanya berapa batang yang harus diisap per harinya, Lutfi tertawa.
“Gak ada batasan, Mas. Malah kalo bisa sebanyak-banyaknya,” jawab Lutfi.
Sekali lagi, saya terhenyak mendapatkan jawaban seperti itu. Lha gimana? Merokok saja dianggap aneh dan penyakitan. Eh, ini diminta mengisap dalam jumlah yang banyak. Bahkan, semakin banyak maka semakin baik.
Dan, memang benar. Ajaibnya, tumornya mulai mengecil, dan kemudian sirna. Hilang tak berbekas.
Mencoba Rokok Divine
Oleh karena terdorong rasa penasaran, saya mencobanya. Pertama kalinya, saya mencoba mengisap dalam-dalam. Ternyata keliru, yang ada malah batuk-batuk. Lutfi tertawa.
“Kalau belum biasa, memang begitu, Mas. Dulu, awal-awal saya juga begitu,” ujar Lutfi.
Kemudian, saya mencoba mengisap lagi. Kali ini, hanya mengisap cepat. Asap yang keluar cukup banyak. Ada rasa tembakau. Tapi agak aneh. Barangkali, karena bukan rokok pabrikan.
Lutfi juga mengungkapkan bahwa rasa rokok divine memang aneh. Cenderung tawar. Namun, lama-kelamaan akan terbiasa. Yang unik justru perkataan selanjutnya.
“Insya Allah asapnya aman, Mas.” Kata aman di situ merujuk sebuah kondisi merokok di dekat anak-anak, tidak terjadi apa-apa. Saya, sih, antara percaya atau tidak percaya. Jadi, saat mencobanya, lebih baik minggir dahulu.
Akan tetapi, di luar perdebatan di sana, nyatanya Lutfi masih tetap mengisap rokok tersebut. Klaimnya, dari hari ke hari, ia semakin baik raga dan jiwanya.