logo boleh merokok putih 2

Kekuasaan dan Intervensinya terhadap Mahkamah Agung

[dropcap]D[/dropcap]alam konsepsi ini, Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara dipandang laiknya bapak patrimonial tradisional yang berada di atas semua kelompok dan golongan. Presiden selaku kepala keluarga secara ideal tidak akan pernah pilih kasih terhadap anak-anaknya, sehingga Presiden juga muskil tergelincir mementingkan kepentingan kelompok atau golongannya sendiri. Dus, lebih jauh model pemisahan kekuasaan pemerintah kemudian cenderung dianggap semata perwujudan spirit liberalisme yang mencerminkan budaya Barat.

Sementara di sisi lain, sedikit atau banyak pemerintah kolonialisme Belanda justru mengimplementasikan spirit atau ide pemisahan kekuasaan tersebut. Terinspirasi ide-ide revolusi Perancis dalam konteks mengantisipasi kasus absolutisme kuasa Raja Louis XVI, dari Eropa-lah ide-ide pembaharuan sistem peradilan itu ditransfer ke berbagai negara jajahan. Di Indonesia sendiri, prinsip bahwa eksekutif dilarang melakukan campur tangan dalam urusan peradilan tercantum pada Konstitusi Kolonial Belanda tahun 1854.

Namun karena konteks kepentingan kolonialisme pula implementasi konsep pemisahan itu tak juga sepenuhnya direalisasi oleh pemerintah Belanda secara konsisten. Alhasil, Gubernur Jenderal Belanda tak sekali dua atau malah sering dengan kebijakan deskresinya mengintervensi sistem peradilan untuk memastikan kepentingan politik status quo-nya terjaga.

Meski toh demikian setidaknya spirit independensi dan otonomi para hakim didikan kolonial yang membawa ide-ide revolusi Perancis tersebut nampak jelas mewarnai esprit the corps profesi dan institusinya. Bagaimana integritas dan dedikasi para hakim generasi pertama di Republik ini nampak begitu jelas pada sosok pejabat Ketua MA pertama. Seorang hakim senior, Koesoemah Atmadja namanya.

Apa yang menarik dicermati ialah ketika MA harus memutus perkara pertamanya, sebuah perkara percobaan kudeta sekaligus penculikan Perdana Menteri Sjahrir di tahun 1946, yang kemudian lebih dikenal sebagai “Kasus Sudarsono”

Seperti diketahui upaya kudeta ini dilakukan oleh anasir tentara yang mendapat dukungan para politisi terkemuka seperti Muhammad Jamin. Kudeta ini gagal dan para tokoh yang terlibat diadili. Beberapa terdakwa yang diadili diketahui memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno dan ada dugaan Presiden menekan MA agar mau bersikap lunak.

Tapi, Ketua MA itu teguh menolak. Dalam setiap kesempatan Koesoemah Atmadja selalu menentang tekanan politik ini, serta mengancam mundur dari jabatannya kalau Soekarno bersikeras. Dalam pertimbangan putusan Kasus Sudarsono itu, Koesoemah Atmadja bahkan menegaskan kembali bahwa lembaga MA adalah lembaga yang mandiri dan otonom yang harus tetap bebas dari segala bentuk campur tangan politik.

Sayangnya, masih pada tahun yang sama, 1946, saat terjadi perang revolusi kemerdekaan karena Belanda plus Nica bermaksud menjajah kembali Indonesia, hampir semua hakim senior membelot dan berganti kesetiaan dari kubu Republik ke kubu Belanda. Dari 23 hakim senior itu tercatat hanya 9 hakim yang bertahan di kubu Indonesia. Ini tentu semakin mencemarkan profesi hakim itu sendiri. Dari 9 hakim, salah satunya ialah Koesoemah Atmadja. Dengan demikian Ketua MA pertama itu tercatat sebagai salah seorang hakim yang muncul dari rahim revolusi dan pro-republik tiada cela.

Kusumah_Atmaja
Koesoemah Atmadja

Tapi, sekali lagi, sayangnya tak ada gading yang tak retak. Pria Sunda kelahiran 1898, yang berarti satu generasi dengan Bung Karno itu, awal meniti karirnya ialah sebagai hakim kolonial. Celakanya ketika sejarah pergerakan nasional mengalami gelombang pasang radikalisme pada dekade 1930 – 1940-an dan berakhir dengan kebijakan represi Gubernur Jendral, tak satupun hakim Indonesia di peradilan kolonial itu mengundurkan diri. Bahkan ketika Gubernur Jendral akhirnya menggunakan hak prerogatif eksekutifnya yaitu exorbitante rechten, sehingga secara mana suka bisa menangkapi dan membuang para pemimpin politik Indonesia tanpa proses pengadilan, juga tak satupun hakim-hakim itu protes keras kepada pemerintah (Belanda).

Tentu termasuk Koesoemah Atmadja, yang nantinya ketika memasuki zaman merdeka menjadi Ketua MA pertama, pada kurun tersebut banyak menjebloskan kaum revolusioner karena mendukung Soekarno yang kelak menjadi Presiden pertama. Tak berlebihan sekiranya dikatakan bahwa secara historis dan politis, para hakim pengadilan dan aktivis politik pergerakan sebenarnya telah berhadap-hadapan secara harfiah sejak lama, dan celakanya disadari atau tidak hal itu telah mendistorsi upaya membangun sebuah negara hukum yang demokratis dalam bingkai Indonesia merdeka.

Sebuah situasi yang nantinya justru semakin memburuk ketika Indonesia memasuki zaman Orde Baru. Pada periode ini sistem peradilan dan institusi pengadilan, termasuk pada level tertingginya, MA, boleh dikata benar-benar sepenuhnya terkooptasi oleh rezim berkuasa.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Haryanto

Haryanto

Mahasiswa yang meyakini akan sukses dengan kerupuk dan teh botol.