logo boleh merokok putih 2

Simplifikasi Cukai Rokok, Bahaya Laten Rencana Menkeu

pendapatan cukai rokok

Simplifikasi cukai rokok rencana Menteri Keuangan, Sri Mulyani, adalah uji coba pembunuhan massal produsen rokok kecil. Rencana ini sebenarnya sudah sejak lama antirokok mendorongnya, dan sepertinya kini pemangku kebijakan sedang ingin berbaik hati kepada mereka.

Baru-baru ini Sri Mulyani kembali menggaungkan rencana  kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok hingga menjadi 5 layer. Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Tembakau berupa Sigaret, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau iris ini tentu saja berpotensi besar mematikan pabrikan kecil dan menengah. 

Beban besar pada kebijakan ini adalah produsen rokok golongan II B, alias pabrikan kecil, yang harus membayar tarif tinggi. Padahal tidak bisa menutup mata jika industri rokok kecil telah menyumbang besar untuk pemasukan negara. 

Implikasinya tidak hanya kepada industri rokok kecil, petani tembakau dan buruh tani tembakau juga akan terkena dampak ini.

Simplifikasi cukai ini sebenarnya adalah urun rembuh dari salah satu perusahan asing yang sudah lama berada di Indonesia. Seandainya Menkeu terus mengininkan simplifikasi, maka yang terjadi adalah gelombang besar tenaga kerja IHT yang harus gigit jari sebab kehilangan pekerjaan.

Simplifikasi Cukai Rokok Membangkitkan Rokok Ilegal

Jika saja pemerintah mau sedikit cerdas, alih-alih mengefisiensikan pendapatan negara, simplifikasi cukai rokok ini malah akan merugikan negara. Kenapa? Sebab rokok ilegal akan semakin banyak bertebaran di pasar. 

Soal peningkatan rokok ilegal ini, pada tahun 2019 mengalami penurunan yang signifikan. Sebab pada tahun itu tidak ada kenaikan cukai alias Pak Jokowi perlu suara petani untuk membantunya menduduki kursi kepresidenan lagi. Menariknya, pada tahun itu, industri rokok tumbuh hingga 7,4% dan rokok ilegal turun 7% menjadi 3%.

Selama ini pemerintah telah “gila” menaikkan rokok dua digit tiga tahun berturut-turut, yakni 23% pada 2020, 12,5% pada 2021 dan 12% pada 2022. Kenaikan ini tidak hanya menekan ruang gerak industri hasil tembakau, tetapi juga berhasil mengancam hajat puluhan ribu petani tembakau dan setiap orang yang bergantung hidup terhadapnya.

Semoga pemerintah lebih bijak lagi dalam menetapkan kebijakan terkait industri hasil tembakau. Sebab tidak hanya rakyat yang menjadi pertaruhannya, melainkan juga negara.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Dhani Wicaksono

Dhani Wicaksono

Pegiat Literasi Komunitas Baca Tangerang