\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
<\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n
  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

    Paling Populer

    \n
    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

      Paling Populer

      \n
      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

          Paling Populer

          \n

          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

              Paling Populer

              \n

              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                  Paling Populer

                  \n

                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                      Paling Populer

                      \n

                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                          Paling Populer

                          \n
                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                Paling Populer

                                \n

                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                      Paling Populer

                                      \n

                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                            Paling Populer

                                            \n

                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                  Paling Populer

                                                  \n

                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                        Paling Populer

                                                        \n

                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                              Paling Populer

                                                              \n

                                                              Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                              <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                              Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                              Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                              Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                              1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                              2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                              3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                              4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                              5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                  Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                  Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                  Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                  Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                  Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                    Paling Populer

                                                                    \n

                                                                    Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                    <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                    Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                    Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                    Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                    1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                    2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                    3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                    4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                    5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                          Paling Populer

                                                                          \n

                                                                          Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                          <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                          Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                          Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                          Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                Paling Populer

                                                                                \n

                                                                                Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                      Paling Populer

                                                                                      \n

                                                                                      Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                      Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                            Paling Populer

                                                                                            \n

                                                                                            Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                            Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                  Paling Populer

                                                                                                  \n

                                                                                                  Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                        Paling Populer

                                                                                                        \n
                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                        Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                              Paling Populer

                                                                                                              \n

                                                                                                              Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                              Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                              Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                              1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                              2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                              3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                              4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                              5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                  Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                  Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                  Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                  Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                  Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                    Paling Populer

                                                                                                                    \n

                                                                                                                    Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                    Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                    Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                    1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                    2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                    3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                    4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                    5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                          Paling Populer

                                                                                                                          \n

                                                                                                                          Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                          Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                          Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                Paling Populer

                                                                                                                                \n

                                                                                                                                Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                      Paling Populer

                                                                                                                                      \n

                                                                                                                                      Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                      Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                            Paling Populer

                                                                                                                                            \n

                                                                                                                                            Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                            Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                  Paling Populer

                                                                                                                                                  \n

                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                        Paling Populer

                                                                                                                                                        \n

                                                                                                                                                        Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                              Paling Populer

                                                                                                                                                              \n

                                                                                                                                                              Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                              Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                              1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                              2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                              3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                              4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                              5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                  Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                  Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                  Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                  Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                  Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                    Paling Populer

                                                                                                                                                                    \n
                                                                                                                                                                    \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                    Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                    1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                    2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                    3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                    4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                    5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                          Paling Populer

                                                                                                                                                                          \n

                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                          Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                Paling Populer

                                                                                                                                                                                \n

                                                                                                                                                                                Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                      Paling Populer

                                                                                                                                                                                      \n

                                                                                                                                                                                      Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                      Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                            Paling Populer

                                                                                                                                                                                            \n

                                                                                                                                                                                            Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                            Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                  Paling Populer

                                                                                                                                                                                                  \n

                                                                                                                                                                                                  Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                        Paling Populer

                                                                                                                                                                                                        \n

                                                                                                                                                                                                        Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                        <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                              Paling Populer

                                                                                                                                                                                                              \n
                                                                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                              <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                              Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                              1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                              2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                              3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                              4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                              5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                  Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                  Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                  Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                  Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                  Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                    Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                    \n

                                                                                                                                                                                                                    Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                    <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                    Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                    1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                    2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                    3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                    4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                    5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                          Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                          \n

                                                                                                                                                                                                                          Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                          <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                          Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                \n

                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                      Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                      \n

                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                      <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                      Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                            Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                            \n

                                                                                                                                                                                                                                            Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                            <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                            Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                  Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                  \n

                                                                                                                                                                                                                                                  Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                        Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                        \n

                                                                                                                                                                                                                                                        Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                              Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                              \n

