kemasan polos
OPINI

Bisnis Rokok yang Terguncang karena Hadirnya PP Kesehatan Terbaru

Minggu lalu, Jokowi baru saja menerbitkan peraturan baru tentang kesehatan. PP Kesehatan itu bernomor 28 Tahun 2024. PP tersebut adalah peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023. Anehnya, meski berlabel kesehatan, ternyata di dalamnya mengatur tentang bisnis rokok.

Salah satu pasal yang menjadi headline di antara banyak pasal adalah pasal 434. Dalam pasal tersebut, khususnya di ayat 1c termaktub “secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.” Pasal ini berpotensi menghancurkan hajat hidup pedagang kecil, mulai dari pedagang asongan hingga pedagang di Warung Madura. 

Tidak hanya ayat 1c melainkan juga 1e. Dalam pasal 434 ayat 1e, “dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.” Pasal ini juga berpotensi menghilangkan pasar tradisional. 

Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro menyatakan bahwa adanya kedua pasal tersebut mengancam keberlangsungan usaha pasar.

“Kami menolak keras dua larangan ini karena beberapa faktor. Salah satunya karena banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah, institusi pendidikan, atau fasilitas bermain anak. Peraturan ini juga dapat menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak berasal dari penjualan produk tembakau. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bagi kami sebagai pelaku usaha,” ungkap, Suhendro dalam keterangannya, Minggu (4/8/2024).

Dua Ayat dalam Pasal 434 Memang Bermasalah

Menurut Suhendro, ada potensi setidaknya 9 juta pekerja hilang hajat hidupnya karena kehadiran ayat-ayat tersebut. Tentu saja ini mengerikan. Ini sama saja pemerintah menambah jumlah pengangguran baru. Dan, seperti sebelum-sebelumnya, belum ada tindakan konkret dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. 

Bahkan, jangankan masalah pengangguran baru. Bagaimana pengawasan dan penerapannya? Apakah di setiap warung atau radius sekian meter akan ada pengawasan dari aparat yang berwenang? Sebab, jika tidak, ini sama saja seperti program pemerintah sebelumnya. Hobi bikin aturan tanpa perlu pengawasan dan penegakan. 

Sejauh ini, dari regulasi-regulasi yang menyangkut tentang Industri Hasil Tembakau (IHT), hanya sedikit penegakan dan penindakan. Itu pun sepertinya penindakan yang lebih banyak menyasar ke masyarakat kelas menengah bawah. Contohnya, penindakan rokok ilegal. 

Hanya menyasar kepada toko kelontong, Warung Madura, atau pedagang asongan. Sementara produsennya dibiarkan melenggang bebas begitu saja. Tentu saja ini menjadi masalah tersendiri bagi negara yang sampai saat ini belum terselesaikan. 

Daripada melarang penjual menjualkan rokok eceran, hambok bikin aturan tentang barang siapa yang hendak membeli produk tembakau wajib menunjukkan KTP. Masalahnya, apakah bisa peraturan tersebut hadir untuk kemudian ditegakkan?

Jadi, sebenarnya bukan masalah aturan baru, melainkan apakah ada penegakan aturan bagi yang melanggar? Ini yang dari dulu sampai sekarang tidak jelas. 

Potensi Rokok Ilegal Meningkat, Bisnis Rokok Legal Terganggu

Alasan utama di balik pelarangan penjualan rokok eceran adalah menurunkan prevalensi perokok anak. Data mereka, kelompok anti rokok itu, menunjukkan kenaikan dari 8,7% menjadi 9,1% untuk perokok di bawah umur (Riskesdas, 2018).

Sedangkan, data dari BPS 2022, jumlah perokok di bawah umur justru menurun persentasenya. Dari 3,74% menjadi 3,69%. Lalu, mana yang sebaiknya diikuti? Itu semua tergantung perspektif masing-masing. Namun, yang jelas, dengan semakin orang tidak bisa membeli rokok legal, dari sebungkus atau eceran, mereka bisa saja beralih ke yang ilegal.

Padahal mereka membeli eceran untuk menikmati yang legal. Harga yang lebih terjangkau. Namun, apa daya, potensi rokok ilegal akan semakin meningkat. Data 2023 saja sudah menunjukkan pertumbuhan rokok ilegal mencapai 7%.

Kalo sudah begini, sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja bahwa bisnis rokok legal akan tenggelam.