Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n
Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih.
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n
Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n
Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih.
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n
Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n
Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n
Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih.
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n
Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n
Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n
Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n
Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih.
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Adapun industri rokok kecil-menengah di Indonesia didominasi oleh industri kretek. Industri rokok putihan justru levelnya ada di skala besar, dan didominasi oleh perusahaan asing multinasional.<\/p>\n\n\n\n Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Tentunya penurunan jumlah pabrik rokok terjadi pada level pabrikan kecil-menengah. Sebab level ini modalnya hanya pas-pasan, tetapi tidak dapat survive karena bisnisnya menurun dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah untuk pengembangannya. Adapun industri rokok kecil-menengah di Indonesia didominasi oleh industri kretek. Industri rokok putihan justru levelnya ada di skala besar, dan didominasi oleh perusahaan asing multinasional.<\/p>\n\n\n\n Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Dalam skala makro, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya. Tentunya penurunan jumlah pabrik rokok terjadi pada level pabrikan kecil-menengah. Sebab level ini modalnya hanya pas-pasan, tetapi tidak dapat survive karena bisnisnya menurun dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah untuk pengembangannya. Adapun industri rokok kecil-menengah di Indonesia didominasi oleh industri kretek. Industri rokok putihan justru levelnya ada di skala besar, dan didominasi oleh perusahaan asing multinasional.<\/p>\n\n\n\n Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Meskipun pada tahun 2010 LIK (Lingkungan Industri Kecil) sektor rokok didirikan, hanya ada sebanyak 11 unit pabrik yang disediakan, dan kini hanya tersisa 7 pabrik rokok unit kecil menengah yang masih bertahan di LIK Kudus. Dalam skala makro, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya. Tentunya penurunan jumlah pabrik rokok terjadi pada level pabrikan kecil-menengah. Sebab level ini modalnya hanya pas-pasan, tetapi tidak dapat survive karena bisnisnya menurun dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah untuk pengembangannya. Adapun industri rokok kecil-menengah di Indonesia didominasi oleh industri kretek. Industri rokok putihan justru levelnya ada di skala besar, dan didominasi oleh perusahaan asing multinasional.<\/p>\n\n\n\n Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Baca: Meskipun pada tahun 2010 LIK (Lingkungan Industri Kecil) sektor rokok didirikan, hanya ada sebanyak 11 unit pabrik yang disediakan, dan kini hanya tersisa 7 pabrik rokok unit kecil menengah yang masih bertahan di LIK Kudus. Dalam skala makro, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya. Tentunya penurunan jumlah pabrik rokok terjadi pada level pabrikan kecil-menengah. Sebab level ini modalnya hanya pas-pasan, tetapi tidak dapat survive karena bisnisnya menurun dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah untuk pengembangannya. Adapun industri rokok kecil-menengah di Indonesia didominasi oleh industri kretek. Industri rokok putihan justru levelnya ada di skala besar, dan didominasi oleh perusahaan asing multinasional.<\/p>\n\n\n\n Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Baca: Ariel Tatum dan Diskriminasi Perempuan Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n Di Indonesia sendiri, tembakau pada mulanya digunakan sebagai bahan campuran dalam mengonsumsi sirih yang lazim disebut nyirih<\/em>. Karena dianggap jorok, penjajah Belanda melarang aktivitas nyirih dan mengenalkan konsumsi tembakau dengan cara dibakar dan diisap kepada masyarakat pribumi. Kebiasaan mengisap tembakau di Indonesia semakin populer usai Haji Djamhari menemukan ramuan tembakau kering yang dicampur cengkeh kering kemudian dibakar dan diisap sebagai obat asma yang ia derita. Campuran tembakau kering dan bunga cengkeh kering yang dibakar menimbulkan suara berkeretek hingga pada akhirnya produk rokok ini dinamakan rokok kretek dan menguasai pasar dalam negeri hingga saat ini.