                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                              1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                              2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                              3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                              4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                              5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                    Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                    \n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                    1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                    3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                    4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                    5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                          Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                          \n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                      \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                            \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                              1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                              5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dilihat dari putusan Bahtsul Masail di atas, pada awalnya menghisap kretek dihukumi \u201cboleh\u201d, namun dengan kondisi tertentu menjadi \u201cWajib\u201d. Cerita penetapan hukum menghisap kretek dalam forum Bahtsul Masail di atas, telah menyebar di kalangan masyarakat Kudus, dan menjadi konsumsi publik, serta bersifat mengikat sampai sekarang. Sehingga banyak Kiai\/Ulama\u2019 Kudus tidak mempersoalkan lagi, apalagi membahas kembali. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Mungkin di benak para hadirin terlintas pikiran \u201capa yang dibahas sudah dijawab secara tersirat oleh KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) dengan menghisap kretek\u201d. Pada akhirnya, pembahasan tetap dilaksanakan. Diceritakan KH. Sya\u2019roni juga, situasi saat itu tidak ada Kiai\/Ulama\u2019 yang hadir menghukumi \u201charam\u201d, pada akhirnya diputuskan KH. Turaikhan, dengan hukum \u201c boleh\u201d, disela-sela KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) memberikan penjelasan, ada salah satu hadirin mengacungkan jarinya, beliau adalah KH. Hambali (Al Maghfurlah), sambil berkata; \u201ckulo Kiai, menawi boten udud kulo mboten saget mucal\u201d (saya Kiai, kalau tidak sambil menghisap kretek, saya tidak dapat mengajar), disertai argumen dan penjelasanannya. Kemudian KH. Turaikhan, memberikan jawaban dan tanggapan kepada KH. Hambali, \u201cnek ngono, kanggo kuwi hukumi wajib\u201d (kalau begitu, untuk kamu hukumnya wajib mengkonsumsi kretek).  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dilihat dari putusan Bahtsul Masail di atas, pada awalnya menghisap kretek dihukumi \u201cboleh\u201d, namun dengan kondisi tertentu menjadi \u201cWajib\u201d. Cerita penetapan hukum menghisap kretek dalam forum Bahtsul Masail di atas, telah menyebar di kalangan masyarakat Kudus, dan menjadi konsumsi publik, serta bersifat mengikat sampai sekarang. Sehingga banyak Kiai\/Ulama\u2019 Kudus tidak mempersoalkan lagi, apalagi membahas kembali. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Mungkin di benak para hadirin terlintas pikiran \u201capa yang dibahas sudah dijawab secara tersirat oleh KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) dengan menghisap kretek\u201d. Pada akhirnya, pembahasan tetap dilaksanakan. Diceritakan KH. Sya\u2019roni juga, situasi saat itu tidak ada Kiai\/Ulama\u2019 yang hadir menghukumi \u201charam\u201d, pada akhirnya diputuskan KH. Turaikhan, dengan hukum \u201c boleh\u201d, disela-sela KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) memberikan penjelasan, ada salah satu hadirin mengacungkan jarinya, beliau adalah KH. Hambali (Al Maghfurlah), sambil berkata; \u201ckulo Kiai, menawi boten udud kulo mboten saget mucal\u201d (saya Kiai, kalau tidak sambil menghisap kretek, saya tidak dapat mengajar), disertai argumen dan penjelasanannya. Kemudian KH. Turaikhan, memberikan jawaban dan tanggapan kepada KH. Hambali, \u201cnek ngono, kanggo kuwi hukumi wajib\u201d (kalau begitu, untuk kamu hukumnya wajib mengkonsumsi kretek).  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dilihat dari putusan Bahtsul Masail di atas, pada awalnya menghisap kretek dihukumi \u201cboleh\u201d, namun dengan kondisi tertentu menjadi \u201cWajib\u201d. Cerita penetapan hukum menghisap kretek dalam forum Bahtsul Masail di atas, telah menyebar di kalangan masyarakat Kudus, dan menjadi konsumsi publik, serta bersifat mengikat sampai sekarang. Sehingga banyak Kiai\/Ulama\u2019 Kudus tidak mempersoalkan lagi, apalagi membahas kembali. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebelum memulai pembahasan biasanya KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) menanyakan tentang apa yang akan dibahas. Diceritakan oleh KH. Sya\u2019roni Ahmadi, situasi dan kondisi saat itu KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah), bertanya di forum, \u00a0\u201copo iki takonane?\u201d (pertanyaannya apa), di jawab yang hadir saat itu, \u201c anu Mbah bab kretek\u201d (itu bab menghisap kretek), lalu KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) menyambung jawaban hadirin, \u201coooo, bab kretek, kretekku gowo rene dikik\u201d (ooo, bab menghisap kretek, kretekku bawa kemari dulu), kemudian KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) mengambil satu batang kretek dari bungkusnya disulut dan dihisap. Selesai menyulut kretek, kembali KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) berbicara, \u201cwes kono dibahas\u201d (sudah sana dibahas). Setelah diperintahkan untuk dibahas, suasana hening sejenak. \u00a0<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Mungkin di benak para hadirin terlintas pikiran \u201capa yang dibahas sudah dijawab secara tersirat oleh KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) dengan menghisap kretek\u201d. Pada akhirnya, pembahasan tetap dilaksanakan. Diceritakan KH. Sya\u2019roni juga, situasi saat itu tidak ada Kiai\/Ulama\u2019 yang hadir menghukumi \u201charam\u201d, pada akhirnya diputuskan KH. Turaikhan, dengan hukum \u201c boleh\u201d, disela-sela KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) memberikan penjelasan, ada salah satu hadirin mengacungkan jarinya, beliau adalah KH. Hambali (Al Maghfurlah), sambil berkata; \u201ckulo Kiai, menawi boten udud kulo mboten saget mucal\u201d (saya Kiai, kalau tidak sambil menghisap kretek, saya tidak dapat mengajar), disertai argumen dan penjelasanannya. Kemudian KH. Turaikhan, memberikan jawaban dan tanggapan kepada KH. Hambali, \u201cnek ngono, kanggo kuwi hukumi wajib\u201d (kalau begitu, untuk kamu hukumnya wajib mengkonsumsi kretek).  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dilihat dari putusan Bahtsul Masail di atas, pada awalnya menghisap kretek dihukumi \u201cboleh\u201d, namun dengan kondisi tertentu menjadi \u201cWajib\u201d. Cerita penetapan hukum menghisap kretek dalam forum Bahtsul Masail di atas, telah menyebar di kalangan masyarakat Kudus, dan menjadi konsumsi publik, serta bersifat mengikat sampai sekarang. Sehingga banyak Kiai\/Ulama\u2019 Kudus tidak mempersoalkan lagi, apalagi membahas kembali. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \u201ckados pundi hukumipun ngkretek (bagaimana hukum menghisap kretek)?\u201d<\/em>--pertanyaan dari<\/em> Baletengahan--<\/em><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebelum memulai pembahasan biasanya KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) menanyakan tentang apa yang akan dibahas. Diceritakan oleh KH. Sya\u2019roni Ahmadi, situasi dan kondisi saat itu KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah), bertanya di forum, \u00a0\u201copo iki takonane?\u201d (pertanyaannya apa), di jawab yang hadir saat itu, \u201c anu Mbah bab kretek\u201d (itu bab menghisap kretek), lalu KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) menyambung jawaban hadirin, \u201coooo, bab kretek, kretekku gowo rene dikik\u201d (ooo, bab menghisap kretek, kretekku bawa kemari dulu), kemudian KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) mengambil satu batang kretek dari bungkusnya disulut dan dihisap. Selesai menyulut kretek, kembali KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) berbicara, \u201cwes kono dibahas\u201d (sudah sana dibahas). Setelah diperintahkan untuk dibahas, suasana hening sejenak. \u00a0<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Mungkin di benak para hadirin terlintas pikiran \u201capa yang dibahas sudah dijawab secara tersirat oleh KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) dengan menghisap kretek\u201d. Pada akhirnya, pembahasan tetap dilaksanakan. Diceritakan KH. Sya\u2019roni juga, situasi saat itu tidak ada Kiai\/Ulama\u2019 yang hadir menghukumi \u201charam\u201d, pada akhirnya diputuskan KH. Turaikhan, dengan hukum \u201c boleh\u201d, disela-sela KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) memberikan penjelasan, ada salah satu hadirin mengacungkan jarinya, beliau adalah KH. Hambali (Al Maghfurlah), sambil berkata; \u201ckulo Kiai, menawi boten udud kulo mboten saget mucal\u201d (saya Kiai, kalau tidak sambil menghisap kretek, saya tidak dapat mengajar), disertai argumen dan penjelasanannya. Kemudian KH. Turaikhan, memberikan jawaban dan tanggapan kepada KH. Hambali, \u201cnek ngono, kanggo kuwi hukumi wajib\u201d (kalau begitu, untuk kamu hukumnya wajib mengkonsumsi kretek).  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dilihat dari putusan Bahtsul Masail di atas, pada awalnya menghisap kretek dihukumi \u201cboleh\u201d, namun dengan kondisi tertentu menjadi \u201cWajib\u201d. Cerita penetapan hukum menghisap kretek dalam forum Bahtsul Masail di atas, telah menyebar di kalangan masyarakat Kudus, dan menjadi konsumsi publik, serta bersifat mengikat sampai sekarang. Sehingga banyak Kiai\/Ulama\u2019 Kudus tidak mempersoalkan lagi, apalagi membahas kembali. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang<\/em>, idu abang<\/em>) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa, yang secara common sense<\/em> lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. \u201cMereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.\u201d Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale<\/em> mengambarkan: \u201cMereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan<\/em> masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan<\/em> ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen<\/em>), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen<\/em> atau kenduri<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Rokok <\/em>juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal<\/em>, misalnya, rokok kawung<\/em> selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai \u201crokok sajen\u201d<\/em>. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah \u201cnyuguh\u201d<\/em> atau \u201cnyungsung\u201d<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia \u201cmeludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda\u201d. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Implikasinya kebiasaan nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Awalnya \u201crokok putih\u201d menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut \u201cbungkus\u201d<\/em>, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe<\/em>) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot<\/em> atau kawung<\/em> atau klembak menyan<\/em>. Merokok bungkus<\/em> dikaitkan dengan gaya hidup \u201ckuno\u201d ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 \u2013 1890. Praktik tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em> pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em> dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada awalnya ia disebut \u201crokok cengkeh\u201d. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, \u201ckretek\u201d. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope<\/em>) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: \u201ckretek-kretek\u201d<\/em>. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity<\/em>), yang notabene dihadap-hadapkan dengan \u201crokok putih\u201d ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam konteks inilah penamaan \u201crokok putih\u201d yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self<\/em>) dan mereka (the other<\/em>). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state<\/em>) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih<\/em>, nginang<\/em> atau nyusur<\/em>.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Tidak Sekadar Rokok, Kretek Simbol Nasionalisme Melawan Penjajah","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-tidak-sekadar-rokok-kretek-simbol-nasionalisme-melawan-penjajah","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-25 11:39:23","post_modified_gmt":"2019-03-25 04:39:23","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5571","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5559,"post_author":"877","post_date":"2019-03-20 09:42:47","post_date_gmt":"2019-03-20 02:42:47","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur<\/em> atau susur<\/em>. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur<\/em>). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih<\/em> atau nginang<\/em>. Dalam budaya nyirih<\/em> atau nginang<\/em> nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> dalam bahasa Jawa secara common sense<\/em> digunakan secara sinonim. Nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Panjangnya usia tradisi nyirih<\/em>, nginang<\/em> dan nyusur<\/em> masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang<\/em>) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih<\/em> atau nginang<\/em>\u2014karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur<\/em>\u2014sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako<\/em> atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, \u201cIki tambaku\u201d<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata \u201ctembakau\u201d sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata \u201cbako\u201d<\/em> atau \u201cmbako\u201d<\/em> dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis \u201ctumbacco\u201d<\/em> dan \u201ctobacco\u201d<\/em>. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Paling Populer

