Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah getol-getolnya kampanye berhenti merokok. Di balik itu, bukan karena benar-benar peduli kesehatan publik, tapi karena tengah melancarkan perang nikoton.
Daftar Isi
ToggleDalam beragam pidatonya, Presiden Prabowo Subianto kerap menggebu-gebu dengan berteriak anti antek asing. Tapi sayangnya tidak sejalan dengan tindak-tanduknya.
Ia membiarkan kementeriannya sendiri terus-menerus membebek kepada asing. Tidak lain dan tidak bukan adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Pasalnya, Kementerian Kesehatan belum lama ini memberikan pernyataan bahwa kondisi perokok di Indonesia sudah parah sekali karena diklaim merusak kesehatan berbagai generasi. Sehingga Kemenkes menginisiasi Gerakan Berhenti Merokok (GBM).
Agen bisnis di balik kampanye berhenti merokok
Pasca diperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh setiap tanggal 31 Mei, Kemenkes masih gencar mengkampanyekan bahaya merokok. Dalam kampanye itu mereka menargetkan agar banyak para perokok bisa melepaskan diri dari rokok yang dianggap memiliki faktor kecanduan.
Bahkan melalui program Gerakan Berhenti Merokok (GBM), Kemenkes membawa misi agar seluruh puskesmas di Indonesia bisa memiliki layanan ini di tahun 2029. Kemenkes seolah memiliki niat mulia dengan ingin memberikan kesehatan kepada seluruh perokok agar bisa berhenti merokok. Tapi di balik itu semua, mereka ternyata sedang menjadi agen bisnis.
Pasalnya, mereka melakukan pendekatan untuk berhenti merokok dengan cara terapi pengganti nikotin (Nicotine Replacement Therapy/NRT). Produk-produk NRT ini jenisnya macam-macam antara lain seperti permen karet nikotin, patch, tablet hisap, atau semprotan mulut.
Jualan produk PT. Kenvue Indonesia untuk berhenti merokok
Dari mana Kemenkes mendapatkan produk-produk itu? Jawabannya, dari PT. Kenvue Indonesia. Perusahaan ini merupakan bagian dari Johnson & Johnson (Amerika Serikat) dengan menawarkan produk-produk alternatif.
Industri farmasi ini dalam berbisnis NRT tidak segan-segan untuk patgulipat dengan pemerintah, LSM, dan elemen sipil. Termasuk ketika mereka menggandeng Kemenkes untuk mengkampanyekan Gerakan Berhenti Merokok dengan metode NRT.
Melansir dari Jakarta Navigasi, Fika Yolanda, Marketing Director Kenvue Indonesia mengatakan kalau perusahaannya itu berkomitmen mendukung program pemerintah untuk mengintervensi prevalensi perokok di Indonesia dengan memastikan akses terhadap produk NRT seperti Nicorette yang tersedia dan terjangkau di seluruh Indonesia, termasuk daerah terpencil.
“Selain itu, kami akan menghadirkan program edukasi UBM bagi tenaga kesehatan dan masyarakat, termasuk edukasi digital untuk mendampingi proses berhenti merokok secara menyeluruh,” jelasnya.
Hal inilah yang persis digambarkan dalam buku Nicotine War karya Wanda Hamilton bahwa ada perang antara Industri Farmasi dengan Industri Rokok. Buku itu memang menceritakan kondisi di Amerika, tapi cerita dalam buku ini sama persis yang terjadi di Indonesia. Lantaran industri farmasi berupaya keras menguasai pasar di seluruh dunia, Indonesia termasuk dalam targetnya.
Aktivitas biasa lalu dicap candu
Merokok yang dulu merupakan aktivitas yang biasa saja lalu dinarasikan sebagai barang yang membuat candu dan sesuatu yang bisa merusak tubuh. Sehingga masyarakat perlu beralih ke yang lainnya, dalam hal ini adalah produk-produk NRT yang digadang-gadang sebagai obat pengganti rokok.
Rokok terus dijelek-jelekan. Dianggap sebagai pemusnah massal. Padahal di balik itu, sangat banyak kepentingan dagang.
Industri padat karya ini (industri rokok) sedang diancam oleh asing. Kretek yang merupakan produk dalam negeri dan memiliki banyak sumbangsih yang tak terkirakan justru perlahan sedang dihancurkan. Dihajar habis-habisan melalui berbagai narasi dan regulasi.
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin
BACA JUGA: Katanya Merokok Itu Boros, Tapi Saya Bisa Hasilkan Rp300 Ribu dari Menghisap 5 Batang Rokok