<\/p>\n\n\n\n Dari catatan singkat di atas, konsumsi tembakau kering yang diisap kemudian tembakau kering yang dicampur bunga cengkeh kering pada mulanya sebagai barang konsumsi untuk pengobatan dan relaksasi. Hingga pada akhirnya, persaingan bisnis menggiring kampanye-kampanye yang menyuarakan perihal keburukan konsumsi tembakau. Dalih kesehatan dijadikan alasan utama untuk menghancurkan perekonomian tembakau guna meloloskan bisnis farmasi yang dijalankan korporasi besar berskala internasional.<\/p>\n\n\n\n Periode 2000 hingga saat ini, kampanye miring mengenai rokok dan rokok kretek kian menguat. Tak hanya korporasi besar, badan-badan kesehatan dunia juga ikut ambil peran dalam upaya menghancurkan produk rokok terutama rokok kretek yang menjadi ciri khas dalam negeri.<\/p>\n\n\n\n Baca: Denda Bagi Mereka yang Merokok Saat Berkendara, Sudah Tepatkah?<\/a><\/p>\n\n\n\n Berita terbaru dalam sepekan terakhir, di Jepang, salah satu universitas negeri berencana memecat seluruh staf dan dosen mereka yang menjadi perokok aktif. Selain itu, beberapa perusahaan di Jepang juga akan mencoret langsung para pelamar kerja yang diketahui sebagai perokok aktif. Ini tentu saja menjadi kemunduran yang telak bagi negara Jepang. Padahal sebelumnya Jepang dikenal menjadi negara yang masih cukup ramah terhadap para perokok.<\/p>\n\n\n\n Alasan Jepang memberlakukan kebijakan tersebut sebagai upaya menyambut perhelatan olimpiade 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo. Lagi-lagi, dalih kesehatan yang menjadi tameng kebijakan ini. Jika ditelaah secara saksama, tentu saja kebijakan ini sama sekali tidak ada relevansinya. Terkesan pemaksaan dan sekadar pencitraan semata.<\/p>\n\n\n\n Lagi pula, tak ada relevansinya antara kecerdasan (dalam hal ini dunia kampus) dengan kebiasaan merokok. Juga tak ada relevansi antara kinerja (dalam hal ini pelamar kerja) dengan kebiasaan merokok. Lagi-lagi, ini semata sekadar cocokologi saja.<\/p>\n\n\n\n Bodoh ya bodoh saja, malas ya malas saja, juga sebaliknya, tak ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Kita bisa menjejerkan ratusan bahkan ribuan nama-nama orang yang memiliki kebiasaan merokok, di sana akan ada orang-orang yang sangai pandai hingga orang-orang idiot sekalipun yang memiliki kebiasaan merokok. Kita juga bisa menjejerkan nama-nama ratusan hingga ribuan orang yang sama sekali tidak merokok, dan di sana akan ada orang yang pandai sekali juga akan ada orang goblok segoblok-gobloknya yang sama sekali tidak merokok. Lalu, apa alasan memecat staf dan dosen di kampus yang memiliki kebiasaan merokok?<\/p>\n\n\n\n Hal yang sama juga bisa kita lakukan dengan jejeran nama-nama orang dengan kinerja dan etos kerja. Yang rajin, juga yang malas, ada dalam kelompok mereka yang merokok juga kelompok mereka yang tidak merokok. Maka, saya kira, apa yang terjadi di Jepang dan diberitakan dalam sepekan belakangan, tentu saja mengganggu akal sehat siapa saja yang masih bisa berpikir dengan jernih. Lain lagi di Kudus, pasca keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 200 tahun 2010 soal batas luas bangunan pabrik rokok minimal 200 meter persegi. Industri kecil menengah yang tadinya beroperasi di rumah-rumah sebagai tempat produksi banyak yang gulung tikar, disebabkan tidak punya cukup modal untuk menyewa tempat atau gudang sebagai pabrik.<\/p>\n\n\n\n Baca: Meskipun pada tahun 2010 LIK (Lingkungan Industri Kecil) sektor rokok didirikan, hanya ada sebanyak 11 unit pabrik yang disediakan, dan kini hanya tersisa 7 pabrik rokok unit kecil menengah yang masih bertahan di LIK Kudus. Dalam skala makro, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya. Tentunya penurunan jumlah pabrik rokok terjadi pada level pabrikan kecil-menengah. Sebab level ini modalnya hanya pas-pasan, tetapi tidak dapat survive karena bisnisnya menurun dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah untuk pengembangannya. Adapun industri rokok kecil-menengah di Indonesia didominasi oleh industri kretek. Industri rokok putihan justru levelnya ada di skala besar, dan didominasi oleh perusahaan asing multinasional.<\/p>\n\n\n\n Baca: Secara umum, di sektor tembakau, selalu terjadi fluktuasi tren konsumsi pasar atas jenis rokok. Kita masih sangat ingat ketika Sampoerna memilih menutup salah satu pabrik SKT mereka di tengah-tengah penjualan rokok Sampoerna sedang mengalami kenaikan. Ini sungguh ironi, SKT memang terlihat seperti sunset<\/em> industri, jenis rokok yang semakin hari tren pasarnya terus menurun. Dan, kasus penurunan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang saat itu melanda tidak hanya pada produk Samporna, tetapi juga semua pabrikan rokok. Di tengah suasana ini, alih-alih bisa dibendung, perubahan tren konsumsi ini justru semakin melanda banyak pabrikan karena tidak ada iktikad baik