REVIEW

98% Dana Hasil Pungutan Cukai Ada di Pusat, Tau Buat Apa?

Suka sekali pemerintah menaikkan cukai rokok, hal itu tiap tahun terjadi. Pengatur kenaikan cukai itu instansi pemerintah dari Kementerian Keuangan. Kesan enaikan cukai tak semata-mata Negara sedang dalam keadaan yang sangat butuh mendesak, hal ini bisa dilihat alasan dan dasar tiap kali naik . Belum lagi alokasi penggunannya yang tak jelas baik pusat maupun daerah, terkesan carut marut. Total jumlah 2% dibagikan ke daerah, sisanya 98% masih tertimbun di pusat (Kementerian Keuangan). 2% yang kedaerah dibagi lagi 30% untuk provinsi penghasil, 40 % daerah kabupaten/kota penghasil dan 30% daerah kabupaten/kota lainnya(non penghasil). Lalu yang 98% dibuat apa saja?.


Dana hasil pungutan cukai yang dibagikan kedaerah (provinsi/Kabupaten/Kota) dikenal dengan sebutan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Terbakau ( DBH-CHT). Cukai ini selalu naik, dengan alasan dan dasar pertimbangan mana suka. Ambil contoh, kenaikan cukai di tahun 2020 ini pertimbangannya ada 3 yaitu, mengurangi Konsumsi, mengatur industrinya, dan meningkatkan penerimaan Negara, kata Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.
“Kenaikan cukai diberlakukan berdasarkan tiga pertimbangan, yakni untuk mengurangi konsumsi, mengatur industrinya, dan meningkatkan penerimaan negara”
Seorang teman crew dari TV desa Dian (nama samaran) menertawakan alasan tersebut dengan berkata:
“Apa tidak terbalik bu?, harusnya yang lebih didahulukan dan jujur itu meningkatkan penerimaan negara bukan mengurangi konsumsi, ibu menteri ini pasti bukan orang lapangan, tidak tahu riil di lapangan, tak mungkin lah konsumsi rokok bisa dikurangi, kalau rokok mahal pindah ke rokok murahan atau pindah lintingan bu”.


Benar apa kata Dian, orang di desa itu kalau rokok mahal kalau gak melinting sendiri ya beli yang murahan bahkan eceran gak masalah. Mau harga di naikkan setinggi langit tak ada efek, mereka tetap akan merokok. Yang terkena dampaknya langsung pabrikan selanjutnya pekerja dan para petani tembakau, karena rokok dipasaran lesu. Dan pastinya berpengaruh juga terhadap rendahnya penerimaan negara. Belum lagi kalau rokok ilegal marak dipasaran, negara tambah rugi besar.


Alasannya yang kedua tentang mengatur industrinya, terkesan dipaksakan. Apa korelasinya antara menaikkan cukai dengan mengatur industri, yang ada hanyalah korelasi tak langsung. Karena aturan industri sudah ada dan jelas, diluar dalam aturan kenaikan cukai.


Jadi alasan pertama dan kedua untuk kenaikan cukai tak berbasis data lapangan dan data tektual (UU/PP dan sejenisnya). Memberikan kesan mana suka. Tak berhenti disitu, aturan mana suka yang dibuat Kementerian Keuangan yang terkait dengan rokok dan cukai banyak sekali, diantaranya:


Aturan pembagian hasil cuka yang hanya 2% untuk daerah provinsi, kabupaten dan kota. Ketentuan 2% ini tidak ada hitungan yang rijit seperti halnya bagi hasil yang bersumber dari lainnya seperti pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah, pajak penghasilan, kehutanan, pertambangan umum, perikanan dan lain sebagainya. Artinya, selain bagi hasil cukai semuanya dihitung detail sehingga keluar bagi hasilnya berapa. Sedang dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT) pembagiannya ditentukan sepihak oleh Kementerian Keuangan dan daerah hanya mendapatkan 2% itupun masih dibagi lagi menjadi tiga klaster, yaitu provinsi penghasil, kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota non penghasil. Sisanya 98% masih dipusat.


Kedua, aturan ketentuan peruntukan DBH-CHT, untuk alokasi di Provinsi/Kabupaten dan Kota di tentukan 5 item, yang diatur dalam UU cukai pasal 66 huruf A ayat 1, yaitu untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan bidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Daerah dikenakan aturan penggunaan DBHCHT pada lima peruntukan di atas. Sedangkan aturan penggunaan DBH-CHT pusat yang jumlahnya lebih besar 98% tak ada satupun aturan penggunaannya. Sederhananya penggunaan dana cukai oleh pusat mana suka. Kalau dana tersebut dimasukkan dalam dana bagi hasil seperti lainnya, seharusnya tercantum pada UU Perimbangan Keuangan yang penggunaannya sudah diatur dan ada ketentuannya. Nyatanya dana cukai tidak demikian, tidak dimasukkan sebagai dana perimbangan keuangan negara. Akan tetapi di atur tersendiri dalam UU cukai.


Walhasil 98% dana cukai digunakan sesuai kehendak pemerintah pusat dalam hal ini Kemeterian Keuangan dan pemerintah yang berkuasa.


Andai penggunaan dana tersebut untuk hajat dan kepentingan orang banyak seperti membayar defisit BPJS tentunya penyumbang dana tersebut (perokok) masih menerima dengan lapang dada. Perokok dapat membantu sesama. Dana cukai untuk membayar defisit BPJS baru beberapa tahun terakhir ini, itupun hanya sebagian. Yang jadi pertanyaan lanjutan, dana hasil cukai yang jumlahnya besar di tahun-tahun kemarin peruntukannya untuk apa saja?, sebelum ada untuk pembayaran BPJS, sebelum ada bagi hasil 2% ke daerah ataupun setelah ada bagi hasil 2%.


Pastinya tidak jelas penggunaannya, karena tidak ada aturan pasti dan kontrol bagi pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan. Yang ada hanyalah UU cukai yang mengatur penggunaan bagi daerah (provinsi, kabupaten dan kota).


Jadi tidak salah jika banyak orang menganggap DBH-CHT bukan lagi dana bagi hasil melainkan dana bancaan hasil cukai hasil temabakau.


Ketiga, aturan sanksi penyelewengan penggunaan DBH-CHT juga terkesan longgar dan tidak ada jeratan sanksi pidana. Aturan tersebut tertuang pada UU cukai pasal 6 huruf D ayat 1 dan 2. Berbunyi” atas penyalahgunaan alokasi DBH-CHT dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran DBH-CHT yang di buat di Indonesia”. “ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi atas penyalahgunaan alokasi DBH-CHT sebagai yang dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.


Menandakan kuasa penuh aturan DBH-CHT ada pada Kementerian Keuangan. Pertanyaannya, siapa yang mengontrol dalam hal penggunaan alokasi DBH-CHT ditingkat Kementerian Keuangan yang jumlah dananya lebih besar yaitu 98% total dari pendapatan cukai. Lain itu dalam UU cukai tak ada satupun yang menjelaskan tentang hak di tingkat pemerintahan desa dalam penggunaan DBH-CHT. Yang paling bawah adalah pemerintah kabupaten dan kota, kewenangan pengelolaannya oleh Gubernur.