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Saat pembahasan mengenai kretek, bertempat di Masji al-Aqsho Menara Kudus yang dipimpin oleh KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah), redaksi pertanyaaannya adalah:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \u201ckados pundi hukumipun ngkretek (bagaimana hukum menghisap kretek)?\u201d<\/em>--pertanyaan dari<\/em> Baletengahan--<\/em><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebelum memulai pembahasan biasanya KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) menanyakan tentang apa yang akan dibahas. Diceritakan oleh KH. Sya\u2019roni Ahmadi, situasi dan kondisi saat itu KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah), bertanya di forum, \u00a0\u201copo iki takonane?\u201d (pertanyaannya apa), di jawab yang hadir saat itu, \u201c anu Mbah bab kretek\u201d (itu bab menghisap kretek), lalu KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) menyambung jawaban hadirin, \u201coooo, bab kretek, kretekku gowo rene dikik\u201d (ooo, bab menghisap kretek, kretekku bawa kemari dulu), kemudian KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) mengambil satu batang kretek dari bungkusnya disulut dan dihisap. Selesai menyulut kretek, kembali KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) berbicara, \u201cwes kono dibahas\u201d (sudah sana dibahas). Setelah diperintahkan untuk dibahas, suasana hening sejenak. \u00a0<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Mungkin di benak para hadirin terlintas pikiran \u201capa yang dibahas sudah dijawab secara tersirat oleh KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) dengan menghisap kretek\u201d. Pada akhirnya, pembahasan tetap dilaksanakan. Diceritakan KH. Sya\u2019roni juga, situasi saat itu tidak ada Kiai\/Ulama\u2019 yang hadir menghukumi \u201charam\u201d, pada akhirnya diputuskan KH. Turaikhan, dengan hukum \u201c boleh\u201d, disela-sela KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) memberikan penjelasan, ada salah satu hadirin mengacungkan jarinya, beliau adalah KH. Hambali (Al Maghfurlah), sambil berkata; \u201ckulo Kiai, menawi boten udud kulo mboten saget mucal\u201d (saya Kiai, kalau tidak sambil menghisap kretek, saya tidak dapat mengajar), disertai argumen dan penjelasanannya. Kemudian KH. Turaikhan, memberikan jawaban dan tanggapan kepada KH. Hambali, \u201cnek ngono, kanggo kuwi hukumi wajib\u201d (kalau begitu, untuk kamu hukumnya wajib mengkonsumsi kretek).  <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dilihat dari putusan Bahtsul Masail di atas, pada awalnya menghisap kretek dihukumi \u201cboleh\u201d, namun dengan kondisi tertentu menjadi \u201cWajib\u201d. Cerita penetapan hukum menghisap kretek dalam forum Bahtsul Masail di atas, telah menyebar di kalangan masyarakat Kudus, dan menjadi konsumsi publik, serta bersifat mengikat sampai sekarang. Sehingga banyak Kiai\/Ulama\u2019 Kudus tidak mempersoalkan lagi, apalagi membahas kembali. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Cerita situasi dan kondisi Bahtsul Masail, diapresiasi dan diinterpretasikan Kiai\/Ulama\u2019Kudus lebih kontekstual, salah satunya KH. Fatkhur Rahman, beliau bercerita;  saat KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi (Al Maghfurlah) populer dengan sebutan Mbah Tur memimpin munadzoroh<\/em> ada pertanyaan: bagaimana hukumnya kretek? Mbah Tur malah mengambil kretek, menyulut dan menghisapnya, dengan begitu diasumsikan hukumnya \u201chalal\u201d (jadi  setelah itu sudah tidak perlu dibahas lagi soal kretek). KH. Fatkhur Rahman juga menceritakan ada satu alasan kuat, mengapa halal, karena para Kiai itu tidak mau barang subhat<\/em> (tidak jelas posisinya), apalagi haram. Ketika para Kiai\/Ulama\u2019 besar menghisap kretek, otomatis tidak haram. Tuhan menciptakan sesuatu untuk dinikmati itu ada dua, halal atau haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dasar hukum menghisap kretek adalah mubah, sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkadang menjadi wajib, juga menjadi haram. Dasar utamanya adalah  \u201cla dhororo wala dhiroro\u201d. <\/em>Hukumnya seperti  mengkonsumsi gula, ketika kena penyakit gula, maka haram atau tidak boleh mengkonsumsi gula. Begitu pula ketika punya darah tinggi, maka tidak boleh makan daging, dan seterusnya. Dimana \u201calhukmu yadurru ma\u2019a illatihi\u201d<\/em>(hukum itu bisa beralih tergantung alasannya). Membeli kretek dihukumi tidak boleh (haram), jika uang yang dipakai semestinya untuk belanja kebutuhan pokok, membayar sekolah dan lain sebagainya. Menghisap kretek menjadi wajib, ketika tidak menghisap sulit berpikir, lemas, tidak bisa kerja dan lain sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Fenomena Hukum Rokok bagi Ulama\u2019 Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"fenomena-hukum-rokok-bagi-ulama-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-10 10:37:16","post_modified_gmt":"2019-04-10 03:37:16","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5621","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5614,"post_author":"877","post_date":"2019-04-08 10:38:58","post_date_gmt":"2019-04-08 03:38:58","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Salah satu karya ulama Nusantara mengenai rokok yang biasa orang NU kenal adalah kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes. Kitab yang masih dikaji beberapa pesantren di Jawa ini sebenarnya berjudul lengkap:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        (<\/strong> \u0634\u0631\u062d \u0645\u0646\u0638\u0648\u0645\u0629 \u0625\u0631\u0634\u0627\u062f \u0627\u0644\u0625\u062e\u0648\u0627\u0646 \u0644\u0628\u064a\u0627\u0646 \u0634\u0631\u0628 \u0627\u0644\u0642\u0647\u0648\u0629 \u0648\u0627\u0644\u062f\u062e\u0627\u0646)<\/strong><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \u201cSyarhi Mandzumati Irsyadil Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u201d, t<\/em>erjemahannya adalah penjabaran terhadap karya hafalan berjudul \u2018Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan\u2019<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Bentuk kitab ini adalah syarh (penjabaran) terhadap karya sebelumnya yang berbentuk hafalan dengan judul Irsyadul Ikhwani li Bayani Syurbil Qahwati wad Dukhan (Tuntunan bagi segenap saudara untuk menjelaskan minum kopi dan mengisap rokok).