Pernah tidak kalian bertanya-tanya, sejak kapan cukai rokok diberlakukan di Indonesia?
Jawabannya adalah sejak zaman kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20. Kala itu pemerintah kolonial mengaturnya dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, atau disebut juga sebagai Tabaksaccijns Ordonnantie (ordonansi cukai tembakau).
Penelitian oleh Van der Reijden dalam buku “Kretek Djawa” menunjukan kalau pembuatan kebijakan ini tidak lain sebagai konsekuensi dari menjamurnya perdagangan rokok di wilayah Hindia Belanda sejak 1880 hingga 1931.
Dalam buku itu pula, Van der Reijden memaparkan bahwa pada 1932 terdapat 165 pabrik rokok yang berada di Kudus, Jawa Tengah. Pada tahun 1931, penjualan rokok putih telah mencapai 7,1 miliar batang per tahun. Sementara, produksi rokok kretek mencapai 6,42 miliar batang per tahun.
Dari data itu menengaskan bahwa rokok menjadi komoditas unggulan, penyerap tenaga kerja, dan memiliki potensi yang sangat besar untuk mengisi pendapatan negara. Sehingga, terbukti sudah bahwa cukai rokok ternyata sudah menjadi donatur bagi suatu pemerintahan sejak zaman kolonial. Dan hal itu masih berlangsung sampai sekarang.
Cukai Rokok Jadi Pengganda Kekayaan Belanda
Pemberlakuan cukai rokok pada masa kolonial itu ternyata menjadi momok menakutkan bagi para pengusaha kretek bumiputera. Sebab, kebijakan itu justru menjadi mesin pengganda untuk kekayaan para kompeni.
Di bawah masa kolonial Belanda, pemerintah mematok pajak 20% dari harga eceran. Terkesan kejam memang. Karena kolonial Belanda menghisap kekayaan dari Industri Hasil Tembakau melalui pajak rokok.
Rezim Indonesia Ternyata Lebih Kejam Soal Cukai Rokok
Namun, rezim pemerintahan Indonesia ternyata lebih kejam dari itu. Terutama sejak Jokowi menjadi presiden.
Pasca kemerdekaan, Soekarno pernah menghapus cukai rokok untuk meningkatkan ekonomi. Tapi itu tidak berlangsung lama. Hanya lima tahun saja, tepatnya pada 1963-1968.
Karena semenjak Orde Baru hadir, cukai rokok kembali berlaku sampai era Reformasi saat ini.
Dan di era Jokowi, cukai rokok bahkan bisa naik setahun sekali sebesar 10%. Alias, selama 10 tahun Jokowi 10 memimpin, cukai rokok sudah naik 100% lebih. Itu baru perhitungan cukai saja, belum pajak lainnya seperti pajak PPn dan pajak yang masuk ke Pemda.
Ratusan Triliun Mausk ke Kas Negara
Contoh riilnya adalah Djarum Super yang seharga Rp38.000 dengan isi 16 batang.
Hitungannya, tarif cukai SKM Golongan 1 x jumlah batang Rp1.231 x 16 batang, totalnya Rp19.696.
Kemudian dari PPn rokok 16 batang: 10,7% x RP38.000=1.969. Lalu ada juga pajak yang mesti masuk ke Pemda dengan besaran tarif cukai: 19.696 x 10%=Rp1.969.
Jadi total pajak yang negara terima dari sebungkus rokok Djarum Super isi 16 batang seharga Rp38.000 adalah: Rp25.731.
Artinya, pabrik rokok Djarum Super hanya mendapatkan uang Rp12.269. Dengan kata lain, sekitar 60% keuntungan masuk ke negara dari sebungkus rokok.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bagaimana pemerintah Indonesia jauh lebih kejam daripada pemerintah kolonial sebagai pencetus cukai rokok. Pantas kalau dari sana ratusan triliun rupiah masuk ke kas negara yang transparansinya pun perlu dipertanyakan itu: uangnya untuk apa, ke mana, atau untuk siapa?
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin