Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei mengenai dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok. Apa hasil dari survei tersebut? Jika harga rokok naik sebesar Rp 70 ribu/bungkus, maka para perokok akan berhenti mengonsumsi rokok.
Tentunya hasil survei tersebut diolah sedemikian rupa, sehingga seakan-akan publik mengamini bahwa harga rokok haruslah mahal. Skema ini mengingatkan kita pada apa yang dilakukan oleh kelompok antirokok pada 2016 silam.
Dimulai dengan hasil survei atau study mengenai harga rokok yang kemudian disampaikan kepada publik dan dibumbui dengan hoax, seakan harga rokok seharga Rp 50 ribu sudah resmi diterapkan. Dari kerja-kerja penggiringan opini publik yang dibumbui hoax tersebut kelompok antirokok mendapatkan keuntungan: Isu kenaikan harga rokok berhasil mendapatkan perhatian besar publik dan pemerintah.
Namun kala itu antirokok tidak memperhitungkan bahwa masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran untuk mengecek kebenaran sebuah isu. Alhasil usaha mendorong isu hoax tersebut mendapat cibiran dan kecaman publik. Isu kenaikan harga rokok sebesar Rp 50 ribu hanya menjadi bahan olok-olokan oleh publik.
Melihat kegagalan mendorong isu kenaikan harga rokok tersebut, antirokok mencoba mengubah strategi mereka, kali ini mereka melakukan kampanye dengan lebih elegan. Tagline “Rokok Harus Mahal” perlahan-lahan dimunculkan kepada publik sembari dibumbui berbagai penelitian yang dibuat seakan-akan mewakili publik. Mereka menghindari blunder dengan tidak melakukan manuver sebar hoax.
Target mereka pun sepertinya berubah, bukan lagi sekedar menggiring opini publik, tapi mendorong hasil penelitian kenaikan harga rokok sebesar Rp 70 ribu menjadi rekomendasi kepada pemerintah dan legislatif. Tentu dengan harapan agar rekomendasi tersebut dapat menghasilkan kebijakan menaikan harga rokok di Indonesia.
Melihat kerja-kerja kampanye antirokok tersebut, tentu stakeholder pertembakauan tidak tinggal diam. Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) bergerak dengan langsung menanyakan respon kepada publik mengenai isu harga rokok Rp 70 ribu yang dihembuskan oleh antirokok.
Kami merangkum 11 komentar dari ribuan komentar yang masuk ke dalam akun Instagram @boleh_merokok yang dikelola oleh KNPK. Berikut ini adalah komentar-komentarnya:
@irfan_clasic : “Suruh aja nyariin pekerjaan buat petani tembakau kalo harga rokok naik, gimana nasibnya petani tembakau kalo naik harga”
@yogavp : “saya bukan perokok tapi saya gak setuju, kenapa? Karena bapak saya perokok jadi kemahalan kalo beliin bapak rokok”
@rizkyprtama12 : “Tidak menghalangi para kretekus untuk tetep merokok”
@muzanialjauhari : “Jika harga rokok naik. Ingat juga harga pangan pasti naik dan yang merasa dirugikan bukan hanya perokoknya saja”
@pradana_yopy : “Perokok bakal berkurang, pabrik rokok bangkrut, terus siapa yang bakal beli daun tembakau petani, gimana buruhnya”
@gilangramadhan_ubansonk : “Harus tetap murah, merokok adalah budaya dan tradisi warisan leluhur”
@irfanza18 : “Coba mereka ngerti gimana perasaan keluarga yang berharap banyak dari tembakau –laskar kretek Temanggung”
@akbar_ateja : “Kami tidak setuju. Karena kami perokok sejati memerlukan kretek untuk berimajinasi”
@herdiantohanif : “Perang dagang disponsori industri medis”
@pemulung_rindu : “Gak bakal disetujuin pemerintah, bisa hancur ekonomi Indonesia”
@herlanel : “Atas dasar mekanisme pasar pun agak aneh kalo harganya Rp 70 ribu. Itu mah tendensi pribadi orang yang gak sehat. Lawan!!!”
Dari ribuan respon dari publik, hampir semuanya menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap isu yang dibawa oleh kelompok antirokok. Mungkin antirokok kali ini lupa memperhitungkan bahwa publik sudah cerdas dalam menerima isu yang bergulir di sekitar mereka, dan hal lainnya adalah antirokok lupa bahwa para perokok kini tak lagi menjadi silent majority. Kini perokok sudah memiliki keberanian untuk bersuara lebih lantang.