<\/em> Karya sebelumnya hanya berupa mandzumah<\/em> (hafalan dalam bentuk bait-bait puitik), kemudian dijabarkan melalui syarh<\/em> (penjelasan). Baik mandzumah maupun syarh tersebut ditulis oleh sosok yang sama yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada awalnya Syeikh Ihsan menulis mandzumah dengan tujuan agar mudah dihafal oleh khalayak. Setelah itu ia merasa bahwa mandzumah tersebut butuh penjabaran agar lebih bisa dipahami khalayak. Maka lahirlah karya berupa syarh tersebut yang sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan kitab Irsyadul Ikhwan<\/em>. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sang pengarang kitab yang lebih sering disebut sebagai Syeikh Ihsan Jampes adalah Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri Jawa Timur. Jampes kini merupakan nama sebuah dusun yang termasuk bagian dari desa Putih kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri. Ayah Syeikh Ihsan, KH Muhammad Dahlan, adalah pesantren yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Jampes, dirintis sejak 1886 M. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M dengan nama Bahrul Ulum tapi biasa dipanggil Bakri, sewaktu kecil dikenal bandel namun memiliki hafalan yang sangat kuat. Ia juga dikenal cepat menyerap ilmu pengetahuan sehingga masa pembelajaannya di sebuah pesantren tidak pernah berlangsung lama. Banyak pesantren telah ia singgahi termasuk pesantren di Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin (paman Bakri), Pesantren Gondanglegi Nganjuk, Pesantren Jamsaren Solo, pesantren Darat Semarang sewaktu diasuh KH Dahlan menantu KH Soleh Darat, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang serta pesantren asuhan Syaikhuna KH Cholil Bangkalan Madura.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Setelah melakukan ibadah haji pada tahun 1926 nama Bakri diganti menjadi Ihsan. Tahun 1928 ayah Syeikh Ihsan meninggal, namun baru pada tahun 1932 ia baru mau menjadi pengasuh pesantren Jampes setelah sebelumnya diserahkan kepada adiknya yang bernama KH Cholil. Saat ini Pesantren Jampes masih eksis dengan nama Al Ihsan. Syeikh Ihsan meninggal pada tahun 1952 kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KH Muhammad bin Ihsan. Syeikh Ihsan dikenal sebagai seorang ulama Nusantara yang giat menghasilkan karya tulis. Ini tidak mengherankan karena disamping kecerdasannya, ia juga terkenal sangat gemar membaca tidak hanya literatur kepesantrenan namun juga literatur yang bersifat umum. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Apabila para ulama pesantren di Jawa biasa disebut sebagai kyai maka Syeikh Ihsan memiliki julukan berbeda. Khalayak menjulukinya syeikh karena kualitas keilmuannya serta kemampuannya menulis karya yang mampu diterima oleh publik Muslim dunia. Dalam Bahasa Arab nama Syeikh Ihsan dikenal dengan tambahan julukan Al Jamfasi Al Kadiri, artinya yang berasal dari Jampes Kediri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: 10 MANFAAT ROKOK BAGI KESEHATAN ANDA<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan memiliki penguasaan atas beberapa cabang ilmu yang berbeda. Inilah yang memungkinkan ia untuk menulis karya dalam bidang yang berbeda. Di antara karya-karta tersebut kitab Irsyadul Ikhwan bukanlah magnum opus<\/em> dari Syeikh Ihsan. Namun dalam khazanah karya ulama Nusantara hingga kini kitab ini masih dianggap sebagai masterpiece. <\/em>Paling tidak sampai saat ini belum ditemukan karya sejenis yang mampu menandingi kekuatan dari kitab ini.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan sejatinya adalah karya yang terinspirasi dari risalah Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wad Dukhan<\/em> (pengingat kepada para saudara dalam menerangkan kopi dan rokok) karya KH Dahlan Semarang menantu dari KH Soleh Darat. KH Dahlan Semarang adalah guru Syeikh Ihsan di Pesantren Darat, mengasuh pesantren ini sepeninggal KH Soleh Darat di tahun 1903. Ia sebenarnya bukan asli putra Semarang namun berasal dari Tremas Pacitan Jawa Timur. Konon ia adalah adik Syeikh Mahfudz Tremas yang bersamanya menuntut ilmu di Mekkah. <\/p><\/blockquote>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagai seorang murid, Syeikh Ihsan merasa bahwa karya gurunya tentang rokok, Risalah Tadzkiratul Ikhwan<\/em>, perlu untuk dipahami oleh khalayak. Untuk itulah ia mengarang bait-bait Irsyadul Ikhwan<\/em> agar memiliki sifat estetik dan lebih mudah dihafal. Lebih lanjut ia membuat syarh (penjabaran) atas bait-bait tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa didapatkan hingga saat ini tersebut. Tidak diketahui kapan penulisan bait maupun penjabaran dari Irsyadul Ikhwan karena tidak ada catatan tahun dalam karya tersebut. Salah satu keturunan dari Syeikh Ihsan pun tidak bisa menjelaskan kapan karya itu disusun. Namun bisa diduga bahwa kegiatan kepenulisan Syeikh Ihsan secara intensif terjadi setelah ia pulang ke Jampes sepeninggal ayahnya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Terkait rokok, masih ada satu lagi karya KH Dahlan yang membahas perkara ini. Karya ini berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam<\/em> (kilasan pemahaman tentang perkara seputar rokok dalam hal hukum). Naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi oleh perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia. Berbeda dengan Tadzkiratul Ikhwan<\/em> yang membahas kopi dan rokok, karya yang satu ini khusus membahas tentang rokok saja. Keberadaan karya ini pun ternyata awalnya tidak diketahui oleh keluarga KH Dahlan sendiri.