gus baha
REVIEW

Gus Baha’, Kiai Sepuh dan Rokok

KH. Bahaudin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha’ memang salah seorang kiai yang nyentrik dan punya ciri khas dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama. Kejernihan dan kedalamannya dalam memahami agama menjadikan Gus Baha’ mampu menyederhanakan persoalan agama yang rumit dengan logika-logika sederhana, yang tentu saja mudah dipahami masyarakat tanpa mengurangi inti ajaran agama tersebut. 

Kiai yang punya kalimat khas “Ini penting saya utarakan” itu sering kali menggoncang cara berpikir mainstrem masyarakat dalam memahami agama. Gus Baha’, setiap kali membahas persoalan agama, utamanya hukum-hukum dalam peribadatan dan muamalat, tidak hanya menyodorkan “barang jadi” tapi juga proses dan logika terjadinya sebuah hukum. Hal ini lantaran Gus Baha’ punya perangkat keilmuan yang komplit, mulai dari ilmu Alquran, Hadis, nahwu, shorf, balaghoh, mantiq dan khazanah bacaan kitab kuning yang amat luas. Ibarat pertanian, Gus Baha’ mengajarkan jama’ah untuk memahami bagaimana cara menanam padi hingga memasakknya menjadi “nasi” yang siap santap.

Begitulah Gus Baha’, beliau menjadi semacam oase di tengah ajaran agama yang disampaikan dengan instan dan cenderung menggurui. Gus Baha’ adalah mutiara, yang lahir dan merekonstruksi cara berpikir umat manusia dalam menjalankan ritus kehambaan.

Gus Baha selalu bisa menyesuaikan diri dengan forum dan orang-orang yang sedang dihadapi. Seperti saat pengajian Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi, Gus Baha’ bercerita saat ditanya Kiai Kampung perihal hukum rokok.

Baca: Dalil-dalil Akurat yang Membolehkan Merokok

“Kenangan terbaik saya di dunia itu, ketika pernah didatangi kiai tua yang (mungkin) sudah mau meninggal, ketika waktu MUI mengaramkan rokok, dia bertanya (hukum merokok) kepada Saya,” tutur Gus Baha’. 

Sudah menjadi hal lumrah di pedesaan, setiap ada pengumuman suatu hukum, orang-orang desa tidak lantas mematuhinya. Mereka akan “ngajikke” (mengulas/menanyakan) terlebih dahulu kepada guru-guru mereka di desa. Bila gutu/kiainya memberikan jawaban, maka akan ditaati.

“Gus, MUI itu kan mengharamkan rokok, sekali Jenengan mengatakan itu haram, Saya tidak akan merokok Gus, tapi Saya mau bercerita terlebih dahulu, Saya itu kiai, sudah tua, ndeso lagi,”

“Hiburan saya setelah salat Isya itu ngobrol dan merokok dengan teman-teman mondok dulu di pojok musala, Gus. Kemudian mencocokkan nasib ketika pas mondok dahulu. Karena di pagi hari takut istri, pekerjaan saya ya  yang sebisa yang lakukan di siang hari. Hiburan saya ya hanya seperti tadi itu Gus,” ujar kiai kampung tadi.

Kebiasaan njagong atau ngobrol santai di teras masjid atau langgar memang menjadi semacam cara komunikasi masyarakat dengan tetangga. Njagong semacam ini menjadi alat penting masyarakat desa untuk sekadar bertukar pikiran, baik dari urusan tani hingga hal-hal yang menyentuh dasar-dasar kehidupan.

“Kalau itu diharamkan Gus, saya tidak bakalan punya hiburan, harta dunia tidak punya (banyak), satu-satunya (hiburan) ya hanya itu Gus. Saya itu kiai (kampung) Gus, mau menonton dangdut ya tidak pantas” tiru Gas Baha kepada kyai kampung tadi yang disambut gelak tawa jemaah.

“Sudah Mbah, untuk Jenengan halal,” jawab Gus Baha waktu itu yang diceritakan di depan jemaah dengan tertawa. 

Baca: Ketika Gus Mus Ditanya Perihal Rokok

Gus Baha menjelaskan bahwa tipe orang tersebut jangan sampai diberikan fatwa haram merokok, karena hukum merokok sendiri memang masih menjadi ikhtilaf atau perbedaan diantara para ulama. Untuk kondisi kiai kampung tadi, Gus Baha memilih untuk memperbolehkan merokok, ya memang daripada mbah tadi mencari hiburan menonton dangdut yang jelas-jelas terdapat unsur mudaratnya tentu mending merokok.

Soal ikhtilaf hukum rokok, Gus Baha’ juga menceritakan antar kelompok yang beradu argumen. Menurutnya, ada salah satu ulama yang mengharamkan rokok dengan dalil tembakau terbuat dari kencing iblis. Sementara ulama lain menyangkal, bahwa hadis yang dinukil ulama tersebut maudlu’. 

Persoalan ini juga pernah dibahas oleh Fatwa al-Lujnah al-Daimah lil Buhuth al-ilmiyyah wa al-Ifta (Lembaga Fatwa Arab Saudi) yang menegaskan bahwa hadis soal tembakau dari kencing iblis adalah hadis maudlu alias palsu, bahkan tidak ada asal usulnya, satu pembohongan yang haram atas nama Nabi Muahammad SAW. Haram juga menyebarkan tanpa menjelaskan kedudukan hadis tersebut.

Baca: Imanlah Kepada Allah, Bukan Kepada Aktivis Antirokok

Gus Baha’ juga menceritakan soal kelakar 2 wali. Wali yang tidak merokok mengejek wali yang merokok, “Ingat Allah kok ngebal ngebuli Allah.” Bagi sebagian orang, ingat Allah itu diistilahkan, seakan-akan Allah di hadapan seorang hamba. Singkat cerita, Wali yang merokok itu mendengar, lalu ia menjawab “Allah laisa bimakanin (Allah tidak bertempat), jadi tidak terkena asap rokokku.”

“Wali kok bantah-bantahan,” dhawuh Gus Baha’ diikuti gelak tawa.Pada akhirnya sebagaiman kiai yang memahami semua sisi persoalan, Gus Baha’ pada hal-hal ikhtilaf selalu memberikan dua gambaran besar soal memilih hukum suatu hal. Dalam persoalan rokok, Gus Baha’ berujar, “yang menghalalkan rokok kiai-kiai top. Mbah Makhrus Ali (Lirboyo) juga merokok. Orang-orang alim dan wali papan atas yang mengharamkan rokok ya banyak. Kamu tingal pilih yang mana?”