cukai rokok
CUKAI

Kenaikan Cukai Tembakau Bentuk Diskriminasi Pemerintah dan Mencederai Undang-undang

Cukai secara tersurat bagian dari pendapatan negara yang pungutannya diataur atau berdasarkan undang-undang dan harus dicantumkan dalam APBN sebagai pendapatan. Pada pasal 1 angka 1-4 UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN setiap tahunnya, menegasikan bahwa penerimaan dari pajak adalah satu bentuk pendapatan negara termasuk pajak dalam negeri berupa pungutan cukai.

Perlu diketahui barang kena cukai tidak saja tembakau, masih ada lagi termasuk gula. Lalu kenapa, cukai tembakau selalu dinaikkan tiap tahunnya?. Kemudian, kenapa seperti gula disubsidi sedang tembakau tidak?. Selanjutnya, kenapa hanya tembakau dan olahannya yang selalu disoroti dan keberadaannya seakan-akan tidak diinginkan bahkan ingin dihanguskan oleh pemerintah?. Inilah pertanyaan mendasar, yang harus di jawab pemerintah dalam hal ini penguasa. Atau jangan-jangan penguasa tidak pernah ada pertanyaan tentang ini.

Sebelum reformasi aturan-aturan berkenaan cukai  hanya sekedar mengatur tidak sampai pada pengendalian atau bahkan mematikan. Mulai masuk masa reformasi –Presiden Habibi—muncul aturan-aturan turunan cukai bermacam-macam. Puncaknya semasa Presiden Susilo Bambang Sudoyono menandatangani PP. 109 tentang memasukkan kategori tembakau sebagai zat adiktif. Anehnya lagi, penandatangan PP tersebut di waktu hari libur –diluar jam kerja–. Kira-kira kenapa, pembaca silahkan tebak sendiri alasannya.

Munculnya PP 109 memperjelas bahwa pemerintah sama sekali tidak mendukung sektor pertembakauan dan olahannya. PP 109 ini, embrio dari aturan-aturan yang memperparah hantaman pada sektor pertembakauan. Secara terselubung, komunitas anti rokok dan orang kesehatan, adanya PP 109 ini sebagai senjata handal yang sering dimainkan untuk memerangi sektor pertembakauan. Termasuk tiap tahun cukai harus dinaikkan setinggi-tingginya dalam rangka pengendalian peredaran tembakau dan olahannya.

Sebenarnya, semangatnya tidak hanya pengendalian, lebih dari itu tembakau dan olahannya harus dimusnahkan dari peredaran terutama mematikan rokok kretek – ciri khas Indonesia–. Hal tersebut terlihat jelas dalam pasal-pasal PP 109. Semisal pasal pembatasan kadar nikotin dan tar –low nicotine, low tar–. Kalau rokok berbahaya, kenapa harus ada pengecualian low nicotine low tar dengan batasan tertentu, yang hanya mudah terpenuhi produk rokok asing.

Terkait kenaikan pungutan cukai sebagai pendapatan negara harusnya memperhatikan lima syarat yang telah diatur bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum. Pada pasal 23A UUD 1945, disebutkan “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang”. Undang-undang 1945 ini mengamanatkan legalitas kewenangan negara untuk memungut pajak jika negara membutuhkan, dengan syarat tidak keluar dari aturan undang-undang.

Bunyi lima prasyarat sebagai berikut:

  1. Pungutan pajak harus memenuhi syarat keadilan; adil dalam perundang-undangan di maksud pajak harus adil dan merata, sesuai dengan kemapuan yang dipungut. Adil dalam pelaksanannya memberikan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran bahkan sampai mengajukan banding.
  2. Pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang yang sudah diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945, didalamnya tentang pemberian jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik untuk negara ataupun masyarakatnya.
  3. Tidak mengganggu siklus perekonomian. Artinya tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan yang berakibat terjadi kelesuan perekonomian.
  4. Pungutan pajak harus efesien, sesuai dengan budgeteir. Artinya pungutan pajak harus dapat bisa ditekan rendah.
  5. Sistem pungutan pajak harus sederhana, memudahkan masyarakat membayar kewajiban pajak.

Berjalannya cukai tembakau yang makin tahun merambah naik, dan kenaikannya sangat signifikan ini, jauh dari keselarasan dengan lima syarat di atas. Pertama; asas keadilan, jelas tidak adil, yang selama ini selalu naik tiap tahunnya hanya cukai tembakau, sedangkan barang kena cukai lainnya, tidak diberlakukan seperti itu.

Kedua; tidak ada jaminan hukum untuk eksistensi produk atau isdustrinya. Ketiga; kenaikan cukai tembakau yang terus menerus dan tinggi mengganggu stabilitas ekonomi industri bahkan produnya. Akhirnya perdagangan sektor pertembakauan tersendat. Ambil contoh kenaikan cukai, imbas langsungnya tidak hanya pada pemasaran produk rokok kretek, juga akan berdampak akan turunnya penyerapan bahan baku dari petani –berupa tembakau dan cengkeh–.

Keempat; kenaikan cukai selama ini semenjak reformasi tidak bisa di tekan, yang terjadi sebaliknya, pajak cukai selalau naik. Kelima; sistem pungutan cukai melalui pembelian pita cukai sangat ribet tidak efektif.

Kenaikan pungutan cukai oleh pemerintah saat ini terkesan mana suka, tidak adil dan lebih cenderung kepentingan asing. Semangat kenaikan cukai tembakau, bukan lagi hanya berhenti dalam pegendalian, justru mengarah mematikan industri dalam negeri. Jadi, kenaikan cukai di Indonesia, jelas jelas lari dari kaedah hukum positif yaang tersurat dalam pasal 23A UUD 1945. Lain itu kenaikan cukai pertembakauan jauh dari lima syarat diatas.

Dengan demikian, kenaikan pungutan cukai tembakau merupakan bentuk ketidakadilan, tidak sesuai undang undang yang berlaku, tidak sesuai kesepakatan bersama, keluar dari kaidah hukum. Kenaikan pungutan cukai tembakau bukan lagi sesuai prosedur ke Indonesiaan sebagai negara hukum. Kenaikan pungutan cukai hanya diatur oleh oknum dan sekolompok orang yang ingin mematikan kretek sebagai produk warisan asli Indonesia yang bernilai sangat ekonomis.

Untuk itu, tidak selayaknya pemerintah berlaku demikian. Jika saja pemerintah tetap ngotot, harus menanggung konsekwensinya. Minimal pemerintah harus menanggung penderitaan rakyat, bahkan sampai konsekwensi menerima perlawanan rakyat yang tertindas. Karena berjalannya keputusan kenaikan cukai terkesan mana suka dan diskriminatif.