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Halaman pertama manuskrip Nazhatul Ifham fi ma Ya\u2019tarid Dukhan minal Ahkam karya KH Dahlan, koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Saudi Arabia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/h4>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada manuskrip kitab Nazhatul Ifham<\/em> di atas tertulis bahwa sang pengarang adalah Ahmad Dahlan bin Abdullah At Tarmasi Al Fajitani. At Tarmasi berarti orang yang berasal dari Termas sedang Al Fajitani berari orang yang berasal dari Pacitan. KH Dahlan memang berasal dari Termas yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Setelah KH Dahlan tinggal di Semarang menjadi menantu KH Soleh Darat dan mengasuh Pesantren Darat, namanya lebih dikenal sebagai Dahlan As Samarani atau Dahlan orang dari Semarang. Jika manuskrip menyertakan nama At Tarmasi Al Fajitani, mungkin saja karya ini ditulis oleh KH Dahlan saat ia masih menuntut ilmu di Timur Tengah sebelum ia pulang ke tanah air dan berdomisili di Semarang. Faktanya karya ini tidak diketahui oleh keluarga dari KH Dahlan di tanah air malah ditemukan dan tersimpan di Saudi Arabia. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dapat dipastikan bahwa dua judul karya KH Dahlan mengenai rokok tersebut memang berasal dari dua kitab yang berbeda. Buktinya adalah saat Syeikh Ihsan menukil (mengambil) sebagian dari kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dalam karyanya. Nukilan itu menyertakan dua bait syair yang menjelaskan tentang manfaat minum kopi. Ketika nukilan ini dicari di dalam kitab Nazhatul Ifham<\/em> hasilnya adalah nihil. Kesimpulannya adalah kitab Tadzkiratul Ikhwan<\/em> dan Nazhatul Ifham<\/em> adalah dua kitab berbeda. Tadzkiratul Ikhwan<\/em> membahas tentang kopi dan rokok sedang Nazhatul Ifham<\/em> khusus membahas tentang rokok.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Baca: Membongkar Mitos ala Sehat Tentrem<\/a><\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kekayaan karya KH. Dahlan tentang kopi maupun rokok disadari benar oleh salah satu muridnya di Pesantren Darat yaitu Syeikh Ihsan Jampes. Pada akhirnya Syeikh Ihsan mengarang risalahnya sendiri mengenai kopi dan rokok untuk menguatkan dan melestarikan karya KH Dahlan tentang hal yang sama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan sendiri belum sepenuhnya dikenal oleh khalayak pesantren nusantara maupun NU. Beberapa pesantren memang menjadikannya sebagai kitab yang diajarkan, namun belum menyentuh pesantren-pesantren secara dominan. Para kyai, baik perokok maupun tidak, ternyata tidak semuanya mengoleksi bahkan mengetahui kitab tersebut. Satu usaha yang cukup membuat kitab ini dikenal adalah penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2009. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \"buku-kitab-kopi-small\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Terjemahan kitab Irsyadul Ikhwan yang diberi judul Kitab Kopi Dan Rokok, terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2009.<\/em>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab ini juga tidak muncul dalam bahtsul masa\u2019il<\/em> yang menyentuh isu rokok pada Muktamar NU 1927. Mungkin saja karena pada waktu itu kitab ini belum ditulis. Pada bahtsul masa\u2019il<\/em> kyai-kyai NU di Surabaya tahun 2010 pun kitab ini tidak dijadikan sebagai salah satu referensi sumber \u2018ibarah<\/em> (redaksi) penguat. Sebagaimana telah diketahui, status mu\u2019tabar<\/em> atau tidak dalam tradisi bahtsul masa\u2019il NU memang mengandung ambiguitas. Namun KH Sya\u2019roni Ahmadi Kudus yang mengoleksi kopian kitab ini menyatakan bahwa kitab ini berstatus mu\u2019tabar<\/em>. Status mu\u2019tabar <\/em>ini juga dikuatkan pendapat dari KH Syaifudin Lutfi yang juga merupakan kyai NU dari Kudus.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Kitab Irsyadul Ikhwan<\/em> memuat bait-bait yang ditulis dalam aturan bahr rajaz<\/em>. Bahr<\/em> adalah rumus-rumus penulisan bait qasidah yang merupakan karya puitik klasik Arab. Jenis bahr<\/em> pun bermacam macam yang aturannya tertuang dalam ilmu arudl<\/em> atau dalam teori bahasa-sastra disebut ilmu prosodi. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagai pembuka kitab Syeikh Ihsan menyebutkan pujian kepada Allah yang menjadikan perbedaan pendapat antara umat Islam adalah rahmat. Ungkapan ini bermakana sangat dalam karena sejak awal Syeikh Ihsan telah memberi landasan pemahaman bahwa pembahasan rokok memang melahirkan ikhtilaf antar banyak ulama. Ikhtilaf ini pula yang selanjutnya dipaparkan apa adanya dalam kitab tersebut.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Ada empat bab yang termuat dalam kitab, pertama menerangkan seputar permasalahan kopi dan rokok, kedua menerangkan pendapat-pendapat yang mengharamkan rokok, ketiga menerangkan pendapat-pendapat yang menghalalkan rokok sekaligus menangkis pendapat-pendapat yang mengharamkan dan terakhir adalah hal-hal seputar rokok dala hubungannya dengan hukum fikih secara umum.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Persoalan kopi hanya cukup dibahas pada satu bab saja mengingat ikhtilaf pada status kopi ini tidak begitu menguat. Kebanyakan ulama memutuskan bahwah status kopi adalah mubah. Setelah menunjukkan pendapat yang menghalalkan rokok, Syaikh Ihsan memaparkan bagaimana rokok dipandang dari sudut pandang kasus-kasus fikih yang lain.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Karakteristik penulisan kitab semacam ini senada dengan metode pembahasan fikih ala NU dan pesantren. Segala pendapat dipaparkan untuk memberi gambaran cakrawala yang luas kepada pembaca. Meskipun pada akhirnya Syeikh Ihsan yang seorang penikmat rokok dan kopi itu meyakini kehalalan rokok namun pendapat yang mengharamkan tidak ditutup-tutupi. Ia pun memaparkan nama-nama ulama yang mengharamkan rokok tersebut dengan sikap karya tulis yang penuh hormat.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Bab kedua khusus membahas tentang pendapat yang mengharamkan rokok. Ada banyak nama ulama di sini yang dipaparkan beserta argumentasi yang membangun pandangan mereka. Pada akhir bab ini ada sedikit kilasan atas argumentasi secara umum yang membangun keputusan rokok oleh para ulama. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada bab ketiga nama yang ditulis pertama sebagai ulama mazhab yang menghalalkan rokok adalah Syeikh Abdul Ghani An Nablusi (- 1143 H), ulama mazhab Hanafi yang memiliki risalah berjudul Assulhu baynal Ikhwan fi Hukmi Ibahati Syurbid Dukhan, yang sebagian isinya dicuplik oleh Syeikh Ihsan. An Nablusi menyatakan bahwa banyak orang yang bodoh keliru dalam menyebut bahwa tembakau itu merugikan badan dan akal. Sebaliknya menurut An Nablusi sebaliknya tuduhan itu salah sehingga tembakau mesti kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Bagian karya An Nablusi yang dicuplik Syeikh Ihsan dalam kitabnya merupakan bait-bait syair dengan rima sastra bahr basith<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        \"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Halaman akhir dari karya An Nablusi yang baitnya dinukil di dalam kitab Irsyadul Ikhwan karyaSyeikh Ihsan Jampes