pemerintah untuk melindungi kretek. Dengan adanya kasus penutupan pabrik rokok kretek tangan di atas, pemerintah seharusnya tertampar. Di saat Negara sedang menggalakkan kemandirian nasional, ternyata banyak industry nasional yang berpotensi untuk tutup. Banyak pekerja kita yang nasibnya terancam apabila perlindungan kretek tidak segera dilakukan. Salah satu solusi yang bisa didorong untuk melindungi kretek adalah dengan menghapus tarif cukai pada produk kretek yang mulai terancam, yakni SKT. Isu ini beberapa saat lalu juga telah didorong oleh menteri Perindustrian, MS Hidayat. Komunitas kretek sangat etuju dangan penghapusan tarif cukai pada SKT. Kebijakan penghapusan tariff cukai SKT selain bisa mlindungi pada produk nasional dari serangan produk asing (rokok puth), juga bisa menyelamatkan banyak pabrikan kecil-menengah yang bergerak di bidang ini. Di sector hulu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai keberpihakan pemerintah pada petani tembakau. Karena, semua tembakau yang digunakan dalam produk SKT adalah tembakau rakyat.<\/p>\n\n\n\n Baca: Penghapusan cukai SKT semakin mendesak karena di tengah fluktuasi produk nasional, pemerintah harus punya keberpihakan pada industri nasional yang padat karya. Jangan sampai, penurunan SKT ini kemudian disikapi oleh pabrikan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena selama ini, untuk mengurangi beban biaya produksi, industri SKT cenderung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya. Hal ini selain menimbulkan kecemasan bagi para pekerja, juga sangat merugikan bagi iklim ekonomi nasional. Pemerintah harus berupaya agar kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 4.900 buruh oleh pabrik rokok PT HM Sampoerna Tbk tidak kembali terulang. Apalagi industri SKT merata di berbagai skala industri, dari industri kecil hingga besar, tidak seperti rokok mild.<\/p>\n\n\n\n Baik dari sisi buruh, pertanian, maupun industry, kebijakan penghapusan cukai SKT adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan nasional. Pada mulanya masyarakat pribumi yang mendiami benua Amerika mulai dari wilayah paling utara hingga ke selatan, dengan bermacam suku-suku yang hidup secara komunal\u2014yang kemudian disamaratakan penyebutannya oleh penjelajah Eropa dengan sebutan Suku Indian\u2014mengonsumsi tembakau yang dikeringkan sebagai sarana pelepas lelah, dan untuk mengobati beberapa jenis penyakit yang ada ketika itu. Mereka mengisap tembakau yang dikeringkan menggunakan sebuah pipa yang lazim disebut \u2018tubak<\/em>\u2019, selanjutnya bangsa Eropa menggunakan penyebutan \u2018tubak<\/em>\u2019 untuk menamakan daun kering tersebut, lahirlah istilah \u2018tobacco<\/em>\u2019 dalam bahasa Inggirs yang diserap menjadi \u2018tembakau\u2019 dalam bahasa Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Melalui Colombus dan seluruh awak kapalnya yang mendatangi benua Amerika, kebiasaan mengisap tembakau ini kemudian diperkenalkan ke Eropa dan perlahan menjadi kebiasaan yang umum di sana. Konsumsi tembakau di Eropa terutama dimanfaatkan sebagai penghilang rasa dingin ketika musim dingin tiba di daratan Eropa. Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau ke negeri jajahan mereka dan membudidayakannya di sana hingga pada akhirnya tembakau menjadi konsumsi yang mendunia, termasuk juga di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Asal Muasal Cukai Rokok dan Perkembangannya <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n
<\/p>\n","post_title":"Diskriminasi Terhadap Para Perokok di Jepang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"diskriminasi-terhadap-para-perokok-di-jepang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-03 11:19:17","post_modified_gmt":"2019-05-03 04:19:17","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5679","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":9},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Asal Muasal Cukai Rokok dan Perkembangannya <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi! <\/a><\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
Kaleidoskop 2018: Industri Hasil Tembakau Ditikam, Cukainya Ditimang<\/a> <\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Tarif Cukai SKT Harus Dihapuskan, Demi Keberlangsungan IHT","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"tarif-cukai-skt-harus-dihapuskan-demi-keberlangsungan-iht","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-05-04 11:41:20","post_modified_gmt":"2019-05-04 04:41:20","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5682","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5679,"post_author":"878","post_date":"2019-05-03 11:19:10","post_date_gmt":"2019-05-03 04:19:10","post_content":"\n