CUKAI

Cukai Rokok Penyangga Jaminan Kesehatan Negara

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah salah satu model Jaminan Kesehatan Negara (JKN) yang digandrungi masyarakat Indonesia. Adanya BPJS masyarakat merasa terbantu, mulai dari masyarakat kecil hingga masyarakat berduit dapat merasakan kenikmatannya terutama saat berhubungan dengan pembayaran. Mempunyai kartu BPJS serasa sudah aman dalam menjalani hidup, satu tahapan kesulitan hidup terlampaui.

Menurut Presiden saat awal peluncuran, BPJS hanya diperuntukkan warga negara yang tergolong sangat miskin, miskin dan rentan miskin. Perkembangannya, BPJS berlaku untuk perlindungan kesehatan bagi semua warga negara Indonesia.

Banyak desas desus di masyarakat, bahwa BPJS banyak kendala. Mulai dari cerita banyak rumah sakit yang menolak pasien BPJS, sampai pada pelayaann kurang bagus lah bagi pengguna BPJS. Hal tersebut sangat maklum, dalam proses uji coba program dan mencari pola yang pas. Tetapi banyak pula pemegang BPJS yang sudah menikmati kenikmatan BPJS kala itu.

Saat BPJS mengandalkan gelontoran dana APBN, dari awal BPJS sudah mengalami defisit setiap tahunnya dan belum mampu berdiri sendiri. Menurut Fahmi Idris sebagai direktur utama BPJS saat itu mengatakan, bahwa penyebab utama defisit karena ada gap antara iuran ideal dengan iuran yang ditagihkan kepada masyarakat. Ambil contoh, seharusnya iuran yang dibebankan masyarakat untuk rumah sakit kelas III adalah Rp 50.000, sementara pungutan hanya Rp. 25.000, ujar Fahmi Idris.

Defisit anggaran, menjadikan pengelolaan BPJS carut marut. Terjadi penunggakan pembayaran klaim tagihan dari beberapa rumah sakit di daerah-daerah, sehingga wajar jika rumah sakit banyak merugi saat itu, dan mungkin juga desas desus masyarakat terjadi saat itu. Namun menjadi tidak wajar, disaat rumah sakitsebagai garda terdepan untuk pelayanan kesehatan, terlalu rijit aturan bagi masyarakat kecil.

Terjadinya defisit anggaran BPJS dari tahun ketahun, menjadi tanggungjawab besar pengelola program dan seharusnya Kementrian Kesehatan memberikan solusi. Sebab, semua orang mengerti, keberadaan Kementrian Kesehatan adalah perwakilan dari pemerintah untuk mengurus kesehatan masyarakat luas. Kenyataannya Kementrian Kesehatan tidak bisa memberikan solusi yang jitu. Pada akhirnya, masalah defisit BPJS menjadi pembahasan Kementrian Keuangan.

Pada awalnya, solusi alternatif digunakan dana cadangan senilai 4,9 triliun, yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), realitanya masih belum cukup. Sebab tahun 2018, defisit BPJS diperkirakan mencapai 16,5 triliun. Pada akhirnya pemerintah melalui Kementrian Keuangan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT).

“Selain menggunakan dana cadangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Pemerintah juga akan memaksimalkan dana bagi hasil dari cukai hasil tembakau yang dipungut oleh pemerintah, ujar Sri Mulyani”.

Kemudian, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan presiden (Perpres), tentang pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan BPJS. Perpres tersebut diundangkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Perlu diketahui,  DBH-CHT adalah dana pungutan dari rokok, melalui pembayaran pita cukai. Artinya, perolehan DBH-CHT dari pembayaran pajak oleh konsumen rokok, yang sudah dihitung pemerintah di setiap satu batang rokok. Proses pembayarrannya melalui dana talangan pabrikan rokok, disaat pabrikan rokok membeli pita cukai cash di awal.