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Selanjutnya dijelaskan nama-nama lain yang mendukung kebolehan rokok yaitu As Syibramalisi (- 1087 H), Al Halabi (- 1044 H), Al Barmawi (- 1106 H) dan Al Babili (1077 H). Nama-nama ulama yang ditulis Syeikh Ihsan sebagi pendukung kehalalan rokok tersebut kesemuanya merupakan ulama Mesir yang bermazhab Syafi\u2019i. Menurut Al Babili rokok itu mengandung keharaman namun tidak bersifat li dzatihi<\/em> (inheren) melainkan karena faktor eksternal. Maksud faktor eksternal di sini adalah jika orang tahu bahwa rokok itu akan mengakibatkan bahaya baginya, saat itulah keharaman akan timbul. Secara inheren rokok itu tidak bersifat memabukkan dan tidak termasuk barang yang najis. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan kemudian menjawab persoalan seputar rokok dianggap yang najis karena mengalami proses penyiraman khamr<\/em> (arak). Ia menyatakan bahwa keharaman itu berarti dari kenajisan yang datang dari luar. Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menganggap bahwa asap dari perkara yang najis pun dihukumi tetap suci. Untuk itu rokok dihukumi haram untuk orang tertentu yang dapat kena bahayanya sedangkan menyatakan bahwa rokok itu berbahaya secara mutlak adalah hal yang keliru. Malah rokok sendiri menurut Mas\u2019ud bin Hasan Al Qanawi (- 1205 H), ulama mazhab Syafi\u2019i dari Mesir, adalah hal yang bisa mengobati beberapa jenis penyakit termasuk serak.<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Syeikh Ihsan menambahkan bahwa hukum asal dari rokok adalah mubah bahkan rokok itu dapat menambah kefasihan berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Pada bagian akhir bab ketiga Syeikh Ihsan mulai merumuskan pendapat yang bisa dijadikan pedoman. Pada rumusan pendapat ini yang digunakan sebagai rujukan bukan lagi risalah-risalah yang secara khusus membahas rokok namun kitab-kitab fikih secara umum yang pembahasannya lebih luas. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebagi kesimpulan, status yang ditegaskan Syeikh Ihsan Jampes atas merokok adalah jawaz (boleh) yang memuat sifat karahah (dibenci). Tapi ditegaskan bahwa karahah atau status makruh itu dengan syarat apabila si perokok itu bisa meninggalkan rokok tersebut. Apabila si perokok tidak bisa meninggalkan rokok maka kemakruhan rokok itu gugur.\t<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Bab keempat berisi tentang hukum lain yang akan bersangkut paut dengan urusan rokok. Bab ini ditulis dengan asumsi bahwa rokok adalah hal yang boleh namun para perokok juga mesti paham dengan hukum-hukum lain sepitar rokok. Hukum-hukum lain ini adalah semisal makruh meletakkan rokok sembarangan yang bisa merusak sampul penjilid kitab. Apabila menaruh sembarangan yang bisa merusak Quran maka akan menjadi haram.Merokok juga makruh dilakukan dalam majelis pembacaan Quran. Merokok juga perkara yang membatalkan puasa. Merokok yang berakibat mengotori masjid juga termasuk perbuatan haram. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dalam persoalan rokok kitab Syeikh Ihsan masih bisa ditemukan karyanya namun masih tercetak secara terbatas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        <\/p>\n","post_title":"Syeikh Ihsan Jampes pun Menulis Kitab untuk Para Perokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"syeikh-ihsan-jampes-pun-menulis-kitab-untuk-para-perokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-04-08 10:39:06","post_modified_gmt":"2019-04-08 03:39:06","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5614","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5576,"post_author":"877","post_date":"2019-03-27 11:35:18","post_date_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Wahai sahabat kretek, mari kita sukseskan pemilu di tahun 2019 ini. Jadilah pemilih cerdas, Jangan gadaikan pilihanmu dengan kenikmatan sesaat, jangan pilih hanya karena uang, pilihlah caleg DPR, DPD atau presiden yang mengayomi kepentingan pertembakauan. Jika memilih karena uang dan kepentingan sesaat, maka kamu akan merasa rugi minimal lima tahun bahkan bisa seumur hidup, jadi jangan coba coba. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Sebentar lagi pemilu di tahun 2019 akan dilaksanakan. Kali pertama dalam pemilu ini memilih Presiden,DPR dan DPD dilaksanakan dengan serentak. Berbeda dengan tahun sebelumnya (2018 kebawah) diawali dengan memilih DPR dan DPD, selanjutnya baru memilih Presiden. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Di tahun 2019 ini masyarakat harus ektra hati-hati menjatuhkan pilihannya. Semua calon akan mengumbar janji. Jangan sampai ternela dengan janji yang terucap dibibir saja. Belum lagi rencana yang akan dicoblos ada 5 kertas dengan petanda tersendiri, misal warna hijau untuk memilih DPR kota\/Kabupaten dan seterusnya, akan membuat bingung dan memecah konsentrasi pemilih. Nah, disini akan di bagikan bebera tips cara memilih dan mencoblos:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Tips sederhana memilih Caleg dan Presiden bagi kretekus:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        1. Kenali sosok calon DPR dan presiden, dengan menggali informasi sebanyak banyaknya sepak terjang atau latar belakang caleg atau presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        2. Jujur, hal ini memang agak sulit untuk ditentukan, akan tetapi paling tidak kita bisa memperkirakan caleg dan presiden jujur dan amanah dengan melihat kebribadiannya, melihat latarbelakangnya, keturunannya, dan sepakterjangnya <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        3. Kuat, dimaksut adalah kuat fisiknya atau tidak sakit-sakitan, kuat pendiriannya terlebih memperjuangkan masyarakat, tetap sabar dari terpaan isu dan tidak cepat emosi, dapat merangkul dari kalangan manapun baik kelompok suku dan agama yang berbeda, tidak gampang menyerah, berani membela kaum minoritas, berani membela untuk keadilan dan kebenaran. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        4. Dapat dipercaya,hanya bisa dilihat dari petanda, salah satunya tidak suka bohong, tidak membawa kabar hoaks, cermat dan teliti sebelum bertindak, tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak sombong, hidup sederhana dan apa adanya<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        5. Yang terpenting mempunyai komitmen membela sektor pertembakauan meliputi petani tembakau, petani cengkeh, hasil olahan tembakau dan cengkeh, memperjuangkan hak- hak yang seharusnya diterima secara adil bagi konsumen rokok (perokok) <\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Kelima di atas standart minimal acuan kretekus sebelum menjatuhkan pilihannya ke salah satu caleg DPR, DPD atau capres. Tujuan utama tips di atas untuk memperoleh wakil dan pemimpin sesuai harapan kretekus. Lain itu, untuk memilih pemimpin yang \u201cqowiyyun aminun<\/em>\u201d atau \u201cal-qowiyyu al aminu<\/em>\u201d (kuat dan dapat dipercaya). <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Setelah, menentukan kriteria seoarang yang akan dipilih, tahap selanjut menentukan pilihan dengan mencoblos pada kertas dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tidak lah mudah, sebab nantinya kertas dari KPU yang disebut surat suara ada lima jenis, diberikan dan dicoblos sekaligus. Belum lagi partai peserta pemilu ada 16 dan tiap partai banyak daftar nama caleg. Prakteknya, \u00a0dipastikan membingungkan. Tapi jangan kuatir, disini kita akan bagi beberapa tips untuk mencoblos caleg DPR, DPD dan capres. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Baca: Panduan untuk Kretekus Memilih Capres di Pilpres 2019<\/a><\/h3>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Sembilan tips mencoblos pilihan di kertas suara:<\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          1. Sebelum ke tempat pemungutan suara (TPS), yang harus dilakukan mengingat nama yang akan dipilih beserta nomor urutnya dan partainya, alangkah lebih baik juga mengerti nomor urut partainya.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          2. Di TPS, anda akan memegang 5 kartu suara yang beda warna, <\/li><\/ol>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Hijau<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Kabupaten\/ Kota<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Biru<\/td>untuk memilih<\/td>DPR Provinsi<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Kuning<\/td>untuk memilih<\/td>DPR RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna merah<\/td>untuk memilih<\/td>DPD RI<\/td><\/tr>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Warna Abu-abu<\/td>untuk memilih<\/td>Presiden dan Wakil presiden<\/td><\/tr><\/tbody><\/table>\n\n\n\n
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            1. Lima kartu suara, silahkan di tata berjajar dulu di atas meja, dan diurutkan dari sebelah kiri atau sebelah kanan. Urutannya di mulai dari kartu suara yang DPR Kabupaten\/kota, sebelahnya DPR Provinsi, DPR RI, DPD dan Presiden.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            2. Buka kartu suara DPR Kabupaten\/kota, cari partainya atau urutan nomor partai setelah ketemu partainya, cari nama orang atau nomor urut yang dituju, kemudian coblos tulisan nama tersebut atau di nomor urutnya. Selesai lipat kembali dan ditaruh agak kedepan atau kebelakang untuk membedakan kartu sudah tercoblos. <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            3. Ambil kartu suara DPRD Provinsi, caranya sama di atas, setelah selesai tumpuk kartu, di atas kartu yang pertama<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            4. Ambil kartu suara DPR RI, caranya sama dengan nomor 4 dan 5, begitu seterusnya hingga kartu terakhir yaitu pilihan presiden<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            5. Setelah dicoblos semua, kartu dimasukkan sesuai kotak masing-masing kartu suara dengan minta bantuan petugas <\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            6. Saat menata dan mencoblos kartu, lakukan dengan tenang santai, tidah usah terburu-buru, dan jangan panik.<\/li>
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            7. Dalam mencoblos, usahakan tidak dalam keadaan lapar, tidak dalam keadaan haus, dan sebagainya.<\/li><\/ol>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Demikian tips sederhana untuk memilih dan mencoblos caleg, DPD dan capres, sesuai keinginan. Yang terpenting bagi kretekus dan bagi orang yang berada di sektor pertembakauan (petani dan buruh tani tembakau atau cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok, konsumen kretek dan lainnya) mari kita pilih wakil dan pemimpin yang jelas-jelas pro pertembakauan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              <\/p>\n","post_title":"Pedoman Memilih dan Mencoblos DPR, DPD, Capres Bagi Kretekus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pedoman-memilih-dan-mencoblos-dpr-dpd-capres-bagi-kretekus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-27 11:35:18","post_modified_gmt":"2019-03-27 04:35:18","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5576","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5571,"post_author":"877","post_date":"2019-03-25 11:38:22","post_date_gmt":"2019-03-25 04:38:22","post_content":"\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai \u201cBudaya dalam Selinting Rokok\u201d sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya. <\/p>\n\n\n\n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur ke