kemasan rokok polos
OPINI

Kemasan Polos Rokok Picu Potensi Kehilangan Pendapatan Negara Senilai Ratusan Triliun Rupiah Tiap Tahunnya

Kemasan polos rokok tanpa merek yang diusulkan oleh Kemenkes dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dan regulasi PP Nomor 28 Tahun 2024 menjadi salah satu polemik yang makin mendorong industri hasil tembakau ke jurang kematiannya.

Kemasan polos rokok tanpa merek ini merupakan wacana lama dalam FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) di bawah WHO. Di Indonesia perjanjian ini tidak diratifikasi. Sebab, mempertimbangkan aspek penghidupan rakyat Indonesia yang sebagian bergantung dari industri hasil tembakau serta industri yang terkait. FCTC juga menjadi kontroversial karena disinyalir ada peran dari perusahan multinasional farmasi yang hendak merebut bisnis nikotin di dunia.

Tetapi gejala yang ada, wacana dalam FCTC satu per satu diadopsi oleh regulasi dan terus didorong oleh Kementerian Kesehatan. Yang terakhir ini adalah kemasan polos rokok tanpa merek yang dimasukkan dalam PP 28/2024 dan RMPK. Sebuah peraturan dan rancangan peraturan yang seharusnya mengatur aspek kesehatan malah merambah aspek industri.

Kondisi ini yang diperkirakan akan memperburuk kondisi industri hasil tembakau yang kian terpuruk belakangan ini. Penyebabnya, kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi dan serbuan rokok ilegal yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah Indonesia.

Isu utama dari penerapan kemasan rokok polos tanpa merek melalui draf RDMK. Kebijakan yang didorong oleh Kementerian Kesehatan ini mengehendaki adanya standar baru dalam kemasan produk tembakau. Yakni, unsur merek atau hak kekayaan intelektual produk dihilangkan.

Memicu Ledakan Rokok Ilegal

Kebijakan kemasan rokok polos ini dengan menghilangkan unsur merek atau hak kekayaan intelektual produk justru memberikan angin segar bagi keberadaan rokok ilegal. Dengan unsur merek dihilangkan membuat rokok ilegal akan makin leluasa untuk memasarkan produknya.

Keberadaan rokok ilegal ini sudah memberi tekanan yang dahsyat bagi industri hasil tembakau yang legal. Penerapan cukai dan pajak yang disetorkan ke negara mencapai 78%. Bahkan, bisa lebih tinggi lagi dari harga banderol rokok. Sisanya baru diperoleh pabrik dengan memasukkan biaya bahan baku, tenaga kerja, kemasan, pengangkutan, promosi, dan lain sebagainya.

Tekanan dari rokok ilegal dan penurunan daya beli masyarakat membuat volume produksi mengalami penurunan pada 2022 sebesar 322,88 miliar batang dan 2023 sebesar 318,14 miliar batang. Volume ini tidak bisa menjangkau level pra-pandemi sebesar 355,90 miliar batang.

Data dari Gappri menunjukkan kategori rokok golongan I yang mengalami penurunan paling drastis, turun 101,51 miliar batang dari 2020 sampai 2023. Penurunan produksi itu mencapai 38,35 miliar batang. Terindikasi konsumsi rokok golongan I yang legal hanya tersisa 62,8% dibanding konsumsi tahun 2019.

Bila kemasan rokok polos diterapkan kondisi pabrik rokok yang bergerak secara legal dan berkontribusi bagi penerimaan pendapatan negara akan makin terpukul.

Potensi Hilangnya Pendapatan Negara

Penerapan kemasan rokok polos ini memberikan dampak pula pada makin besarnya potensi pendapatan negara yang hilang karena tergerus oleh ledakan produksi dan konsumsi rokok ilegal. Dengan kemasan rokok polos maka akan makin sulit bagi pengawasan dan penindakan rokok ilegal di lapangan.

Tekanan dari kenaikan cukai rokok membuat harga rokok melambung tinggi, sialnya lagi terjadi penurunan daya beli masyarakat sehingga para perokok memilih tetap mengebul tanpa peduli rokok itu bercukai atau tidak. Hal ini tentu jauh dari tujuan kenaikan cukai untuk membuat jumlah perokok berkurang. Ya, benar konsumsi rokok legal berkurang tetapi konsumsi dialihkan ke rokok yang harganya lebih murah. Di sini rokok ilegal yang meninggalkan komponen cukai dan pajak mendapat tempat.

Survei Indodata yang dirilis pada Oktober 2021 estimasi data rokok ilegal di Indonesia oleh SUSENAS 2020 terkonfirmasi oleh hasil survei 26,38% relatif terhadap konsumsi rokok nasional. Sedangkan estimasi prediksi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal tersebut sebesar Rp53,18 triliun.

Jika tidak dicermati dengan baik, pendapatan negara melalui cukai misalnya tampak tidak ada kejanggalan. Data menunjukkan pada 2021 sebesar Rp188,8 triliun, tahun 2022 naik menjadi Rp218,62 triliun. Baru pada 2023 mengalami penurunan menjadi Rp213,49 triliun.

Tetapi, kejanggalan itu terlihat jelas mengingat telah terjadi kenaikan tarif cukai yang seperti di tahun-tahun sebelumnya mampu menjaga penerimaan negara tetap mengalami pertumbuhan. Hal ini belum menjangkau konsumen baru yang seharusnya memberikan kontribusi pada penerimaan negara.

Di sini ada indikasi bahwa makin tahun sebenarnya pendapatan negara tergerus makin besar dengan adanya faktor x yakni keberadaan rokok ilegal serta konsumsinya yang makin marak di masyarakat. Regulasi baru ini saya perkirakan akan menghilangkan potensi pendapatan negara yang angkanya fantastis, mencapai ratusan triliun rupiah tiap tahunnya.