Terlihat, disaat orang baru membeli rokok (belum dinikmati), sudah membayar pajak. Begitu juga posisi  pabrikan, produk rokoknya belum terjual sudah menanggung pajak. Saat ini, pabrikan rokok di awal harus menanggung beban dua pajak, yaitu pembayaran cukai dan pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Dari hasil pembayaran cukai rokok, kemudian pemerintah pusat mengembalikan ke daerah (bahasa sederhana), yang kemudian dimasukkan dalam kategori dana bagi hasil (DBH), salah satunya cukai hasil tembakau (CHT). Alokasi dan penggunaan DBH-CHT diatur dalam Undang-undang (UU) cukai.

Amanat UU cukai, penerimaan Negara dari CHT dibagikan kepada pemerintah Provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2%, diperuntukkan 5 kegiatan, yaitu; untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai illegal.

Sisanya 98% (setelah diberikan kedaerah 2%), masih berada di pusat, dalam hal ini di Kementrian Keuangan. Sampai saat ini, belum ada kejelasan dari 98%, dipergunakan untuk apa, atau dilebur dimasukan dana apa?. Dari 2% yang dibagikan ke Provinsi dibagi lagi menjadi dua, yaitu untuk kabupaten/kota penghasil  bahan baku/produk rokok mendapatkan jatah 40% ( pembagian dari 2%), kabupaten/kota bukan penghasil bahan baku/produk rokok mendapatkan 30% (pembagian dari 2%). Bisa dihitung, jika di tahun 2018 peneriman Negara dari cukai sekitar Rp. 153 triliun.

Begitu besarnya dana cukai, hingga bisa sebagai solusi menutup defisit BPJS. Tentunya bagi pembayar cukai (perokok dan industri rokok), lebih merasa rela, jika memang uang dari hasil pembayarannya digunakan untuk hajat menyehatkan masyarakat. Ketimbang, digunakan oleh rezim kesehatan untuk kampanye anti rokok.  Uangnya diterima dengan senang hati, produk dan barangnya dihujat. Apalagi hujatannya menafikan sejarah keberadaan rokok kretek di Indonesia. Rokok kretek adalah ciri khas dan jati diri bangsa, andil dalam memberi sumbangan kas Negara, dan yang terakhir adalah sebagai penopang utama BPJS.

Sangat ironi, jika pemerintah melalui rezim kesehatan membentuk satuan tugas pemberantasan (satgas) pengendalian rokok, bahkan membuat regulasi yang ingin mematikan rokok, seperti pelarangan display rokok, pelarangan iklan dan lain sebagainya. Bahkan kasus di kudus kota kretek, yang sering komplain adanya baleho iklan rokok adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (badan POM).

Kembali ke BPJS, setelah mendapatkan alokasi dari DBH-CHT, pemerintah Kabupaten/Kota, tentunya membuat aturan berupa peraturan bupati/walikota (Perbup/Perwali), tentang penggunaan DBH-CHT untuk pembayaran defisit BPJS. Sehingga keberadaan BPJS lebih terjamin, dibanding dengan jaminan kesehatan lainnya.    

Dilansir dari slopos.com, pemerintah kabupaten (Pemkab) Karanganyar Jawa Tengah, telah mengeluarkan surat edaran yang isinya kurang lebih, kartu Jamkesda dan kartu Karanganyar Sehat diintegrasikan ke BPJS. Dimaksud, pemegang kartu Jamkesda dan kartu Karanganyar Sehat, totalnya  sekitar 70.000 an warga, semuanya dimasukkan ke BPJS, agar mendapatkan alokasi DBH-CHT .

“Pemkab Karanganyar mengalokasikan Rp14 miliar pada APBD 2019 untuk membayar premi ke BPJS Kesehatan. Jumlah itu lebih besar dibanding alokasi dana Jamkesda 2018 Rp8 miliar, ujar  Cucuk Heru Kusumo, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Karanganyar. Sementara, Bupati Karanganyar, Juliyatmono, menjelaskan alokasi dana untuk membayar premi BPJS Kesehatan bersumber Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT)”.

Nah, produk yang didzolimi rezim kesehatan dan orang-orang antirokok, justru bermanfaat bagi mereka. Rokok menyehatkan masyarakat Indonesia.