Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara.
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan mbatil. <\/em>Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting<\/em> dan mbatil<\/em> serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat. <\/p>\n\n\n\n Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius<\/em> Nusantara. Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu \u201cdibakar\u201d, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala<\/em> sudah diceritakan tentang kesukaan \u201cmerokok\u201d raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).<\/p>\n\n\n\n Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata \u201cngudut\u201d<\/em>, \u201ceses\u201d<\/em> atau \u201cses\u201d<\/em> sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu \u201cro\u2019ken\u201d<\/em> . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.<\/em> <\/p>\n\n\n\n Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul \u201cBijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes\u201d<\/em>, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot<\/em> adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen<\/em> atau rokok diko<\/em> berasal dari daun nipah; rokok pupus<\/em> berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung<\/em> berasal dari kulit enau. <\/p>\n\n\n\n Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 \u2013 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.<\/p>\n\n\n\n Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga \u2018tembakau asli\u2019. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama \u2018tembakau Jawa\u2019 atau \u2018tembakau rajangan\u2019. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur<\/em>). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.<\/p>\n\n\n\n Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge<\/em> sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko \u00a0dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.<\/p>\n\n\n\n Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge<\/em> lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste<\/em>) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending<\/em>) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma. <\/p>\n\n\n\n Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste<\/em>) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali \u201cdikuasi\u201d oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain \u201cdikuasai\u201d merek yang lain. <\/p>\n\n\n\n Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made<\/em>). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting<\/em> dan diakhiri dengan
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kretek-dalam-sejarah-evolusi-budaya-khas-nusantara","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-03-20 09:43:00","post_modified_gmt":"2019-03-20 02:43:00","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5559","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":true,"total_page":19},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
Baca: \u201cKRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA\u201d SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA<\/a><\/h3>\n\n\n\n
Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA<\/a><\/h3>\n\n\n\n