iklan rokok
PabrikanREVIEW

Iklan Rokok Tak Sepatutnya Terus Disalahkan

Hal yang paling menyenangkan adalah mengingat masa kecil, mencoba untuk kembali ke masa itu, padahal jelas-jelas tak ada mesin yang bisa mengantarkan kita ke sana. Beruntungnya, ada internet yang mampu menjadi etalase simpul-simpul memori masa kecil. Melihat tayangan televisi saat itu, tontonan iklan rokok di jaman itu, waktu terasa berjalan mundur dan pikiran kita dibawa kembali ke sana.

Banyak tayangan iklan atau film yang membuat kita seperti kembali ke masa kecil. Akan tetapi saat kita menyaksikannya kembali sekarang, tayangan itu hanya seperti mesin waktu. Tak lebih dan tak kurang. Sebaliknya, bagaimana saat kita kecil dan menonton tayangan-tayangan tersebut? 

Menyaksikan iklan orang-orang menyantap mie instan misalnya, apa yang kita saksikan dan ingat hanyalah kenikmatan mie instan. Menonton tayangan Doraemon, jejak memori yang ditinggalkan adalah kehebatan seorang Doraemon yang memiliki alat untuk melawan keburukan di dunia. Iklan produk orang dewasa? Seringkali orang tua tak mengijinkan atau bahkan ya kami saat itu tau kalau itu bukan barang yang bisa dinikmati untuk anak kecil.

Saya lahir di era 90an dan jika meninjau kembali rekaman memori saya akan mentok ketika berusia 4 tahun. Sedikit lebih telat dari temuan hasil penelitian dari National Geographic yang menemukan bahwa ingatan pertama orang-orang terjadi selama paruh pertama tahun ketiga hidup mereka (3,24 tahun tepatnya).

Iklan rokok di saat itu memang masih menampilkan tayangan dan gambar orang merokok. Beberapa tahun kemudian, mungkin ketika saya mengenyam pendidikan di tingkat SMP, baru kemudian iklan rokok tak boleh lagi menampilkan bentuk tayangan/gambar aktivitas merokok. 

Sejujur-jujurnya, saya tak ikutan merokok walau menyaksikan tayangan/gambar iklan rokok. Saya tahu ayah, teman-temannya, dan tetangga saya menghisapnya tapi saya yang masih kecil waktu itu mengerti bahwa itu adalah produk untuk orang dewasa. Mengapa saya mengerti? Bimbingan orang tua adalah kunci. 

Anak-anak tak sepatutnya dibiarkan menyaksikan televisi sendiri. Tayangan apapun yang mereka saksikan haruslah dibarengi orang tua. Tugasnya orang tua adalah mengarahkan mana yang perlu ditonton dan mana yang perlu dijelaskan pada anak. Di sinilah kemudian penglihatan terhadap iklan tak sepenuhnya akan dikonsumsi mentah-mentah oleh anak.

iklan rokok

Stuart Hall menyebutnya sebagai teori encoding-decoding. Sebuah teori tentang tentang penerimaan pesan di khalayak. Dia menyebutkan ada tiga tipe; Pertama adalah Dominan di mana khalayak akan menerima pesan dari media secara utuh seperti yang diinginkan oleh media. Kedua adalah Negosias, menurut Paul Marris dan Sue Thornham dalam bukunya berjudul ‘Media Studies: A Reader’ bahwa proses ini adalah khalayak cukup memahami apa yang ditampilkan oleh media, tetapi tidak semua dimaknai sama.

Terakhir adalah alternatif atau oposisi. Masih menurut Paul Marris dan Sue Thornham dalam buku yang sama bahwa proses ini adalah khalayak sama sekali menolak pesan yang disampaikan media maka khalayak tersebut berada pada posisi oposisi. Mereka menolak pesan tersebut karena tidak sesuai dengan pengetahuan atau nilai yang dianutnya.

Dari sini sebenarnya menyalahkan rokok dan iklannya atas tingginya prevalensi perokok ini bukanlah suatu yang tepat. Munculnya teori itu menurut asumsi saya mungkin berdasarkan teori jarum hipodermik yang diperkenalkan oleh Harold Lasswell. Teori ini menggambarkan ketidakberdayaan khalayak massa sebagai dampak adanya pendapat umum atau opini publik yang dibangun oleh media massa sehingga menyebabkan perubahan perilaku pada khalayak massa. 

Teori klasik ini sebenarnya punya titik lemah. Pasalnya khalayak punya kekuatan tersendiri dalam menangkap pesan dan memaknainya. Misalnya kasus iklan rokok ini, pendampingan orang tua dan ajaran dari keluarganya bisa meminimalisir minat anak terhadap rokok. Selain itu, jika secara mentah disaksikan di media, anak-anak itu tak akan tahu juga apa yang sedang dihisap oleh orang-orang dewasa tersebut.

Apalagi iklan-iklan rokok sekarang sudah  diatur ketat sedemikian rupa. Tidak menampilkan tayangan merokok dan bahkan iklan rokok hanya boleh ditayangkan di jam-jam tertentu. Masihkah iklan rokok jadi alasan tumbuhnya prevalensi perokok anak? Saya pikir nalarnya sudah kacau jika mengiyakan hal tersebut.

Terus menyalahkan iklan rokok bukanlah sebuah kepatutan. Saya paham rokok merupakan hal yang dibenci beberapa orang namun janganlah mengkritik sesuatu yang tidak tepat sasaran. Iklan rokok tak bisa terus-terusan dijadikan alasan banyak anak yang merokok. Berkaca dari pengalaman yang saya ceritakan di awal, menonton iklan rokok pun tak akan membuat saya ingin membeli dan menghisapnya.

Satu hal yang utama adalah anak-anak butuh perlindungan yang tepat. Membiarkan mereka tanpa bimbingan memasuki dunia alam pikir orang dewasa melalui tayangan di media  adalah sebuah kesalahan fatal. Sefatal menyalahkan iklan rokok sebagai penyebab tumbuhnya perokok anak.